Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

Menggugat Perspektif Ahistori Ex Tegal Waroe Landen

Minggu, 05 Juli 2015 | Juli 05, 2015 WIB Last Updated 2018-01-14T10:04:11Z



24 juni setahun yang lalu,terdapat jutaan pasang mata yang terbelalak saat menyaksikan ribuan aparatbrimob dengan bringasnya mengusir para petani yang tetap mempertahankan tanahnya. Decak lidah empati dan kernyit dahi tanda heran menyertai elusan dada sang korban penjarahan. Sejak itu kontrol atas obyek fisik tanah mutlak berada dalam genggaman si pemilik modal dalam korporasi Agung Podomoro Land.

Orde Lama dalam Nasionalisasi
Proklamasi kemerdekaan (revolusi agustus 1945), tidak menyertamertakan lenyapnya gangguan politik dan milliter kaum penjajah. Rakyat Indonesia masih harus gigih berjuang melawan aksi polisionil (agresi militer Belanda) dalam mempertahankan kemerdekaan agar Indonesia benar-benar menjadi sebuah negara yang berdaulat. Namun, elit-elit politik negeri ini memupuskan cita-cita kemerdekaan. Diantaranya ialah Hatta dan Syahrir. Kedua tokoh ini berlatar belakang kaum borjuis feodalberwatak peragu dan kompromis. Tentunya, Hatta dan Syahrir dalam kaitan apa yang dikontribusikan Den Haag dalam Ronde-Tafelconferentie (Konferensi Meja Bundar-1949) telah menyebabkan bukan saja lepasnya Irian Barat tetapi perjuangan kedaulatan ekonomi bangsa menjadi tersendat karena beban utang.  Dengan dasar itulah kemudian atas desakan komponen-komponen rakyat progresif, pemerintah Indonesia harus secara serius meninjau ulang hasil KMB yang merugikan bangsa. Kemudian pada 1956 kabinet Sastro Amidjoyo II membatalkan perjanjian KMB secara Unilateral agar Irian Barat (bukan pada konteks apartheid) yang kaya sumberdaya alam kembali kepada pangkuan Republik Indonesia secara khusus serta terselenggaranya tatanan berbangsa dan bernegara yang merdeka 100% tanpa utang dan campur tangan asing.

Guna mewujudkan kedaulatan bangsa tanpa intervensi asing,  pemerintah Soekarno-Kabinet Djuanda mandukung keinginan rakyat untuk mengambil alih aset-aset miilik Belanda. Pendudukan perusahaan-perusahaan Belanda pun secara gencar dilakukan oleh kaum buruh dan petani. Seiring perjalanan waktu, mulai muncul campur tangan borjuasi bersenjata (milter) khususnya Angkatan Darat dibawah komando A.H. Nasution dalam proses nasionalisasi yang tengah gencar dilakukan oleh pemerintahan sipil (Soekarno dan kabinet Djuanda) bersama organisasi kerakyatan seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis). Abdul Haris Nasution menginginkan kendali Nasionalisasi berada ditangan militer. Namun terbukti taksedikit kerugian yang diderita oleh perusahaan-perusahaan yang secara manajemen berada di bawah kendali militer karena korupsi, bahkan beberapa diantaranya mengalami kebangkrutan di akhir 1960 an. Hal inilah yang kemudian bagi para pendukung Neoliberal dan anti Nasionalisasi mengajukan alasan tersebut agar Soekarno menyudahi kebijakan Nasionalisasinya karena hanya peran swasta dan terutama asing yang bisa menjalankan kegiatan bisnis-ekonomi dengan profesional.
Namun pemerintah tak bergeming dengan alasan-alasan usang itu, justru, dalam rangka merespon situasi seperti demikian, Soekarno membentuk Badan Nasionalisasi  Perusahaan Belanda dan pada 1958 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.23/1958 dinyatakan secara tegas bahwa perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi menjadi milik pemerintah RI. Sehingga kebijakan tersebut dimaksudkan selain membuntungi peran militer dalam bisnis juga meneguhkan keyakinan sebagai sebuah bangsa bekas jajahan berkenaan dengan nasionalisasi yang merupakan salah satu manifestasi politik RI dalam menuntaskan revolusinasional.

