Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

GOYANG KARAWANG antara Terminologi, Perempuan dan Ideologi

Sabtu, 27 November 2010 | November 27, 2010 WIB Last Updated 2019-12-23T00:32:11Z


Bukan bermaksud menghidangkan polemik tentang persepsi goyang karawang. Penulis hanya ingin mengajak kepada semua, terutama sodara-sodara saya orang karawang untuk bersama menganalis istilah itu secara ilmiah kalau memang dirasa penting.
Sebenarnya saya sudah pernah menulis sebuah artikel yang bertemakan goyang karawang, waktu itu sempat di muat di sebuah media cetak lokal (kalau tidak salah sekitar tahun 2005). Adapun keinginan saya menulis artikel tentang goyang karawang kali ini karena dilatari tiga factor (i) tentang penafsiran umum public (ii) hal-hal yang saya jumpai di karawang terutama saat saya melakukan perbincangan biasa (bukan dalam rangka riset/kerja penelitian dan semacamnya) dengan seorang kakek tua dari pedes (saya sudah tak ingat lagi namanya) dan (iii) pemahaman saya sendiri tentang sejarah (yang banyak keterbatasan sumber).
Ditengah banyaknya persepsi/penafsiran tentang sejarah munculnya istilah goyang karawang, hampir dapat dipastikan semuanya membetot kesimpukan tunggal bahwa seluk beluk goyang karawang itu erat kaitannya dengan sensualitas “goyangan pinggul” sang penari jaipong/sinden yang erotik, hingar bingar kesenangan dan keintiman juga dirasakan penuh ekspresi, hasrat dan fantasi (sebagaimana Lilis Karlina mempertunjukannya). Bahkan belakangan ini hadir perusahaan perfilman nasional yang mengetengahkan tema goyang karawang cukup kontroversial yang dalam hal ini telah menuai kritikan luas serta membuat berang berbagai pihak (terutama) orang Karawang yang tertumpah baik di media cetak maupun di jejaring social seperti Facebook. Bahkan Gubernur Jawa Barat sendiri (walau motifnya masih ortodok) sangat tidak mengharapkan film itu beredar di masyarakat. Begitu pula dengan Deni Andriana (pengelola website Karawang Info) salah satu penulis aritkel terkait dengan goyang Karawang pun tak luput berkontribusi dalam mengecam pemroduksian film "Arwah Goyang Karawang" yang dibintangi oleh Julia Perez (Juve) dan Dewi Persik karena dinilainya telah mencederai tradisi masyarakat Karawang.

Sementara, tradisionalisme tersebut berlangsung menggejala, belum seorang pun yang dapat memastikan atau paling tidak memperkirakan kapan pertama kali muncul dan siapa yang mempopulerkan istilah goyang karawang. Banyak orang mengidentikan goyang karawang dengan goyangan pinggul semata. Akan tetapi tak dapat kita pungkiri keyakinan tradisional masyarakat ini karena memang sudah benar-benar mendarah daging, mentradisi dan menyejarah. Pandangan konservatif itu diperkuat oleh keberadaan paguyuban/lingkung seni jaipongan yang begitu marak di kabupaten ini sehingga turut membuat semakin membulatnya persepsi tersebut.

Pada kenyataannya pun dapat kita saksikan aksi-aksi erotis sinden panggung dalam setiap pagelarannya yang tak lain bertujuan membuat para bajidor menjadi mabuk kepayang. Sementara aspek seni tari jaipongan itu sendiri semakin hari semakin memudar atau dengan kata lain telah terjadi pergeseran nilai budaya menjadi ajang kebrutalan kaum laki-laki hidung belang. Pentas/pagelaran jaipongan tersebut banyak kita jumpai pada acara-acara hajatan (perayaan/resepsi) baik itu acara pernikahan maupun sunatan. Belum lagi seni gelar jomret yang subur-suburnya di daerah pesisir pantai utara Karawang cukup menggila pada 2 dasawarsa kebelakang sehingga begitu meyakinkan pandangan masyarakat atas istilah goyang karawang yang mereka rasa dan alami memanglah demikian. Keindahan goyangan pinggul perempuan lah yang bersemayam di kepala mereka.

