Sebuah perkebunan Kelapa Sawit yang dikelola PT. Nabire Baru (PT NB) di wilayah Kab. Nabire, Provinsi Papua dengan total luas lahan sekitar 10 ribu hektar, saat ini sedang dipersoalkan aspek legalitasnya.
Selain itu, persoalan lainpun ikut “dimunculkan” seperti masalah dampak lingkungan, kompensasi lahan yang belum diterima warga pemilik hak ulayat, pelepasan tanah secara terpaksa oleh masyarakat hingga kekhawatiran bahwa perkebunan kepala sawit akan berdampak pada semakin banyaknya warga pendatang di Papua.
Memang sudah ada penjelasan resmi dari Asisten II Setda Kabupaten Nabire, Benyamin Karet, SH, MAP bahwa lahan tersebut tidak ada masalah secara adat. Namun dalam RUTR (Rencana Umum Tata Ruang Kab. Nabire) tidak ada plot lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Lantas kenapa Pemda (tentu juga Pemprov) bisa mengeluarkan ijin usaha kepada PT.NB?
Transmigrasi
Kalau menilik luas lahan yang sedang dikelola utk proyek perkebunan kepala sawit itu, sudah tentu akan lahir kebijakan ikutannya, yaitu menjadikan Nabire sebagai daerah tujuan transmigrasi yang nantinya akan dipekerjakan di perkebunan kelapa sawit tersebut. Kebijakan ikutan inilah yang seakan menjadi batu sandungan di kalangan aktivis peduli masa depan Papua. Mereka terang-terangan menolak program transmigrasi di wilayah itu.
Karena dikhawatirkan bahwa transmigrasi
1. Kabupaten Nabire memiliki 81 Desa dan 14 Kecamatan. Komoditi unggulan di wilayah ini berdasarkan data dari BPS Provinsi Papua adalah sektor pertanian dan jasa. Komoditi unggulannya adalah Kakao, Kopi, Kelapa, Cengkeh, dan Jambu Mete. Sub sektor Pertanian komoditi yang diunggulkan berupa Jagung dan Ubi Kayu. Dari data di atas, tampak jelas bahwa wilayah Kabuten Nabire, sama sekali tidak diplot (baca : rencana umum tata ruang) untuk perkebunan kelapa sawit.
2. Menurut Asisten II Setda Kabupaten Nabire, Benyamin Karet, SH, MAP, lahan perkebunan kelapa sawit yang sedang dipermasalahkan itu sebetulanya eks lahan HPH milik PT Jati Dharma Indah (JDI). Pihak JDI masih mengklaim status lahan tersebut masih menjadi miliknya dengan batas akhir HPH 2017. Jika terjadi saling klaim antar kedua investor tersebut, tentu ujung-ujungnya, masyarakat lokal yang akan merasakan dampaknya. Yang berarti pula, Pemda setempat telah merekayasi ijin bagi PT. Nabire Baru.
3. Dari aspek dampak lingkungan, sudah banyak dikampanyekan oleh LSM internasional seperti Green Peace dan WALHI bahwa perkebunan kelapa sawit selalu meninggalkan kasus-kasus konflik perebutan lahan yang berakibat pada jatuhnya korban jiwa. Ini terkait dengan ketidakberesan pemberian HPH yang dibuat dengan dasar korupsi. Contoh kasus di Mesuji Lampung misalnya.
4. Dari aspek ekonomi, keberadaan perkebunan kepala sawit, tidak mesti membawa kesejahteraan bagi warga sekitar, karena pemilik perusahaan cenderung mempekerjakan tenaga kerja dari luar daerah. Sehingga keinginan untuk mesejahterakan masyarakat lokal kadang hanya janji-janji kosong. Memang secara kasat mata kehadiran kaum transmigran di tanah Papua mampu menyuplai kebutuhan warga kota terutama sayur sayuran, buah buahan dan juga keperluan lainnya. Bahkan mereka banyak direkrut menjadi buruh pada perkebunan kelapa sawit. Namun disisi lain tingkat adaptasi mau pun kesejahteraan penduduk asli Papua justru terpinggirkan dan terpuruk. Asimilasi dan alih teknologi yang dicanangkan pemerintah justru tak berlangsung mulus dan secara alamiah.
Dari uraian singkat di atas, kiranya masalah perkebunan kelapa sawit di Nabire dapat ditinjau kembali. Papua sudah sarat dengan banyak persoalan. Jangan menambah beban bagi wilayah Papua dengan program-program yang tidak rasional. Ujung-ujungnya hanya akan memperpanjang konflik di wilayah ini. Biarkan orang Papua hidup damai di tanahnya sendiri.
Oleh : Hamid Ramli
Sumber : Kompasiana