Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

Danial Indra Kusuma Sang Pandai Api

Kamis, 03 Mei 2012 | Mei 03, 2012 WIB Last Updated 2015-05-24T10:03:32Z
Sang Pandai Api
(Berjuang Bersama Kebangkitan Kesadaran Massa) 


Landasan 
Yang harus terus menerus didapatkan dan dipasokkan oleh organisasi yang menyandang kata pelopor (vanguard) adalah kesimpulan tentang kesadaran sejati massa—yang sesuai dengan hukum gerak/dinamika/tahap obyektif sejarah masyarakatnya. Pengertian kesadaran sejati massa tersebut adalah merupakan kesadaran YANG SEHARUSNYA yang akan melandasi tindakan politik massa untuk menapak ke tahap obyektif sejarahnya, karena memang kesadaran sejati itu lah yang dikehendaki sejarahnya. Suatu tahap sejarah tak bisa dipenjarakan oleh idealisasi kesadaran palsu, ia akan terus menerus menuntut amnesti kesadaran sejati untuk pembebasan manusia dan alamnya. Di atas landasan sejati itu lah organisasi (pelopor) seharusnya memimpin kemenangan sejati, bukan kemenangan oportunis/Machiavelis (baca: memanipulasi kesadaran palsu) yang mencelakakan. 


Sejarah Menyimpulkan, Gerakan Merevolusionerkannya 

Konsep organisasi pelopor didasari asumsi keberanian—secara psikologis sering dituduh sebagai kecongkakan—untuk menyimpulkan bahwa terdapat kesenjangan antara kesadaran organisasi dengan kesadaran massa, sehingga tugas utama organisasi adalah menghilangkan kesenjangan tersebut. Tuduhan congkak segera bisa kita abaikan karena adalah hak absyah suatu organisasi untuk menyimpulkan adanya kesenjangan tersebut dan menghilangkannya. (Kesenjangan itu sendiri merupakan hasil historis penindasan yang menyebabkan adanya strata masyarakat yang berpengetahuan dan yang tak berpengetahuan.) Tuduhan tersebut sebenarnya hanya lah merupakan kasih sayang yang dibalut idealisme (celaka!) kesejajaran manusia, sama sekali tak ada gunanya. Memang, konsep tersebut bisa menjadi landasan bagi pemaksaan yang fasistis; namun, konsep organisasi pelopor yang kita maksudkan tak akan menjadi landasan seperti itu bila kenyataan kesenjangan tersebut diterima—sebagai kerendahan hati (bila psikologis ukurannya)—dan dihilangkan secara sukarela, sekali lagi secara sukarela. [Keanggotaan organisasi pelopor itu sendiri harus merupakan keanggotaan sukarela atas dasar penerimaan intelektual (cerdik) atas program dan metode perjuangan organisasi.] Upaya menghilangkan kesenjangan kesadaran tersebut merupakan upaya menolak Blanquisme—karena tak mungkin suatu revolusi akan berhasil tanpa massa sadar; dan, sebenarnya, tak mungkin pergi ke sorga sendirian. Itu lah mengapa organisasi pelopor hari-harinya ditelikung oleh obsesi untuk berjuang bersama massa sadar. Memang, kesadaran sejati merupakan hasil historis lingkungan material dan sosial. Namun, bila tak ingin jatuh pada materialisme vulgar, upaya partai (seterbatas apa pun) untuk mentrasfer kesadaran sejati dimungkinkan. Buntutisme terhadap kesadaran palsu massa memungkinkan dua hal: manipulasi bagi kepentingan kelas penindas; atau penyerahan kepemimpinan politik kepada kelas di luar dirinya, kelas yang asing, yang akan mengkhianatinya. Kesadaran sejati yang harus terus menerus disebarluaskan (seluas-luasnya) kepada rakyat adalah: REVOLUSI DEMOKRATIK SEPENUH-PENUHNYA, YANG HANYA BISA DILAKSANAKAN OLEH MASSA TERTINDAS YANG SADAR DAN TERORGANISIR. 

Upaya meraih dan memassalkan kesadaran sejati menuntut syarat-syarat, menuntut alat-alatnya. Upaya maksimal organisasi (kondisi subyektif) untuk memenuhi syarat-syarat tersebut tentu saja tetap tak bisa keluar dari batas-batas yang memagarinya (kondisi obyektif), bisa berhenti hanya di tepi pagar-pagarnya—dan, bila tak maksimal, bisa jauh dari tepi pagar-pagarnya, bahkan mungkin memandangnya pun tak sanggup. Membebankan kesalahan secara berlebihan pada kondisi subyektif, tanpa melihat keniscayaan kondisi obyektif, akan menimbulkan ketidakpercayaan pada kemampuan organisasi, ketidakpercayaan pada kemampuan perjuangan. HABIS SUDAH. Tapi hal tersebut bukanlah apologi untuk memaklumi (understand) ketidakmampuan subyektif yang tidak sepatutnya—ketidakpatutan tersebut yang harus disimpulkan dan dicari jalan keluarnya. Pengertian (understanding) terhadap kondisi subyektif tersebut hanya lah merupakan toleransi bahwa kondisi subyektif itu sendiri merupakan hasil historis. Setiap tahap sejarah partai harus dilihat sebagai upaya untuk memenuhi syarat-syarat tersebut—dalam makna merebut alat-alat untuk memassalkan kesadaran sejati yang dibutuhkan suatu tahap sejarah. Semakin kukuh dan meluas kesadaran sejati di kalangan massa, maka semakin melenyap makna organisasi; dan hal tersebut akan sejalan dengan semakin hilangnya penindasan/penghisapan. 

Karena itu, pertanyaannya adalah: Saat menjatuhkan Soeharto, mengapa massa tak sanggup mendirikan Dewan Rakyat atau Komite Rakyat?; atau mengapa massa setuju Pemilu, tidak memboikotnya? 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab dengan: analisa historis apakah terdapat kondisi obyektif bagi perluasan kesadaran sejati massa; bila tak ada, maka pertanyaannya: dari mana massa massa memperoleh kesadaran palsunya; dan bagaimana kondisi subyektif meresponnya. 

1965. Bukan saja merupakan tahun terbukanya pintu gerbang bagi akselerasi modal yang lebih tinggi, bagi perluasan geografi modal, namun juga adalah pintu gerbang bagi penataan formasi modal yang baru (baca: penghancuran modal lama)—anarkisme terhadap tenaga produktif lama, guna menetapkan karakter pemilikan modal baru (dengan watak politik yang lebih loyal terhadap kekuasaan baru yang sedang mengakomodir masuknya modal asing). Takdir akhir bagi modal priyayi-priyayi patron Partai Nasional Indonesia (PNI), yang masih berkutat dalam modal perdagangan (merchant capital); takdir akhir bagi industri negara pasokkan negeri-negeri sosialis, yang masih dalam taraf pelatihan untuk ditangani oleh priyayi-priyayi yang tak memiliki basis historis lahir dari kandungan ibu masyarakat borjuis nasional (indigeneous); takdir akhir bagi industri kecil swasta, yang kuno—terutama tak massal—dan tak menarik, tak relevan, seketika dibandingakan dengan pencerahan barang-barang baru, barang-barang Barat. Semuanya, industri negara—yang sektarian terhadap modal Barat—merchant capital dan industri kampungan borjuis kelontongan memang pantas dihancurkan dihadapan rasionalisasi rencana trilyunan dollar modal baru dari Barat—tenaga produktif kelontongan justru memang pantas dilumatkan (anarkisme) karena tokh tak bisa menjadi basis bagi rencana rasionalisasi trilyunan dollar modal baru dari Barat tersebut. Tenaga produktif manusia Indonesia (human experience-nya) pun dianggap kelontongan, yang tak relevan di hadapan rencana rasionalisasi trilyunan dollar modal Barat tersebut, apalagi jutaan borjuis kecil sekolahan sudah dalam atau sedang dalam recana cengkraman hantu komunis. Jadi, anarkisme (baca: pembantaian) terhadap mereka pun memang bisa masuk ke dalam pembukuan (harian) Barat. Oleh-oleh pencerahan trilyunan modal Barat, dengan imbalan kado 3 juta bangkai manusia dan pemenjaraan (sampai mati potensi) ribuan manusia sampah/parasit bagi modal Barat tersebut adalah pertukaran yang pantas bagi Orde Baru pembangunan—bila ingin membangun harus dengan basis tenaga produktif dan hubungan sosial yang benar-benar baru, bila tak ingin ada kemungkinan perlawanan dari 3 juta anggota dan 10 juta simpatisan komunis, yang mungkin akan “tak rasional”, MENOLAK oleh-oleh dari Barat, atau Go to Hell with Your Aid!. Bravo! Pintu gerbang memang sudah didobrak kesatria borjuis, yang datang dari Barat untuk melumat sisa-sisa priyayi pra-borjuis; disambut sorak-sorai pertanyaan suku anak dalam mayarakat pra-borjuis: “Cermin ajaib, cermin ajaib, siapa kah kami?” Dijawab oleh sang penabur modal (dari Barat): “Engkau lah yang ramah tamah, masyarakat pra-borjuis; engkau lah yang akan menjadi tercantik, menjadi masyarakat borjuis, seperti kami, dari Barat.” 