Akan tetapi apabila kita periksalebih jauh lagi, 2 bentuk pagelaran seni yang menyajikan goyangan-goyangan para penari adalah bentuk hiburan yang menjual keindahan tubuh perempuan melalui persembahan (gemulai meliuk-liuk) kepada para bajidor agar tertarik dan bersemangat memberikan sawerannya. Lalu tak pernah ada pertayaan yang mengemuka tentang siapa para penari tersebut dan siapakah para bajidor itu. Pentingkah kita jawab pertanyaan tadi? Saya rasa tak penting karena pertanyaannya pun tidak terhadapkan. Tapi yang penting bagi kita adalah mengetahui secara pasti pelaku-pelaku seni tersebut dalam kedudukan sosialnnya pada setiap era. Bukan sekedar nama ipah gebot, atau mang naminnya. Atau bahkan Tubagus Halimi dan ujang be’i sang bajidor kawak yang namanya sudah tak asing lagi di belantika seni jaipong. Para pelantun kawih dan tukang ibing jaipong yang kebanyakan dari mereka adalah perempuan-perempuan bergelar janda yang membutuhkan nafkah bagi kelangsungan hidupnya dan anak-anaknya. Sementara para bajidor ialah kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang kaya di desa pemburu kepuasan akan perempuan. Jadi dalam hal ini terdapat pertemuan dua kepentingan dari dua unsur pelaku yang dalam hidupnya begitu mencitai seni dan budaya jaipong (mencari sesuap nasi pada satu pihak dan kepuasan hasrat sang laki-laki di pihak yang berlainan).

Kesejarahan
Menurut si kakek yang pernah berbincang dengan penulis, mengaku sedari kecil/anak-anak, dia (si kakek) sudah mengenal istilah goyang karawang. Dengan demikian ini melekatkan arti bahwa istilah goyang karawang sudah cukup lama berkembang terutama di masyarakat karawang sendiri. Menurut si kakek, asal muasal istilah goyang karawang terlahir dari satu tradisi masyarakat (khusus kaum perempuan) yang sering kali melakukan kegiatan “nginter” /"nampi beras" yang mana kegiatan itu berupa bagian dari proses produksi pertanian. Itu saja yang si kakek ketahui tanpa ada penjabaran/penguraian lebih detail.

Dari pengalaman berbincang dengan si kakek itulah kemudian saya menyambungkan dengan kesejarahan kabupaten karawang yang hendak saya papar dibawah ini.
Bermula pada sekitar abad 17, saat sultan Mataram mengirim balatentara dibawah pimpinan Bupati Surabaya ke tanah pasundan/Jawa Barat dengan maksud untuk menundukan kerajaan Banten, Sayangnya dalam perjalanan mereka dihadang oleh pasukan VOC, kemudian pasukan Bupati Surabaya berhasil dipukul mundur. Lalu Sultan agung Mataram mengirim ekspedisi ke dua di bawah pimpinan Dipati Ukur tapi lagi-lagi nasibnya serupa dengan pasukan yang pertama.

Guna membendung arus ekspansi wilayah kekuasaan VOC, Sultan Mataram mengutus Penembahan Galuh (Ciamis) bernama R.A.A. Wirasuta yang bergelar Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III untuk menduduki Rangkas Sumedang (Sebelah Timur Citarum). Selain itu juga mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan Kuta Tandingan. Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian kembali ke Galuh dan wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi Karawang karena kondisi daerahnya berawa-rawa (Sunda :"Karawaan").