Hampir dalam waktu yang bersamaan terbitlah UU no 1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir atau dalam bahasa lain Nasionalisasi Tanah milik Pengusaha asing. Kebijakan ini dilandasi oleh pergulatan inisiatif yang mengarah pada persetujuan universal mengenai kepemilikan atas tanah yang merupakan sumber awal dari semua kekayaan telah menjadi masalah besar yang pemecahannya menentukan hari depan rakyat Indonesia. Jangan sampai kemerdekaan rakyatIndonesia (17 agustus 1945) turut mendorong tegaknya kapitalisme. Kapitalisme dalam pengertian satu kesatuan sistem ekonomi dimana sumber-sumber agraria baik berupa tanah, sumber daya alam yang terkandung di dalam tanah dan segala sesuatu yang ada di ruang udara dikuasai oleh segelintir manusia dan menyengsarakan manusia kebanyakan.
Salah satu tanah milik Belanda yang diambil alih oleh RI adalah Partikelir Eigendom Perponding No. 53 NV. TegalWaroe Landen dari Mij Tot Exploitatie Vande yang berada dikecamatan Teluk Jambe. Pada tahun 1959 tanah Tegalwaroe Landen resmi diambilalih negara yang kemudian diserahkan kepada panitia Land Reform untuk diredistribukan kepada rakyat. Tanah inilah yang dikemudian hari menjadi objek konflik antara rakyat dengan perusahaan swasta.

Pada waktu yang bersamaan pula lajurevolusi nasional tak henti-hentinya mendapat rongrongan baik dari luar (kembalinnya Belanda) maupun dalam negeri seperti PRRI, Permesta, RMS danDI/TII. Segala rongrongan yang berkecamuk tersebut bukan semata-mata hak federalis dekolonisasi melainkan hadirnya peran Amerika Serikat sebagai imperialisme dunia yang hendak menguasai Indonesia dengan sistem kapitalismenya dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai protektorat dependensi. Hingga pada suatu saat kekuasaan OrdeLama-Soekarno yang anti Nekolim berhasil dijatuhkan AS melalui Militer sayap kanan di bawah komando Soeharto. Sejak saat itu seiring dengan berdirinya kekuasaan militer Soeharto, Nasionalisasi Aset-aset asing berhenti seketika karena komponen-komponen pokok pendukung Nasionalisasi dan Land Reform terutama Partai Komunis Indonesia menjadi sesuatu yang paling menjijikan bagi Soeharto danAmerika Serikat sehingga Soeharto dengan kekuatan militernya melakukan pembantaian besar-besaran terhadap PKI dan semua Organisasi Underbownya. Dengan demikian pada suatu era tertentu tak ada lagi Nasionalisasi tanah milik asing untuk secara cuma-cuma diberikan kepada rakyat Indonesia. Era itu di dikenal dengan Orde Baru.

Orde Baru yang Anti Reform
Upaya konklusif untuk menegakkan simbol otoritas militer dalam kekuasaan Orde Baru, Irian Barat yang dahulu dipertahankan mati-matian oleh rakyat Indonesia agar tidak jatuh ke pangkuan kolonial Belanda, harus  dipersembahkan kepada Amerika Serikat sebagai balas jasa Soeharto kepada Amerika Serikat yang telah membantu menggulingkan sang Nasionalis Soekarno dan menghantarkan dirinya ke puncak kekuasaan RI.  Sejak terbitnya UU Penanaman Modal Asing tahun1967, hingga saat ini Freeport (perusahaan tambang milik AS) masih begitu bebas mengeruk kekayaan alam Papua terutama emas. Dari segala kegiatan pertambangan tersebut Soeharto hanya mendapat ceceran fee saja.
Di awal kekuasaan orde baru investasi begitu deras masuk Indonesia.Konsekuensi yang paling rasional guna beroprasinya investasi asing terutama pada cabang produksi perkebunan, manufaktur dan pertambangan adalah tersedianya tanah. Di banyak tempat, perusahaan-perusahaan baik modal asing maupun domestik (kroni istana) memiliki kebebasan tanpa batas dalam meng”anakpinak”kan modalnya walau harus melakukan cara-cara keji merampas tanah milik rakyat.  Sialnya, konflik tanah merebak dimana-mana tetapi rejim orde Baru menerapkan kebijakan yang represif bagi siapapun rakyat yang menolak tanahnya diambil.