Di tahun 1965, di dalam masyarakat pra-borjuis yang kurus kering, siapa sebenarnya yang menyambut kesatria modal dari Barat itu? Mereka itu adalah gabungan (yang berinteraksi) dari: 


1 

TENTARA, yang mau berlagak sebagai kesatria modal dalam negeri. Berumur sekitar 40-50-an. Hasil dari pendidikan penjajahan Belanda (KNIL), hasil dari pendidikan penjajahan Jepang (PETA), dan hasil dari euphoria perjuangan bersenjata borjuis kecil dalam revolusi nasional. Mereka yang dominan adalah hasil dari dua yang belakangan; dan yang pertama, bila pun masuk ke dalam struktur kekuasaan bersama dua yang belakangan, kehilangan elan gagasan-gagasannya—dengan demikian hilang pula elan kekuasaannya—terbuang atau adaptatif. Tentara-tentara didikan KNIL—yang sedikit-banyak memboyong konsep tentara profesional masyarakat borjuis (dengan begitu maklum akan keinginan tata-tertib masyarakat borjuis)—dalam proses revolusi nasional, terbukti benar-benar tipis keimanan borjuisnya, hanyut dilibas banjir perasaan unggul perjuangan bersenjata versus perjuangan diplomatik. Dan konsekwensinya, protes dan tuntutannya, adalah: tentara pun harus berpolitik; tentara bukan alat politisi (sipil); tentara harus ada di jalan tengah (baca: dwifungsi ABRI); politisi tak bisa mengurus kemenangan revolusi nasional, kerjanya cuma bertengkar—demokrasi mereka pahami sebagai bertengkar; pertahanan rakyat semesta memerlukan struktur tentara yang bergandengan dengan struktur administrasi pemerintahan sipil; dan lain-lain, dan lain-lain, yang intinya: “Kami priyayi (kebanyakan priyayi jadi-jadian), yang karena itu dididik di sekolah perwira KNIL, harus punya kesempatan menjadi elit kekuasaan—namun, tak mungkin terpikir oleh kami menjadi borjuis. Itulah juga alasan mengapa kami mendaftarkan diri untuk dididik di sekolah perwira KNIL, menjadi elit di tengah bangsaku yang melarat, kuno dan menjijikan, walau hanya menjadi perwira KNIL recehan (baca: kaki tangan kolonial) yang, sebenarnya (menurut doktrin tentara professional), diajarkan untuk tidak boleh menjarah kehidupan sipil di luar tangsi, hidupku seharusnya hanya di sekeliling tangsi dan ke luar tangsi bila ada perlawanan bangsaku yang tak bisa diatasi secara politik. Patut juga kau maklumi mengapa iman borjuisku lemah. Apa yang kau harapkan dari pendidikan kolonial. Masih kah kau harapkan aku diajarkan menghargai, takzim akan, tata tertib masyrakat borjuis seperti di Eropa—menghargai hak-hak manusia, sebagai individu sekalipun, yang menjadi landasan bagi demokrasi. Percaya kah kau tak ada manipulasi kolonialisme terhadap demokrasi (di bumi jajahan)? BreidelSchoolverbood, Digul adalah penghianatan terhadap ibu (demokrasi) Eropa. Dan tak pernah terbayang bawa kami, bangsa yang menjijikan, bisa melawan kolonial dan memindahkan Eropa ke Indonesia. Tidak, kami tak pernah diajarkan punya keyakinan seperti itu; Islam-Islam itu, komunis-komunis itu, juga Soekarno, yang punya keyakinan seperti itu, melawan—walaupun, sebenarnya, mereka tak mengerti apa itu Eropa, dan tak punya kepercayaan bahwa, sebenarnya, demokrasi Eropa juga merupakan basis bagi populismenya (baca: kerakyatannya), Eropa juga yang mengajarkannya. Tidak, kami, KNIL, tak pernah diajarkan untuk punya keimanan seperti itu. Dan, bagi kami, rasionalisasi Hatta tak boleh memasukkan penghapusan dwifungsi ABRI. Kami setuju pada rasionalisasi Hatta (yang tak menghapuskan dwifungsi ABRI) karena dengannya kami bisa menyingkirkan tentara-tentara gembel, yang sudah dan bisa condong ke komunis. Kami harus mendukung Hatta agar kami lah, yang berpendidikan tinggi, yang menjadi pimpinan tentara dan tak ditangsikan. Kami memang tak ditangsikan, namun kami tak berdaya di hadapan gembel-gembel PETA, yang jenderalnya jadi Panglima TNI. Namun, lebih baik daripada tak berdaya di hadapan gembel-gembel tentara komunis. Kami kira adalah baik bekerjasama dengan gembel-gembel PETA.” Yang (sedikit) lulusan Breda, apalagi, bahkan sudah tak bermakna sejak masa revolusi nasional, punah dilibas radikalisme/militansi kerakyatan borjuis kecil pra-borjuasi. 