Dari masa inilah kemudian tentara mataram mulai memaksa masyarakat untuk bercocok tanam/bertani dan upeti yang besar bagi petani yang sudah lebih dulu menanam bahkan tak jarang perampasan hasil panen milik petani guna menyandang logistic/pangan bagi kebutuhan perang melawan kerajaan  Banten dan menghalau tentara kompeni.

Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putera Adipati Kertabumi III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada Tahun 1656. Adipati Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug.
Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta putera Panembahan Singaperbangsa yang bergelar R.A.A. Panatayuda I antara Tahun 1679 dan 1721 ibu kota Karawang dari Udug-udug pindah ke Karawang, dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah antara Cihoe (Cibarusah) dan Cipunagara. Pemerintahan Kabupaten Karawang berakhir sekitar tahun 1811-1816 sebagai akibat dari peralihan penguasaan Hindia-Belanda dari Pemerintahan Belanda kepada Pemerintahan Inggris.

Antara tahun 1819-1826 Pemerintahan Belanda melepaskan diri dari Pemerintahan Inggris yang ditandai dengan upaya pengembalian kewenangan dari para Bupati kepada Gubernur Jendral Van Der Capellen. Dengan demikian Kabupaten Karawang dihidupkan kembali sekitar tahun 1820, meliputi wilayah tanah yang terletak di sebelah Timur sungai Citarum/Cibeet dan sebelah Barat sungai Cipunagara.Dalam hal ini kecuali Onder Distrik Gandasoli, sekarang Kecamatan Plered pada waktu itu termasuk Kabupaten Bandung. Sebagai Bupati I Kabupaten Karawang yang dihidupkan kembali diangkat R.A.A. Surianata dari Bogor dengan gelar Dalem Santri yang kemudian memilih ibukota kabupaten di Wanayasa.

Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat, pada tahun 1830 ibu kota dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih yang diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2.
Pembangunan dimulai antara lain dengan pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud, Pembuatan Gedung Karesidenan, Pendopo, Mesjid Agung, Tangsi Tentara di Ceplak, termasuk membuat Solokan Gede, Sawah Lega dan Situ Kamojing.
Pembangunan terus berlanjut sampai pemerintahan bupati berikutnya.

Kabupaten Karawang dengan ibukota Purwakarta berjalan sampai dengan tahun 1949. Pada tanggal 29 Januari 1949 dengan Surat Keputusan Wali Negeri Pasundan Nomor 12, Kabupaten Karawang dipecah dua yakni Karawang Bagian Timur menjadi Kabupaten Purwakarta dengan ibu kota di Subang dan Karawang Bagian Barat menjadi Kabupaten Karawang. Berdasarkan Undang-undang nomor 14 tahun 1950, tentang pembentukan daerah kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat, selanjutnya diatur penetapan Kabupaten Purwakarta, dengan ibu kota Purwakarta, yang meliputi Kewedanaan Subang, Sagalaherang, Pamanukan, Ciasem dan Purwakarta. (wiki pedia)

Dari sepintas sejarah ini kita akan sedikit dapat menarik benang merahnya. Saya akan mengurai hal-hal yang menurut saya dari sejarah tersebut goyang karawang muncul seiring dengan kabupaten karawang yang dijadikan penyangga logistic oleh tentara mataram. Pertanian kabupaten karawang pun boleh dikatakan berkembang pada saat itu, sebagaimana kita ketahui bahwa seni budaya itu dilahirkan dari rahim relasi-relasi social dan corak produksi masyarakatnya.

System produksi pertanian dan asal mula istilah goyang karawang
Tentu saja Pertanian Karawang pada masa-masa itu masih sangat tradisional. Tradisional di sini boleh dibilang karena dari cara dan alat-alat produksinya yang masih sangat sederhana tanpa kehadiran mesin produksi seperti traktor dan mesin penggilingan padi yang saat ini sudah banyak dipergunakan.