Selama lebih dari tiga dasawarsa kekuasaan Orde Baru pada rentang waktu 1966-1998,KPA mencatat setidaknya terdapat 1.700 konflik tanah yang termuat media massa. Komnas HAM sendiri mencatat sekitar 5.000 pengaduan rakyat terkait persoalantanah. Tentu saja, di lapangan, konflik tanah yang tak terjangkau oleh media massa dan pengawasan Komnas HAM di era Orde Baru bisa mencapai puluhan ribu kasus konflik tanah baik konflik antara rakyat/petani dengan perusahaan swasta, BUMN maupun dengan kepentingan militer secara langsung. Sudah pasti rakyatlah yang dikalahkan dan tak sedikit korban jiwa dari setiap konflik yang pernah terjadi.

Era Orde baru boleh dibilang masa kegelapan agraria dimana tanah-tanah milik rakyat hasil nasionalisasi dari tangan-tangan asing, dirampas oleh negara untuk kemudian diberikan kepada perusahaan swasta (privatisasi) sebagai mana yang terjadi pada tanah ex Tegalwaroe Landen dengan modus sewa oleh 10 Jendral Tentara yang menamakan dirinya badan hukum Dasa Bagja . Pada kasus lain perampasan tanah rakyat terjadi di banyak desa oleh PERHUTANI dengan bantuan aparat desa dan tentara.
Singkat kata, Orde Baru telah melemparkan kaum tani/rakyat ke tepian jurang konflik yang kekal dan paling nista. Tidak sedikit konflik yang berlangsung hari ini yang merupakan buntut panjang perampasan tanah oleh Orde Baru. Tak terkecuali dengan apa yang terjadi dengan tanah ex Tegalwaroe Landen di kecamatan TelukJambe Barat

Konflik dan Persekongkolan Korporasi-Negara
Persoalan yang dihadapi secara khusus oleh petani dalam konflik tanah nya dengan PT. SAMP (anak perusahaan APL) adalah ketiadaan keseimbangan dalam hal ihwal kekuatan. Namun ihwal ini tentunya menjadi latar depan atas keberlangsungan konflik. Sementara latar belakang konflik yang turut mendorong mengecilnya kekuatan petani sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Pertama, faktor dalam yang bersifat khusus, didapati masih rendahnya kesadaran massa/petaniakan hakikat tanah yang menentukan strata martabatnya (baca : tenaga produktif) sebagaimana tercermin dalam standar daya juangnya sehingga tidak berhasil meletakkan perlawanan terhadap perampasan tanah pada posisi tegak lurus terhadap penjajahan yang telah berganti baju.

Kedua, secara sistemik menyejarahnya sistem kapitalisme telah menunjukkan kokohnya sistem yang menindas ini. Peran negara dalam satu kesatuan sistem ini bukanlah seperti harapan pengagum keynesian yang mengharuskan campur tangannya dalam kegiatan bisnis/ekonomi agar terbuka kesempatan bagi rakyat dalam menerima manfaat kegiatan bisnis (business asusual). Akan tetapi negara melalui aparatus hukumnya mengakomodir penuh segala rencana kegiatan bisnis terutama swasta karena imbalan yang menggiurkan. Karenanya segala unsur yang akanmenjadi penghambat kedua kepentingan yakni, proses berkembang biaknya investasi (super profit) bagi kepentingan penguasaha/kapitalis serta kepentingan imbalan dari pengusaha itu sendiri atas kesetiaan bagi aparatus negara. Persekongkolan semacam inilah yang menciptakan keangkaramurkaan di muka bumi pertiwi.