Kekalahan Rusia oleh Jepang tahun 1905 dan kemenangan-kemenangan Jepang di Asia dalam Perang Dunia kedua serta, terakhir, kemenangan Jepang dari Belanda di Indonesia dianggap sebagai kemenangan Timur (Rakyat) atas Barat (penguasa/elit)—semuanya memang terdengar sampai ke kabupaten-kabupaten. Sorak-sorai jamuan kedatangan bagi “Sang Pembebas”, sejak dari pantai hingga ke pedesaan. Kaum miskin kota, pengangguran, gembel-gembel, rame-rame daftar jadi PETA dan Heiho. Yang mereka dapat di PETA dan Heiho: “Ayo, disiplin baja, disiplin baja—pelanggaran terhadap disiplin adalah aib yang harus dibayar siksaan fisik—jadi tentara, jadi tentara, karena tentara adalah penguasa negara sesungguhnya, bahkan penguasa negara Asia Timur Raya. Kita adalah saudara, dan kami, Nipon, sudah menjadi saudara tua kalian, pengusir penjajah dari tanah air kalian. Marilah menjadi tentara, tentara bersama Asia Timur Raya. Jangan jadi tentara untuk rakyatmu seperti Supriyadi—Supriyadi menganggap saudara tuamu penipu. Disiplin, kekerasan, adalah ilmu untuk bangsamu. Masukkan rakyatmu dalam rumah kaca cacah jiwa, wadah-wadah sektoral perempuan, pemuda dan lain-lainnya, agar bisa dipekerjakan dengan keras, diawasi dengan disiplin baja dan kekerasan, demi bangsamu—yang akan kami berikan kemerdekaannya—dan demi kejayaan Asia Timur Raya. Apalagi calon-calon pemimpin bangsamu yang merdeka merestuinya—ya, pasti mereka merestuinya karena, menurut mereka sendiri, menerima Jepang bukan lah kolaborasi tapi taktik sambil menyelam minum air, karena Nipon tetap mengajarkan nasionalisme (baca: anti Barat) dan, dengan taktik tersebut, pimpinan perjuangan kalian tidak akan dibasmi Jepang. Ya, patuhi lah pimpinan perjuangan kalian, yang akan menerima kemerdekaan dari kami, yang merakyat (dengan memberi contoh bagaimana Romusha mencangkul), yang tabah menghadapi kematian ribuan Romusha demi taktik, dan yang rela menyerahkan perempuan-perempuan bangsanya untuk menghibur kami, 'Sang Pembebas'." Disiplin dan kekerasan di tangan tentara-tentara PETA dan Heiho hanya berlaku di dalam tangsi namun, di luar tangsi, ketika mengangkangi kehidupan sipil, hanya tinggal kekerasannya—bedakan antara disiplin (industri) borjuis dengan disiplin tentara PETA—sedangkan disiplinnya lekang oleh kenikmatan gelimang kekuasaan dan uang tanpa keringat, saat menjadi penguasa dan pemilik alat produksi dadakan, penerima oleh-oleh modal dari Barat dengan imbalan kado 3 juta kaum kiri yang dijadikan bangkai, dan ribuannya dijadikan buangan atau penghuni penjara. Gerombolan bandit didikan PETA yang berseragam dan bersenjata inilah yang terus menerus sukses mengangkangi negara, dan terus menerus juga sukses mewariskan watak banditnya ke generasi AMN dan AKABRI—serta menempatkannya di (daerah-daerah garongan) rumah-rumah sipilnya dwifungsi ABRI, yang semakin meluas semakin meluas saja. Buah tak jauh dari pohonnya—gerombolan bandit ini memang dikepalai oleh tentara didikan PETA yang sudah terbiasa menjadi koruptor, penyelundup dan rentenir/KKN bagi pengusaha-pengusaha Tionghoa—sudah menjadi kebiasaan tentara menjadi rentenir atau penjual izin usaha, penjamin kemenangan tender, dan tukang pukul pedagang/pengusaha Tionghoa. Bisa kah kita berharap mereka berpikiran untuk bertransformasi menjadi borjuis? Ketika mereka mencoba pun, ternyata hampir seluruh perusahaannya mengalami kebangkrutan. Bisakah kita berharap pada borjuis tentara dadakan tersebut? Menitip dendeng pada anjing. Sukses perwira-perwira KNIL mengkonseptualisasikan dan menggelar permadani merah dwifungsi ABRI di tahun kembalinya kita ke UUD-45, di tahun kediktatoran demokrasi terpimpin, merupakan hadiah terbaik bagi gerombolan bandit didikan PETA tersebut. Perwira-perwira KNIL, ibu pewaris kediktatoran tersebut, akhirnya dibunuh oleh Malin Kundang gerombolan bandit didikan PETA, bukan karena mereka lebih pro-Barat—Barat tidak pernah mewarisi dwifungsi ABRI—namun semata-mata karena perebutan kekuasaan di tentara demi, justru, rebutan oleh-oleh dari Barat, kemudian rebutan jarahan peristiwa ‘65, lain tidak. Memang benar, bahwa untuk menghancurkan masyarakat pra-borjuis yang tenggelam dalam kediktaktoran pabrik retorik nasionalis-populis selumat-lumatnya, setandas-tandasnya, Barat harus tergantung pada tentara. Namun, untuk membangun masyarakat borjuis maju—dalam muka kasih sosial-demokrat seperti di Eropa—sejarah Barat tak pernah mengajarkan bahwa hal tersebut bisa dikelola oleh dwifungsi ABRI. Tak juga bisa dipararelkan dengan sejarah fasisme. Senang atau tak senang, sudah diakui, oleh Barat sekalipun, bahwa hal tersebut harus dikelola borjuasi Tionghoa—yang diperas oleh senjata, seragam birokrat, dan sentimen SARA/diskriminasi. Kekalahan demokrasi Tirto Adisuryo (oleh manipulasi kolonial Belanda, oleh pedagang-pedagang kelontongan muslim, dan oleh politisi-politisi begundal kolaborator Belanda), kekalahan demokrasi liberal tahun 50-an (oleh Soekarno-Tentara-PKI), dituntaskan oleh dwifungsi ABRI/Orde Baru dalam kondisi yang berbeda—demokrasi Tirtoadisuryo cenderung menggapai nasionalisme dan dalam lingkup modal kolonial di sektor agrikultur; demokrasi liberal tahun 50-an ada dalam lingkup borjuasi kere, kurus kering-kerontang, relatif kosong dari agen-agen modal asing, terutama setelah nasionalisasi; dan dwifungsi ABRI/Orde Baru mencoba beriringan dengan modal yang skalanya lebih luas, baik dalam jumlah maupun dalam geografisnya, dan batas-batas rasionalisasi diversifikasi produknya lebih ke manufaktur, ekstratif, infrastruktur penunjangnya, finansial dan jasa-jasa lainnya, bukan langsung ke agrikultur. Bisa kah? Dalam logika historis, agen perluasan modal Barat seperti itu hanya bisa ditangani oleh borjuasi Tionghoa—Barat sadar itu, tak akan ia menghancurkannya, tak akan ia terseret oleh arus sentimen SARA. Karena itu wajar bila ada kesimpulan bahwa rencana kerusuhan SARA Mei, 1998, adalah tawar menawar (baca: pemerasan) Soeharto pada Barat, yang sudah lama—sejak mengirim Carter—meminta Soeharto turun secara terhormat. Barat sadar, sesadar-sadarnya, tak mungkin masyarakat borjuasi dalam skala modal yang besar dan jalinannya dengan sistim kapitalisme global yang luas dapat digardai dwifungsi ABRI. Namun Barat pun sadar-sadarnya bahwa gradualisme penghapusan dwifungsi ABRI adalah siasat untuk mengatasi ABRI yang akan seperti anak-anak yang suka melempari rumahnya sendiri bila mainannya (yang membahayakan) dirampas, Barat sadar akan siasat untuk menekan resiko terhadap modal. 