Agar lebih mendekatkan pencarian istilah goyang karawang, terlebih dulu saya akan paparkan proses produksi bertani pada waktu itu. Proses produksi yang dilakukan pertama kali adalah merendam benih (varietas) pilihan yang akan ditanam (selama kurang lebih satu minggu). Tahap kegiatan ini sejalan dengan pengolahan tanah dan pembuatan persemaian, setelah itu melakukan penyemaian selama 21 hari, lalu proses berikutnya adalah menanam (tandur) setelah selesai tandur baru memasuki fase perawatan (ngoyos/ngarambet dan pemberian pupuk alami) dan setelahnya tinggal menunggu masa panen. Saat panen, setelah padi di petik kemudian digebot dan lalu dijemur proses  selanjutnya yaitu menumbuk padi yang sudah kering hingga menjadi beras. Pada proses akhir inilah yang menurut saya penting untuk kembali saya urai detail.

Dalam menumbuk padi agar sampai menjadi beras, waktu itu masyarakat menggunakan alat alu dan lesung. Biasanya kaum perempuan yang mengerjakan proses ini secara bersama-sama/kolektif. Dalam proses pemisahan antara beras dengan gabah setelah ditumbuk, di sebut nginter (b.sunda). Yaitu sebuah gerakan tubuh perempuan pada posisi berdiri sambil menggerak-gerakan nyiru (alat untuk menampi yang terbuat dari anyaman bambu), berisi kira-kira 90% beras dan 10% gabah (pada fase ini gabah tersebut diistilahkan khusus menjadi serah) dengan maksud biji yang masih berbentuk gabah/serah terpusat di tengah nyiru lalu biji gabah/serah yang sudah terpusat di tengah nyiru tersebut di (rawu/diambil dengan kedua telapak tangan) dan dipisahkannya dari biji beras untuk kemudian ditumbuk kembali.  Nah, dalam proses nginter ini lah (terdapat gaya sentrifugal/berlawanan arah keluar) ketika kedua tangan menggerakan nyiru berputar kearak kiri maka secara otomatis tubuh berputar tetap ke arah kanan, dengan tubuh sedikit condong kedepan maka tampak sekali pinggul bergoyang secara kontinyu.
Kebiasaan lainnya pada saat perempuan-perempuan desa menyelesaikan pekerjaan penumbukan, mereka melakukan pemukulan lesung dengan alu masing-masing secara teratur dan berirama sehingga mengeluarkan suara yang enak di dengar sambil sebagian dari mereka melagukan kawih-kawih sunda dan sebagian menari (mungkin ini salah satu seni musik dan kawih/lagu yang dilahirkan oleh kegiatan produksi).

Karena yang demikian itu merupakan pekerjaan produksi yang menjadi bagian dari proses kehidupan manusia, maka gerakan goyang yang misterius kesejarahannya tersebut berlangsung setiap saat dimanapun kaum perempuan tani berada.
Kegiatan tersebut tak hanya dilakukan oleh perempuan tua, melainkan dilakukan pula oleh gadis-gadis desa dimasa itu di Karawang (sekarang kabupaten karawang) dan dulu karawang yang sekarang sudah menjadi kabupaten Purwakarta dan kabupaten Subang
Barulah kemudian di era yang tengah terjajah tersebut, laki-laki biadab (tuan tanah/hulubalang kerajaan/serdadu penjajah) meyakini atau lebih tepatnya mengasumsikan bahwa perempuan-perempuan Karawang memiliki kelebihan tersendiri yaitu goyangan pinggulnya, tentu saja yang mengisi kepala mereka adalah nafsu sahwat yang tak terkendali. Dengan segenap kekuatan/kekuasaan/bahkan senjata mereka dengan sangat mudah mengambil gadis-gadis desa tersebut sebagai pengganti tebusan utang (rente) yang tak terbayar oleh bapak-bapak mereka, lalu dijadikannya pelayan nafsu durjana mereka, bahkan tak jarang pemerkosaan dilakukannya. Walalupun sebenarnya sistem matriarchal sudah berubah menjadi patriarchal di era ini, yang menghendaki kaum laki-laki memikiki dominasi atas kaum perempuan.