Ketiga, redupnya solidaritas antar kalangan bawah. Hebatnya lagi, terbentang penafsiran publik secara serampangan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan konflik tanah Tegalwaroe Landen. Penafsiran tersebut berkelindan dengan para pihak yang bertikai memperebutkan tanah tersebut yaitu PT. SAMP (sejatinya Agung Podomoro Land) di satu pihak dan PT. Canggih (keluarga Artha Graha), Amin Supriadi dan Petani di pihak yang bersebrangan. Interpretasi publik terhadap para pihak tersebut telah secara gegabah meniadakan keberdaan petani dan lalu memposisikan pertikaian konflik tersebut adalah antara pengusaha dengan pengusaha. Sementara petani dan aktifis-aktifis pembelanya hanyalah masa bayaran dari pengusaha Amin Supriadi (Amen). Penafsiran ini tentunya berlandaskan pada propaganda hitam yang dilakukan PT. SAMP/APL berikut apa yang dibilang kelompok-kelompok kooperatifnya atau pendukung-pendukung setianya padasatu sisi dan perspektif dalam bingkai ilmu pengetahuan pada sisi yang berlainan.
Satu hal yang patut dicermati dalam keunikan konflik tanah ex Tegalwaroe Landen adalah perebutan alat produksi (tanah) yang tidak dilatar belakangi oleh relasi produksi diantara kelas-kelas yang bertikai berikut persekutuan yang terjalin di dalamnya.
Ada baiknya kita mengambil pernyataan Mao mengenai Konflik sebagaimana diilustrasikan secara struktural dalam jangkauan disiplin ilmu pengetahuan 

"Dalam ilmu pengetahuan semuanya dibagi berdasarkan konflik-konflik tertentu yang melekat kepada obyek-obyek penelitian masing-masing. Konflik jadi merupakan dasar daripada sesuatu bentuk disiplin ilmu pengetahuan. Di sini bisa disajikan beberapa contoh: bilangan negatif danpositif dalam matematika, aksi dan reaksi dalam ilmu mekanika, aliran listrik positif dan negatif dalam ilmu fisika, daya tarik dan daya tolak dalam ilmu kimia, konflik kelas dalam ilmu sosial, penyerangan dan pertahanan dalam ilmu perang, idealisme dan materialisme serta perspektif metafisika dan dialektik dalam ilmu filsafat dan seterusnya. Ini semua obyek penelitian disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang berbeda-beda karena setiap disiplin memiliki konfliknya yang spesifik dan esensi atau intisarinya masing-masing.

Pertikaian atau konflik apabila terjadi yang melibatkan dua kelas fundamental yang tercipta oleh hubungan produksi seperti buruh dengan majikan atau petani dengan tuan tanah, maka dia memiliki sifat absolut (permanen). Dari awal tulisan ini, penulis menyajikan sedikit pendekatan sejarah yang jika kita tarik benang merahnya maka kita akan dapati satu kesimpulan bahwa konflik diantara kapitalis akan mengantarkan ingatan kita pada masa persaingan bebas berupa kontradiksi internal kapitalisme itu sendiri yang menyebabkan keruntuhan kapitalis kecil, merger atau akuisisi kapitalis kecil oleh kapitalis besar sebagaimana perkembangan kapitalisme era 1870 an.  Lain hal dengan apa yang mencolok mata kita di Teluk Jambe, konflik perebutan alat produksi pada derajat tertentu bisa saja terdamaikan oleh konsesi dalam bentuk kapital uang kecil (langsung dan tidak langsung) atau konsesi hubungan produksi yang hendak tercipta dalam hubungan kerja kapitalisme.

Untuk lebih jauh memahami keberlangsungan konflik ini tentunya hanya akan bisa didapat melalui keterlibatan secara langsung serta utuh untuk berperan dan bemain. Kembali saya kutip pendapat Mao, “Jika engkau mencari pengetahuan maka engkau harus terlibat dengan keadaan situasi yang berubah. Jika kau ingin mengetahui bagaimana sebuah jambu rasanya, maka jambu itu harus diubah dengan cara memakannya. Jika engkau ingin mengetahui sebuah struktur atom, maka engkau harus melakukan eksperimen-eksperimen fisika dan kimia untuk mengubah status atom ini. Jika engkau ingin mengetahui teori dan metode revolusi, maka engkau harus mengikutinya. Semua pengetahuan sejati muncul dari pengalaman langsung".

Karena jika hanya memandang konflik ini sebagai tontonan yang memuakkan maka kita tidak akan pernah beranjak dari keyakinan hukum formil (inkraht odious) yang pada level tertentu menyerupai dogma-transenden.

Ditulis oleh : Engkos Koswara (Sekjen Serikat Petani Karawang)
×