Yang merupakan hasil dari euphoria perjuangan bersenjata borjuis kecil dalam revolusi nasional, terutama mulai tahun 1949-an, adalah borjuis kecil kota—terutama dari kaum miskin kota—dari lapisan masyarakat di sekeliling kota-kota pusat propinsi (istilah sekarang), sedikit sekali dari pedesaan (ingat, istilah “pergi ke front” kongkritnya adalah pergi ke desa), dan biasa disebut laskar-laskar rakyat, baik dari Islam, komunis, maupun nasionalis. Setelah komandan-komandan Naga Bonar dilikuidasi dan diintegrasikan kepada TNI, mereka kemudian hanya menjadi komandan-komandan kecil, tentara-tentara kroco berpangkat prajurit, sersan, paling tinggi rata-rata letnan. Sedangkan pangkat kapten sampai jenderal (kebanyakan) dikangkangi oleh tentara-tentara didikan PETA dan tentara-tentara didikan KNIL. Proses integrasi tersebut juga adalah proses kemenangan kepemimpinan tentara (yang kebanyakan) didikan PETA dan (sebagian) tentara didikan KNIL. Watak populis (laskar-laskar) menjadi basis bagi kebencian terhadap perwira-perwira bekas KNIL apalagi, dalam perjalanannya, mereka lebih dekat kepada politisi sipil—itu artinya perjuangan diplomasi ketimbang (ke lapangan) angkat senjata. Legitimasi kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA sebenarnya hanya berdiri di atas dua basis—berhasil mengurung dan mengusir tentara Inggris di Ambarawa dan menolak meletakkan sejata, lebih baik ke gunung (ketika ibukota Yogyakarta diduduki)—plus tambahan serangan umum (lebih tepat sebagai serangan Jogja) 11 Maret. Sedangkan pertempuran 10 November, 1945, di Surabaya, yang sebenarnya merupakan perang internasional modern—dilihat dari persejataan sekutu pada saat itu—yang lebih heroik, yang lebih bermakna “insureksi”, dan berhasil dimenangkan (dalam skala tertentu politik), tidak pernah dijadikan titik tolak potensi penekan yang dapat membantu perjuangan diplomasi, dan juga tidak dijadikan basis bagi pengangkatan kepemimpinan tentara yang lebih bersih dari tentara-tentara didikan KNIL dan PETA. Perjuangan bersenjata dalam kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA dan KNIL kemudian hanyalah jadi kelompok-kelompok penggangu Belanda (tidak efektif) dan parasit-parasit pedesaan—mereka sudah terbiasa menjadi golongan istimewa yang tidak produktif, tidak ada doktrin produksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri (seperti dalam Tentara Pembebasan Mao). Metode perjuangan bersenjata yang menyatu dengan pergolakan massa seperti di Surabaya tidak pernah menjadi doktrin dalam apa yang mereka namakan “TNI-Rakyat.” Tentara-tentara kaum miskin kota kemudian mulai diakomodir dalam apa yang tidak bedanya dengan dwifungsi ABRI—menjadi tentara pembantu wedana/camat, tentara pembantu lurah dan sebagainya di landasan pengabsahan untuk membantu sipil menunjukkan bahwa administrasi Republik masih ada, masih jalan. Dalam euphoria revolusi nasional, tentara-tentara kaum miskin kota ini makin menjadi-jadi pragmatismenya, sektarianismenya, kekakuannya (hitam-putihnya), dan kekerasannya. Perselisihan berlatar-belakang ideologis selalu diakhiri dengan culik-culikan, kudeta-kudetaan, bunuh-bunuhan, dari mulai skala yang kecil sampai pembantaian Madiun, berlanjut terus sampai tahun ‘60-an dan tahun ’65. Bacaan-bacaannya pun banjir darah, tak ada yang namanya toleransi demokrasi, terlebih-lebih lagi, setelah integrasi ke TNI, tak ada bacaan TNI yang bisa berbicara tentang kaitan tentara dan demokrasi—bukan alasan untuk mengatakan tak ada bacaan dalam masa perang, bila kita lihat menjamurnya bacaan di kalangan pejuang sipil di masa perang. Problemnya adalah tak adanya integrasi (baca: kepatuhan) tentara ke dalam kehendak-kehendak sipil, mereka sudah terbiasa berkubang dalam anggapan sipil adalah kompromis, sipil lambat, sipil bertengkar terus, sipil lemah, tentara unggul dan tegas—sebenarnya sektarian, pragmatis dan keras/berdarah. Hasilnya: dalam perang tersebut, berapa tentara Belanda yang mati dibanding TNI yang mati? Jauh lebih banyak TNI yang mati; dalam revolusi nasional tersebut, berapa orang-orang Indonesia yang mati oleh Belanda dibanding yang mati oleh orang-orang Indonesia sendiri? Lebih banyak yang oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dan lebih baik dikatakan bahwa romusha-romusha ini mati karena ulah pemimpin-pemimpin bangsanya sendiri ketimbang oleh Jepang, karena hal tersebut tidak terjadi di negeri-negeri lain yang pimpinan-pimpinannya bukan kolaborator Jepang. Kasus Westerling pun membuktikan bahwa tentara-tentara tersebut kebanyakan sedang bersembunyi di pedesaan atau pinggiran kota. Kasus Bandung Lautan Api dan hijrah ke Jogja membuktikan tentara sedang meninggalkan rakyatnya. Kemunculan politisi-politisi didikan Eropa tak pernah sampai berhasil mapan menanamkan aturan main toleransi demokrasi kepada tentara-tentara borjuis kecil ini maupun kepada politisi-politisi buatan dalam negeri, selalu dikalahkan, diganggu, disabot, dikudeta—misalnya, terlepas benar-tidaknya program front perjuangan, mereka tak punya aturan main toleransi demokrasi, main culik, main tahan. Apalagi mereka yang terlibat di front perjuangan bukan lah atas komitemen (baca: pengabdian) atas program tapi atas (persisnya) oportunisme borjuis kecil—menjatuhkan prinsipnya setelah disogok jabatan dan melepas tanggung jawab (baca: memfitnah) agar tidak disidangkan. Dalam vakum proses peralihan kekuasaan dari penjajahan, mereka inilah yang merampoki, menjarah, memperkosa, dan membunuhi orang-orang Belanda atau yang mereka tuduh pro-Belanda. Tentara-tentara borjuis kecil yang berlumuran darah, koruptor dan penjarah tersebut menghadapkan pertanyaan kepada kita makna kata “revolusi” dalam kalimat revolusi nasional; kemenangan tentara-tentara borjuis kecil ini (baca: bandit-bandit yang secara legal dipersenjatai), yang menjarah lorong-lorong kehidupan sipil, menghadapkan kembali pertanyaan kepada kita: sudah tuntas kah revolusi demokratik? Nasionalisme tentara-tentara borjuis kecil di tanah jajahan, yang dibalut populisme—“kami bebaskan kalian, rakyat, dari kekejian penjajahan Belanda dan Jepang”—terbukti tak cukup untuk membuat mereka takzim pada demokrasi. 

Barat sadar itu semua akan menggangu modal—tahap awalnya memang masih protes melingkar terhadap pelanggaran hak-hak azasi manusia (protes terhadap pembantaian, pembuangan, dan pembunuhan tahun ’65 datang belakangan,)—karena itu generasi AMN dan AKABRI yang berhasil lulus “saringan” (yang sarat dengan KKN dan kreteria kepatuhan) diikutkan dalam program pelatihan di Amerika, yang diberi isian kurikulum hak azasi manusia. Disenangkannya Amerika sekadar sebagai basa-basi diplomatik dan etalase demokrasi, namun bukan atas kesadaran untuk mengamankan pengembangan masyarakat borjuis, menyelamatkan modal. Karena, menurut tentara-tentara pra-borjuis tersebut, keberhasilan kerja mereka bukan diukur dari bagaimana mereka membantu mengembangkan masyarakat modal yang modern, tapi diukur dari kejagoannya menindas lahan-lahan perlawanan yang makin lama makin banyak—perlawanan kaum intelektual, perlawanan mahasiswa, perlawanan kaum tani, perlawanan kelas buruh, perlawanan rakyat Maubere, perlawanan rakyat Papua, perlawanan rakyat Aceh; atau, dalam bahasa Marxis, bukan atas tolak ukur sogokan Bonapartis, bukan dari tolak ukur sogokan sosial-demokrat. 