Seiring perjalanan waktu, terdapat penyatuan dan serapan budaya seni jaipong (yang konon berasal dari bandung) dalam kehidupan masyarakat karawang dimana masyarakat karawang pun sudah mengenal seni tarik suara, musik dan tarian di tengah kegiatan produksi pertanian masih menghisap penuh dengan kegetiran sertamenghambakan banyak kaum buruh tani.
Dengan demikian, menurut saya untuk mengetahui seluk beluk goyang karawang pada esensinya bukan terletak pada ruang dan titimangsa, pelaku sejarah, kapan dan dimana mulai muncul nama goyang karawang. Akan tetapi terdapatnya kandungan pesan tentang sejarah goyang karawang ditengah kegigihan nenek kakek kita dalam mempertahankan hidup serta merebut kembali hak-haknya yang direnggut penguasa feudal (tuan tanah dan sebarisan pemerintahan zhalim), hingga kepedihan itu berlanjut ke masa penjajahan berikut perlawanan rakyatnya (baca : Prasasti Rawagede) juga kemiskinan para petani dan kaum perempuan dibawah patriarchal. Jadi kesimpulannya adalah goyang karawang bukan seni budaya hedonis yang mendegradasi derajat kaum perempuan, melainkan seni budaya kolektif/gotong royong yang tumbuh pada perjuangan kemerdekaan diri.

Penyebaran istilah Goyang Karawang
istilah goyang karawang tersiar lebih luas jangkauannya dan lebih cepat daya rambatnya ketika media massa elektronik berkesanggupan menjalarkannya hampir keseluruh pelosok negeri. ini pun sangat dimungkinkan oleh peran Lilis Karlina sebagai pedangdut yang cukup memiliki kemampuan tarik suara di jagad musik Indonesia, dimana pada masa itu musik dangdut boleh dikatakan masih menempati ruang terlebar di masyarakat, tanpa ada pengecualian pada kalangan/segmen anak muda dan daerah perkotaan yang saat ini sudah menjadi pasar bagi perusahaan-perusahaan/industri rekaman/bisnis entertain, khususnya musik seperti pop, rock dan sebagainya. 
Yang menjadi menarik buat kita adalah tak sekedar penyiaran media tentang lagu Goyang Karawang oleh keselarasan suara Lilis Karlina sendiri yang mendongkrak penjualan kaset/CD. Akan tetapi ada satu hal lain tentang banyaknya kalangan pengamat musik dangdut yang menilai dan membandingkan dengan Itje Tresnawati dalam lagu "Duh Engkang", jauh lebih hebat dibanding Goyang Karawang Lilis Karlina dalam kapasitas vokal dan bangunan liriknya. Kalau pun secara pasar Lilis Karlina mampu mengungguli popularitas Itje Tresnawati, ini lebih dikarenakan oleh nuansa sensual yang dipintonkan oleh sang penyanyi dalam keselarasan judul lagu Goyang Karawang. Sementara dalam lagu tersebut memang tak terdapat makna berarti bagi masyarakat. Adapun faktor pendukung penyebarannya adalah alat-alat eloktronik untuk memutar lagu/video tersebut seperti tape recorder, walkman, televisi, VCD player dsb, yang semua itu harus masyarakat miliki. 

Berhubungan dengan pembuatan film arwah goyang karawang yang dibintangi oleh Julia Perez yang banyak dinilai orang sama sekali tidak ada relevansinya dengan sejarah goyang karawang, dan lebih cenderung “bomseks” itu bukan hal aneh lagi, karena yang menggarap film tersebut adalah perusahaan/industri film yang berorientasi profit (Kapitalistik) yang memiliki watak membodohi dan cabul.

Demikianlah kesimpulan yang dapat penulis ambil. Semoga tulisan ini sedikit memberikan gambaran bagi kontroversi istilah goyang karawang.

Pada 09 November 2010
×