ALGIERS, KOMPAS.com - Kelompok-kelompok oposisi Aljazair, Jumat (4/2), mengatakan, mereka berniat menggelar aksi protes minggu depan. Mereka tidak menghiraukan janji-janji Presiden Abdelaziz Bouteflika bahwa tuntutan mereka akan dipenuhi dan memberikan ruang bagi kebebasan politik.
Presiden Bouteflika tidak ingin pergolakan rakyat Mesir dan Tunisia memengaruhi rakyat di negaranya, salah satu negara pengekspor energi. Ia berjanji memberikan oposisi kesempatan untuk berbicara di televisi dan segera mengakhiri masa ”negara keadaan darurat” yang telah berjalan selama 19 tahun.
Bouteflika akan mencabut keadaan darurat yang sudah berlaku sejak tahun 1992 dalam ”waktu dekat”. Meski begitu, presiden tetap tak mengizinkan aksi unjuk rasa massa digelar di Algiers, ibu kota negara.
”Saya percaya kami akan turun ke jalan karena langkah-langkah baru Bouteflika itu tidak meyakinkan kami,” kata Rachid Malawi, Ketua Serikat Independen Pegawai Negeri Sipil dan salah satu penyelenggara aksi protes.
”Saya berpikir pemerintah tidak serius menjalankan demokrasi di Aljazair,” ujarnya kepada Reuters.
Sebuah koalisi kelompok masyarakat sipil, serikat pedagang kecil, dan beberapa partai oposisi berencana mengadakan aksi protes di Algiers pada 12 Februari ini. Mereka hendak menuntut perubahan pemerintah dan reformasi, termasuk pencabutan kekuasaan darurat atau negara dalam keadaan darurat.
Sebelumnya, rezim Bouteflika menegaskan, keadaan darurat adalah alat yang diperlukan dalam perang melawan terorisme. Peraturan ini diberlakukan pada tahun 1992 untuk mengakhiri keadaan Aljazair yang bertahun-tahun berkutat dalam perang saudara antara militan dan pasukan pemerintah hingga 200.000 orang tewas.
Para kritikus menuding, belakangan kebijakan itu dipakai demi menghambat gerakan oposisi dengan melarang pawai dan unjuk rasa.
Tetap dilarang
Para pejabat negara mengatakan, mereka tidak memberikan izin kepada siapa pun, termasuk oposisi, untuk menggelar aksi protes karena dapat mengganggu ketertiban umum dan berpotensi memicu bentrok fisik antara polisi antihuru-hara dan demonstran. Pihak berwenang mengatakan, para pengunjuk rasa justru bisa mengadakan protes di tempat yang telah ditentukan.
Demi ketertiban umum, unjuk rasa hanya akan diizinkan di dalam gedung-gedung tertentu. Pemerintah melarang warga atau kelompok oposisi menggelar aksi di lapangan terbuka atau di tempat umum karena mengganggu.
”Kami akan tetap berpawai karena Bouteflika tidak menerima permintaan kami untuk mencabut keadaan darurat tanpa syarat,” kata Mohsen Belabes, juru bicara partai oposisi, RCD. ”Algiers adalah kota teraman di Aljazair, tetapi Bouteflika melarang kami berpawai di Algiers.”
Mirip Tunisia dan Mesir
Beberapa anggota koalisi oposisi mengatakan, mereka akan bertemu dalam beberapa hari ke depan untuk mencapai keputusan akhir, kira-kira seperti apa bentuk aksi yang akan digelar. Persoalan di Aljazair sebenarnya memiliki banyak kesamaan dengan Tunisia dan Mesir.
Banyak warga Aljazair mengekspresikan kemarahan mereka terhadap pemerintah karena kasus pengangguran dan ambang demokrasi. Lonjakan harga pangan adalah masalah sensitif.
Sebuah aksi protes yang dilarang pemerintah pernah digelar di Algiers oleh pihak oposisi, RCD, pada 22 Januari. Gejolak itu dapat dengan cepat dicegah oleh polisi antihuru-hara. Kerusuhan pecah akibat lonjakan harga pangan hingga dua orang tewas dan sejumlah orang terluka.
Namun, para analis mengatakan, aksi perlawanan tak mungkin dilaksanakan karena pemerintah dapat menggunakan uang tunai dari ekspor energi untuk mengatasi persoalan ekonomi. Warga juga sebenarnya khawatir jika terjadi gejolak setelah konflik bertahun-tahun antara pasukan keamanan dan militan.
Presiden Bouteflika mengingatkan rakyatnya untuk tidak menggelar aksi seperti di Tunisia yang telah menggulingkan rezim Presiden Zine al-Abidine Ben Ali. Begitu juga Mesir yang tengah berupaya menggulingkan Presiden Hosni Mubarak. (REUTERS/AP/AFP/CAL)