2 

Kaum teknokrat pro-Barat. Di tahun 1965, masih tersisa teknokrat pro-Barat peninggalan masa revolusi nasional. Pengertian pro-Barat bermakna lebih condong ke sosial-demokrat Eropa. Mereka tak pernah terpakai lama pada masa revolusi nasional, dilibas populisme anti-Barat. Apa yang diperbuat ibu Eropanya? Tak ada. Mereka dikhianati ibu Eropanya sendiri—di Indonesia, modal Eropa memang lebih pengecut. Mereka kemudian berpaling pada demokrasi-liberal Amerika, ibu yang lebih mengasihinya. Itulah mengapa, bagi teknokrat yang lebih berani, mereka rela diuji dalam gerakan separatis, sebagai ujian dengan imbalan diadopsi oleh Ibunya yang baru, Amerika. Ditinggalkannya rumah akedemiknya di tanah tercinta untuk menyongsong ibu adopsi barunya, tanpa sedu sedan, apalagi karena ia telah menitipkan bayi-bayinya—yang ternyata lebih moderat—di rumah akedemiknya, yang masih sayup-sayup (karena sembunyi-sembunyi) mendengarkan lagu-lagu teknokrasi Amerika. Sebenarnya, tak perlu kita bersyakwasangka bahwa kehati-hatian mereka itu adalah cermin kepengecutan mereka; mereka sedang menguji militansinya dalam menumpuk gandum-gandum keyakinan akan kebenaran teknokrasi Amerika. Di tahun ’65, bapak tentaranya lah yang memberi pekerjaan di perusahaan bangsa. Heran kah: dalam perjalanan perusahaan bangsa, tak bisa lagi ia mengadu pada ibu Amerikanya, tak pernah digubris? Satu-satunya tempat ia mengadu adalah ibu spiritual akedemiknya: “Ya ibu akedemikku, teganya engkau melepasku dengan bekal rumus yang tak cukup. Ternyata aku hanya lah kanak-kanak dalam memecahkan rumus modernisasi liberal plus dwifungsi ABRI.” Keluhan lirih, bila saja mereka memiliki (sedikit saja) kejujuran intelektual. 



Borjuasi Tionghoa. Bukan main. Tak pernah lekang kekagumanku atas isi sejarah hidup mereka: perjuangan hidup di segala zaman, di tengah-tengah pemeras bersenjata, berseragam birokrat dan berselubung sentimen SARA. Rasialisme tersebut lah yang menyulitkan mereka ditransformasikan menjadi aset revolusi. Para pejuang anti-diskriminasi yang hanya berkesimpulan bahwa akar dari diskrininasi tersebut semata-mata adalah ratusan kebijaksanaan pemerintah yang diskriminatif, tanpa melihat kesejarahan tentara—berujung dalam dwifungsi ABRI—yang memblokade toleransi demokrasi, dan tanpa mempertimbangkan sentimen agama yang di-SARA-kan, adalah kurang benar. Jalan keluar affirmative policy seperti di Malaysia—yang landasannya tetap saja rasis dan anarkis terhadap tenaga produktif (manusia Tionghoa)—adalah kesalahan lainnya: menghentikan laju para pelomba (orang Tionghoa) yang sudah menang, menariknya kembali agar bisa melakukan start kembali bersama orang Melayu. Menarik untuk mendengarkan kekesalan borjuis pribumi—lebih keras disuarakan oleh borjuis kecilnya—“Tidak akan ada persamaan dengan Cina-Cina itu, tetap saja mereka akan menguasai ekonomi, karena mereka lah yang sudah dan akan terus menguasai jaringan distribusi (pemasaran), jaringan bahan-bahan produksi, dan jalur-jalur teknologi. Tak akan rela mereka menyerahkan jaringan dan jalur-jalur dalam negeri atau dari/ke Singapur, Malaysia, Hong Kong, Taiwannya (kenapa tak ditambahkan Jepang dan Barat) kepada kita, Mereka malah akan semakin menggila dalam persamaan.” Latar belakang historis Tionghoa tersebut lebih ke condong ke mereka yang dibawa oleh merkantilisme dan kolonialisme Inggris serta Belanda; Inggris membawanya ke Sumatera (terutama bagian timur) dan Kalimantan (Borneonya Malaysia dan Brunei), serta Belanda membawanya ke pesisir Jawa. Selain itu Portugis membawanya ke Timor Timur. Sedangkan yang di Cirebon dan Demak lebih cepat terintegrasi karena kemudian bernaung pada yang telah menjadi salah satu penguasa feodal Islam. Ada juga mereka yang langsung dibawa oleh bangsawan-bangsawan Tionghoa seperti yang di Semarang. Namun, sebagian besar (terutama yang di pesisir, dan yang kemudian bergerak ke bagian dalam, yakni pedagang keliling dan pelarian) adalah mereka yang bisa digolongkan budak-budak merkantilis, kuli-kuli perusahaan-perusahaan merkantilis, dan para pedagang kelontongan perantara merkantilis (atau kemudian penguasa kolonial). Kerajaan-kerajaan Jawa ditaklukan merkantilisme, dan kolonialisme mendesak raja-rajanya menjadi raja-raja pedalaman, menjadi raja-raja kampung, yang sudah tidak menguasai laut lagi, menjadi agraris sampai ke sumsum tulang belakang budayanya. Sedangkan ekonomi pesisir adalah perdagangan besar merkantilis Eropa, perdagangan dan industri kelontongan orang-orang Tionghoa, orang-orang Arab, dan orang-orang Jawa Islam. Keuletan, kerajinam, disiplin baja, dan keluwesan mereka—misalnya ketika memperkenalkan barter, kredit, renten dan ijon saat masuk ke daerah dalam dan pedalaman—yang membuat mereka setahap demi setahap menguasai ekonomi perdagangan eceran, terutama setelah mereka melakukan persatuan-persatuan modal di atas basis klan, saudara, kampung asal, dan pertemanan. Kemajuan mencolok, terutama di daerah pesisir utara Batavia (Jakarta), mengkhawatirkan penguasa Belanda (baca: VOC, perusahaan merkantilis Belanda). Kekhawatiran tersebut diselesaikan oleh pembantaian massal orang-orang Tionghoa di Batavia Utara. Musnah kah mereka? Tidak. Pada Akhir abad 19 sampai awal abad ke 20 saja mereka adalah penulis-penulis novel dalam bahasa lingua franca pertama (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa mendirikan bank sendiri (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa mendirikan sekolah sendiri (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa memiliki koran sendiri (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa bersatu dan menggunakan alat boykot (sebelum “pribumi” mengenalnya) terhadap monopoli Belanda—ternyata Belanda pun memang tergantung pada kaki tangan perantaranya tersebut. Mereka juga memberikan contoh nasionalisme dan modernisme bagi “pribumi” ketika mereka menyebarkan atmosfir nasionalisme Boxer Rebellion di kalangan orang-orang Tionghoa konservatif. Mereka juga yang mulai masuk ke pedalaman memberikan basis bagi masuknya desa dalam jalur distribusi dan pemasaran kota, dan memberikan basis bagi perkawinan campuran, serta memberikan basis bagi keterlibatan mereka dalam revolusi nasional—mereka adalah para pemasok, penyelundup-penyelundup logistik dan persenjataan revolusi nasional melalui tongkang-tongkang dan kapten-kapten Tionghoa yang bekerja di kapal-kapal dagang Belanda. Perkembangan positif tersebut dihancurkan kembali oleh rasialisme PP 10—adakah perlawanan resmi dari kaum demokrat atau PKI terhadap PP 10 tersebut? TIDAK ADA. Kecuali pribadi Pram, yang membuat ia dijebloskan ke penjara. Setelah PP 10 itulah keluar berbagai macam kebijaksanaan diskriminatif, yang diteruskan dan diperbanyak oleh Orde Baru. Pedagang-pedagang “pribumi” dan Arab, yang kalah saingan, mulai saling menghasutkan kecemburuan mereka yang dibalut sentimen SARA—pembentukan ronda anti-cina pedagang-pedagang batik Jawa-Muslim dan pembantaian massal (banyak dengan cara penyembelihan) yang dipimpin/dihasut oleh pedagang-pedagang Jawa Muslim di Kudus. Cara tersebut kemudian menjadi solusi orang-orang “pribumi” dalam melampias kemarahannya terhadap kekalahan dan kemiskinan, berkali-kali terjadi baik dalam masa Soekarno maupun pada masa Orde Baru. Bagi penguasa Belanda dan Orde Baru cara tersebut adalah upaya mencari kambing hitam dalam mengalihkan perhatian orang-orang “pribumi” terhadap problem riilnya—apalagi bila saat kesadaran massa (dalam memahami penyebab kekalahan dan kemiskinannya) mulai cenderung mengarah ke penguasa. Sekarang ini, Yahudi bukan lagi pemilik tunggal kreativitas progrom. Tumpul kah kemampuan ekonomi orang-orang Tionghoa oleh PP 10? Tidak. Pengusiran mereka ke kota menyebabkan ekonomi Kota seperti mendapat tambahan enerji, tambahan tenaga produktif dalam mengelola jalur pemasaran, bahan baku, dan jalur teknologi. Matikah sentimen SARA? Tidak. Cuma dipindahkan ke kota-kota. Karena tidak semua orang-orang Tionghoa itu kaya dan pedagang, dan juga karena agitasi-propaganda PKI, maka mereka mulai terlibat dalam aktivitas politik—diakomodir sebagai anggota PKI atau dalam ormas yang dipengaruhi PKI, BAPERKI. Bahkan mereka bisa masuk dalam jajaran pimpinan partai dan kabinet Soekarno. Tahun ’65, adalah penjara dan pembunuhan bagi orang-orang Tionghoa PKI dan BAPERKI, serta tawaran untuk kembali (secara sukarela) ke RRT (Sekarang RRC). Barat khawatir pemaksaan/pengusiran orang-orang Tionghoa; Barat khawatir tidak punya agen-agen bagi modalnya. Soeharto pun tentu akan khawatir bila kaki tangan pengelola modalnya, Liem dan Bob Hasan, terusir. Babak baru tahun ’65 adalah takdir historis bagi rezeki nomplok mereka, senang atau tidak senang. Kepercayaan Barat/Jepang dan pemerintah, bahkan individu-individu tentara dan birokrat, terhadap orang-orang Tionghoa untuk menjadi agen-agen dan pengelola modalnya tak terelakkan. Apalagi ketika bisa diintegrasikan dalam jalur-jalur dan jaringan Singapura, Hong Kong, Taiwan dan Jepang, mula-mula di perdagangan dan jasa, kemudian di industri manufaktur dan perbankan. Sektor ekstratif yang diisi oleh modal Barat (kemudian Jepang) setahap demi setahap dimasuki melalui jalur sebagai supplier dan sub-kontraktor, apalagi pada sektor ekstratif yang dikuasai negara, akselerasi masuknya lebih cepat (karena KKN). Dalam duapuluh tahun kekuasaan Orde Baru, selain oleh orang-orang asing dan (sedikit pribumi) praktis seluruh sektor industri, jasa, perdagangan, dan keuangan, dari yang ringan sampai yang berat, dari yang berteknologi rendah sampai yang tinggi, dari yang asli sampai yang palsu, semuanya dikuasai orang-orang Tionghoa. Bahkan kriminalitas tingkat tinggi dalam perbankan, keuangan dan narkotika pun dikuasai mereka (bekerjasama dengan kaki tangannya, tentara-tentara, birokrat-birokrat dan preman-premannya). Solusi terhadap peningkatan, perluasan akselerasi dan volume modal di tengah-tengah pemeras bersenjata, berseragam birokrat dan berselubung sentimen SARA adalah: kenaikan harga dan penyelundupan. 


4 

Borjuasi “pribumi". Kenapa harus dibedakan dengan borjuasi Tionghoa, sehingga harus ada penjelasan? Perbedaannya paling-paling dalam hal bahwa borjuasi kelontongan “pribumi” akan lebih cepat selesai sekaratnya, lebih cepat matinya, karena mereka bukan lah bagian dari jaringan formal—berdasarkan persetujuan, bukan melalui mekanisme pasar bebas—yang mendapatkan bantuan dari borjuasi besarnya (baik dari yang “pribumi” maupun dari yang Tionghoa). Borjuasi kelontongan “pribumi” hidup dalam belantara hutansurvival of the fites: “Kita sih tinggal tunggu mati saja. Semua ujung-ujungnya di Cina, yang punya modal. Pemerintah juga ng’ga bantu kita.” Sedangkan borjuasi kecil Tionghoa merupakan jaringan formal borjuasi besarnya, dibantu pengadaan barang dan permodalannya, merupakan kaki tangan borjuasi besarnya. Sedangkan perbedaan non-ekonomis antara borjuasi “pribumi” dengan borjuasi Tionghoa adalah: borjuasi “pribumi” sarat dengan sentimen rasialis. Kebencian terhadap kroni lebih condong pada kebencian karena Soeharto lebih dekat kepada borjuasi Tionghoa. (Dalam perkembangan formasi borjuasi, ada hal yang penting juga untuk dicatat: meningkatnya para borjuasi muda, terutama anak-anak keluarga Soeharto, kerabatnya, teman-temannya dan anak-anak pejabat, yang lebih bisa bekerjasama dengan borjuasi Tionghoa.) 


5 

Angkatan ’66 dan kelanjutan yang berbeda. Pram tidak mau memberikan komentar mengenai Angkatan ’66, karena tak bernilai, katanya. Patut dimaklumi, (langsung tidak langsung) mereka juga bertanggung jawab atas pembantaian 3 juta manusia dan pemenjaraan serta pembuangan ribuan anggota PKI, simpatisannya, bahkan orang-orang yang tak tahu menahu. Namun ada sisi lain yang perlu dikomentari: bagaimana “calon demokrat” tersebut tak berdaya di hadapan tentara. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa kanan di bawah naungan bekas Partai Sosialis, PNI-kanan, partai-partai Islam dan partai kiri (Murba). Dalam demokrasi terpimpin, dengan derajat yang berbeda-beda, mereka mendengar sayup-sayup, membaca tanggung-tanggung bocoran-bocoran tentang harapan-harapan Barat, modernisasi, demokrasi liberal dan sosial-demokrasi. Termasuk juga di dalamnya adalah bocoran tentang kediktatoran Stalinisme, yang mereka persiskan dengan demokrasi terpimpin. Demokrasi sayup-sayup, demokrasi tanggung-tanggung tersebut adalah: Barat “bebas dan modern,”—dalam pengertian mereka, bukan dalam pengertian Barat. Sejak awal “demokrasi” (baca: “bebas dan modern”)-nya Orde Baru, mereka sudah diuji di hadapan bangkai (banyak yang tanpa kepala) 3 juta manusia dan pemenjaraan/pembuangan manusia (tanpa pengadilan). Apakah benar bahwa bocoran “demokrasi” tersebut berasal dari Barat? Tidak masuk akal, karena “kebebasan dan kemodernan” mereka menyetujui pelanggaran terhadap kemanusian—padahal Eropa telah sanggup menyelesaikan Eropa barbar dan Eropa fasis; Amerika telah sangup menyelesaikan Amerika perbudakan. Atau memang ada teori universal yang mengatakan bahwa demokrasi Barat akan dimanipulasi begitu sampai di tanah negeri-negeri Dunia Ketiga, manipulasi kolonialisme atau imperialisme terhadap demokrasi? Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa kesatria “kebebasan dan kemodernan” yang sedang sekarat, kalah secara politik dan ideologi, baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa suci, bersih dari pekerjaan agitasi-propaganda, bersih dari pengorganisiran massa, bersih dari pekerjaan mobilisasi massa. Suci dan bersihnya borjuis kecil. Mereka mahasiswa-mahasiswa cengeng ketika menghadapi gempuran dari ideologi dan politik lain: mencari gantungan kepada unsur kelompok penggempur (baca: penindas) yang lebih kuat dan keji, tentara. Memang, suci, bersih dan cengengnya borjuis kecil. Sebenarnya, sejak sebelum tahun ’65, demokrasi mereka sudah sayup-sayup dan tanggung-tanggung karena, sebagai orang kalah malah mengadu, membudak pada tentara. Piala “kebebasan dan kemodernan,”—yang seharusnya dipersembahkan atas jerih payahnya mendalami dan membumikan demokrasi—tak pernah ada dalam kalkulasi mereka; bagi mereka, makna “kebebasan dan kemodernan” adalah yang dihaturkan tentara: kemenangan pembasmian brutal komunisme. Kemesraan sejoli (mahasiswa-tentara) yang gembira, bahagia, dan menggila: sorak-sorai mahasiswa saat membawa tukang pukul tentara yang pandai/keji; sorak-sorai tentara saat memboyong legitimator mahasiswa yang bodoh/keji. Pada saat itu, tentara akan mendapat kesulitan bila tidak mendapat legitimasi rakyat atas tindakannya, itulah sebabnya, dengan perlindungannya, ia turunkan budak-budak mahasiswanya untuk memprovokasi rakyat turun ke jalan—rakyat yang sedang miskin, yang sedang pragmatis. Setelah itu, tentara, bersama mahasiswa dan pemuda yang paling kanan, langsung atau tak langsung, membantai saudara-saudaranya sendiri, sampai 3 juta bangkai—sekali lagi, banyak yang tanpa kepala. Selain itu, makna mahasiswa yang paling kanan adalah segera, setelah lulus, mengemis, mengetuk-ngetuk pintu-pintu kabinet, pintu-pintu birokrasi-birokrasi tinggi, pintu-pintu tender pemerintah, agar diperbolehkan masuk ke dalamnya. Mereka bodoh dan keji. Ada juga yang naif: itulah mereka yang sadar akan mudahnya upaya pengembangan demokrasi digagalkan tentara; itulah mereka eksponen ‘66 yang pada tahun ’74 berada di belakang layar mendukung MALARI—mereka pikir MALARI akan menang. Mendukung demokrasi karena harapan akan menang (tanpa berkeringat dan tanpa resiko), atau bukan mendukung demokrasinya itu sendiri, oportunis tulen—sejak itu mereka tak mendukung lagi demokrasi (walaupun pemaknaan demokrasi sudah semakin maju), karena mereka tak memiliki harapan menang. Segelintir dari mereka, bersama-sama dengan segelintir pelaku-pelaku MALARI dan gerakan mahasiswa ’78, masuk dunia akedemik dan LSM, selebihnya menjadi birokrat, teknokrat dan kapitalis kelontongan. Seperti habis gelap terbit lah terang saat menyaksikan menjamurnya LSM dan sedikit propagandis-propagandis akedemik—yang baru menggondol gelar ilmu-ilmu kemanusiaan yang “demokratik dan pro-rakyat”. Digantungkannya harapan kaum muda pada mereka; berduyun-duyun kaum muda diserap LSM-LSM, berduyun-duyun kaum muda sowan pada akedemisi-akedemisi tersebut. Namun, ternyata, habis terang redup lah terang; karena “demokrasi” mereka masih terbatas, masih “demokrasi” tanpa kiri/komunisme, masih “demokrasi” di sisi tentara, masih “demokrasi” tanpa massa, masih “demokrasi” tanpa perebutan kekuasaan oleh rakyat, masih “demokrasi” tanpa radikalisme, masih “demokrasi” tanpa militansi, masih “demokrasi” tanpa politik, redup, hening. Namun, keredupan tersebut patut dimaklumi: keberhasilan menghancurkan gerakan MALARI ’74 dan gerakan mahasiswa ’78, dianggap oleh rejim Orde Baru sebagai momentum konsolidasi untuk lebih dalam menindas oposisi, baik dalam bentuk ideologi—pembangunan, P4, “demokrasi” Pancasila, “demokrasi” Timur, “demokrasi” terbatas, “demokrasi” bertanggungjawab, “demokrasi” bukan liberal bukan komunis, musyawarah mufakat bukan voting, kekeluargaan, gradualisme, "kesederhanaan", tepo seliro, dan lain-lain dan lain-lain (yang makin mempertajam pencarian dialektika “Apa yang sebaliknya dari semua itu)—maupun dalam bentuk struktur politik penindasan—perluasan struktur intelejen, perluasan struktur dwifungsi ABRI, korporatisme/intergralisme terhadap seluruh sektor masyarakat, cengkraman lebih dalam terhadap birokrasi pegawai negeri dan dunia pendidikan/akedemis, serta syarat-syarat hidup yang lebih ketat terhadap media massa. Selain itu, juga redup oleh sogokan beberapa tahun bom minyak. Keredupan tersebut menggelisahkan kaum muda, terutama mahasiswa-mahasiswa yang tidak terserap oleh LSM dan kasak-kusuk oposisi elit. Kegelisahan tersebut sebenarnya cerminan dari tertampungnya tetes-tetes bocoran dari Barat juga (baca: alternatif Barat bagi Dunia Ketiga) dalam bentuk populisme, sosial-demokrasi, dan skenario low intensity conflict-nya LSM. Tetes-tetes bocoran Barat yang lebih sulit lagi ditampung—dan ini hanya bisa ditampung melalui orang-orang yang selesai belajar di luar negeri dan/atau oleh anak-anak muda yang mengoreki sisa-sisa literatur lama yang dijuali pegawai-pegawai kejaksaan ke loakan—adalah bacaan-bacaan progresif/revolusioner. Selain itu, bocoran Barat yang patut diperhitungkan sebagai basis radikalisme/militansi adalah liberalisme (baca: kebebasan) yang—walaupun masih bercampur dengan warisan kekerasan populisme Indonesia—sanggup menyebabkan borjuis kecil (terutama yang lapisan bawahnya) bertambah muak pada kemunafikan tata-tertib sisa-sisa feodal kaum birokrat dan tentara. (Itulah liberalisme yang dimaktub dalam entertainment barat, yang sarat kekerasan (violence), vulgar dan profane (dangkal). Kaum muda ‘80-an, yang menerima bocoran iman progresif/revolusioner—di atas warisan populisme dan radikalisme/militansi borjuis kecil (dari ibu liberalisme entertainment)—setahap demi setahap bisa membuka ruang demokrasi dengan AKSI MASSA (tentu saja setelah melambaikan salam perpisahan pada metode-metode LSM dan kaum kiri moderat). AKSI MASSA mulai diterima dan meluas ke segala sektor masyarakat sebagai ALAT perjuangan—apalagi elit-elit politik dan PDI-Megawati belum turun ke gelanggang politik (ekstra-parlementer) untuk memanipulasi massa, kebanyakan masih menjadi kaum kolaborator atau gradualis. Dan kaum muda tersebut memang masih sangat muda untuk sanggup menerima represi rejim Orde Baru (yang menghalangi kaum muda memiliki alat-alat politiknya sendiri—wadahnya, figurnya, korannya dan sebagainya). Pembentukan PRD belum bisa dilihat sebagai jalan keluar oleh kaum pragmatis atau oleh kesadaran palsu massa. Namun demikian, gerakan kaum muda itulah yang sanggup membuka peluang dijatuhkannya Soeharto, sedangkan elit-elit politik dan partai-partai politik terkemuka (mainstream) hanyalah menjadi benalu, parasit (tak tahu malu) terhadap konsep reformasi, reformis gadungan (yang, setelah berkuasa, jangankan mengajak kaum muda dalam perspektif pemerintahan mendatang, berterima kasih pun tidak—dalam kalimat Pram: secangkir teh manis pun tak disuguhkannya). Setelah kejatuhan Soeharto, terbuka lah ruang yang lebih luas bagi peserta-peserta politik mainstream untuk memanipulasi kesadaran palsu massa—namun keterbukaan itu sendiri mulai memecah dukungan massa pada manipulator-manipulator lainnya—misalnya, dukungan suara bukan saja diberikan pada PDI-P tapi juga pada PKB dan PAN—dan, sebenarnya, bersamaan dengan itu, propaganda kesadaran sejati dari mahasiswa dan kaum kiri mendapatkan momentum, potensi, bagi perluasannya. 


6 

Partai-partai politik. Partai-partai politik sisa-sisa (yang tersaring) pemilu pertama (setelah kemerdekaan) makin tak bisa belajar demokrasi setelah dekrit kediktatoran demokrasi terpimpin; suatu pertarungan (wajar) partai-partai politik diselesaikan oleh kediktatoran; serangan nasionalisme dan populisme dimenangkan dengan bersandar pada tentara dan PKI. Serangan nasionalisme dan populisme sebenarnya syah-syah saja selama ia bersandar pada aturan main demokrasi, aturan main TANPA TENTARA—terlebih-lebih, tentara sendiri bukan mendasarkan keterlibatannya guna membantu serangan nasionalisme dan populisme dengan setulusnya, tapi serangannya bertujuan sekadar untuk menggelar permadani merah dwifungsi ABRI, lain tidak. (Dan mengapa PKI mendukungnya?) Sepanjang sejarah revolusi nasional (dengan “perang kemerdekaan”), jalan tengah, dwifungsi ABRI, selalu mengendap-ngendap di gang-gang gelap terorisme, bukan di boulevard demokrasi—yang tak akan mengizinkannya hidup. Serangan populisme pra-borjuis dan nasionalisme begitu gencar dan uletnya, sejak awal abad 20 tak pernah padam—segala macam cara yang kontadiktif digunakan (dengan teror dan, rencananya, akan ditutup dengan demokrasi liberal)—namun dijegal oleh kediktatoran demokrasi terpimpin. Serangan-serangan nasionalis-kiri dan komunis dalam demokrasi terpimpin—yang mendorong partai-partai Islam dan partai sosial-demokrat ke sudut potensi kekalahan politik dan ideologinya—dihadapkan pada serangan balik yang absyah: “Kami sedang berhadapan dengan kediktatoran.” Perlawanan ideologi (membocorkan “Kebebasan dan modernisme”) dan perlawanan politik (provokasi tentara) memperkeras kediktatoran versus pemberontakan Islam dan gerakan separatis yang, tentu saja, mengundang keterlibatan Barat dengan legitimasi: melawan kediktatoran. Pra-borjuasi kurus kering yang sekarat ini sedang mencari picu lonceng kematiannya dan tentara, tentu saja, adalah malaikat pencabut nyawanya. Tentara mengerti itu: “Harus sekarang juga, sebelum komunis berubah pikiran, sebelum komunis merubah jalan parlementernya dan mempersenjatai diri—dapat dibayangkan apa jadinya bila 3 juta anggota dan 10 juta sipatisan berkomitmen pada perjuangan ekstra-parlementer/bersenjata. (Apakah benar mereka bisa mengambil jalan ekstra parlementer, adakah latihan untuk itu?). Ideologi, politik, ekonomi, dan sekaligus oknum-oknum pra-borjuis kurus kering ini dilumat habis, demi rasionalisasi akselerasi dan peluasan modal yang lebih gigantik, karena masa lalu pra-borjuis kurus kering tersebut sama sekali tak berguna. Benarkah yang demikian itu adalah jalan keluar Barat/kapitalisme terhadap Indonesia? Ada yang luput dari pelumatan: dwifungsi ABRI yang bergandengan tangan dengan sisa-sisa feodal yang, sebenarnya, menggerogoti modal. Nampaknya, sebagai toleransi terhadap Dunia Ketiga, modal acuh tak acuh saja terhadap status liberalisme yang didepak ke luar sistim. “Liberalisme” (yang berada di luar sistim tersebut), sampai sejauh ini, memang tak bisa menyentuh hati politik kaum “demokrat” sekalipun. (Namun, tidak demikian bagi hati, tangan dan kaki politik kaum muda—bersamaan dengan over productionexcess supply, hati, tangan dan kaki kaum muda meracik liberalisme dengan polulisme dan sosialisme sebagai karcis politik untuk: MENGGULINGKAN SOEHARTO.) Itulah mengapa, terutama setelah fusi partai-partai pada tahun ’73, tak bisa lagi diharapkan ada alternatif yang berlawan. Fusi partai-partai itu sendiri merupakan upaya rejim Orde Baru untuk meniadakan kemandirian partai-partai dan menyulitkan kehesivitas politiknya. Maka, di kepala orang-orang partai, makin menjadi-jadilah anggapan bahwa strategi gradualis adalah jalan terbaik—suatu formulasi strategi politik yang selalu diganggu variabel-variabel: “Marahkah tentara? Tertutupkah arena politik legal kami jika tentara tak mengizinkan?” Itulah yang membuat mereka sulit keluar dari kubangan lumpur-hisap moderasi. Karena itu, pada momentum 27 Juli, pimpinan-pimpinan PDI-Megawati selalu berusaha memukul mundur tindakan anggotanya yang bisa mengancam arena politik legal mereka, yang bisa menutup arena politik legal mereka (dan, ternyata, walaupun mereka bertindak moderat, tetap saja Orde Baru menutup arena politik legal mereka, tak diizinkannya PDI-Megawatu ikut pemilu). Namun logika massa bergerak ke arah lain, menuntut serangan langsung pada kediktatoran, karena kesadaran anti-kediktatorannya benar-benar tersinggung dan telah merasa sanggup untuk: BERLAWAN. Itulah mengapa hapusnya dwifungsi ABRI akan membuka perspektif formula politik sesejati-sejatinya, karena hilang sudah variabel tentara dalam kalkulasi politik politisi. Walaupun “oposisi” (PDI-Megawati) berhasil berkuasa, namun kalkulasi politik tersebut akan tetap menjadi ayat-ayat suci mereka—apalagi GOLKAR masih No.2 dan dwifungsi ABRI belum tuntas; dan dilihat dari basis historis watak mereka, serta gradualnya dwifungsi ABRI dihapuskan, maka kekuasaan yang mereka pegang tetap tak akan memberanikan mereka bersandar pada dekrit formal penghapusan dwifungsi ABRI—lagipula, bisa kah dwifungsi ABRI ditutup oleh dekrit formal. Dan bisa kah mereka bersandar pada cara lain: KEKUATAN MASSA? Makna kemenangan dalam benak mereka adalah, pertama, tetap diizinkan bermain dalam arena politik legal—yang, sebenarnya, harus direstui tentara terlebih dahulu dalam kasak-kusuk di hotel-hotel; kedua, dianugrahi cap sebagai kaum reformis sehingga memudahkannya memenangkan pemilu—itu artinya (faktanya) adalah semata-mata membenalui penjatuhan Soeharto (hasil keringat dan darah juang mahasiswa, kaum tani, dan kaum miskin perkotaan).

Pertanyaannya: bisakah rakyat, yang sedang menderita dan berlawan sekarang ini, menyimpulkan mereka sebagai REFORMIS GADUNGAN? Tentu saja bisa, dan harus dipercepat oleh kaum pelopor, SANG PANDAI API—yang bermimpi tentang negeri yang sayang pada rakyatnya.


×