Oleh : Engkos
Sekretaris Umum Serikat Petani Karawang (SEPETAK)
Cukup lama karawang menyandang gelar kota padi. Entah siapa yang pertama kali memberikan julukan itu dan kapan mulai disematkannya. Lupakan saja adanya.
Disiang hari yang sangat panas ini, saya tak hendak mereduksi gelar di atas walau kenyataan yang mengemuka saat ini, menurut saya karawang layak dijuluki kabupaten 1001 masalah. Salah satu masalah pokok di kabupaten ini, berkait kelindan dengan julukan kota padi tadi. Hal ini tercermin dari hamparan sawah yang begitu luas, berhasil menyumbangkan statistik mengagumkan dimana kapasitas produksi padi (baca : pangan) berbanding lurus dengan angka populasi. Wajar saja jika banyak kalangan, terutama pemangku kebijakan masih dengan percaya diri mengemukakan pendapatnya bahwa Karawang masih berswasembada pangan. Belum lagi investasi di sektor industri manufaktur ditempatkan pada posisi yang luhur menyertai ketahanan pangan kabupaten Karawang. Itulah versi pemangku kebijakan.
Namun, tentunya kenyataan statistik berbanding terbalik dengan realitas sosial dalam potret buram kemiskinan desa. Statistik yang berbeda menunjukan tingginya derajat pengangguran, rendahnya index daya beli, rendahnya level pendidikan dan kesehatan masyarakat, feminisasi migrasi, bahkan konflik tanah belakangan menjadi masalah yang tak lagi laten, dan justru muncul seiring dengan proses menuanya investasi private.
Hingga kemudian panas matahari yang kian menyengat, menghadirkan pertanyaan, mengapa gejala sosial tersebut diatas mewabah seiring catatan indah mengenai pangan?
Bisa jadi, hal ini yang menyebabkan banyak kalangan mendorong sebuah diskursus mengenai regulasi perlindungan atas lahan teknis.
Namun, menurut saya problem utamanya bukan itu. Tetapi lebih pada wacana radikal Pembaruan Agraria yang didalamnya terkandung pesan tentang kedaulatan kaum tani atas tanah yang memberikan ruang selebar-lebarnya untuk menguasai, mengelola serta mengusahakan sumber-sumber agraria itu sendiri secara bijak dan demokratis.
Karena itu, penguasa pilitik kabupaten ini harus terlibat langsung dalam menyelesaikan semua konflik tanah yang tengah berlangsung di Karawang, sebagaimana terjadi di desa Wanasari, Wanakerta dan Margamulya yang telah menyebabkan para petani terkatung-katung nasibnya didzolimi raksasa properti Agung Podomoro Land.
Pada konteks kasus konflik tanah, sadar ataupun tidak, ini akan menjadi problem ketimpangan penguasaan tanah terutama di basis-basis pedesaan. Apalagi konflik ini antara petani dengan perusahaan swasta. Padahal penguasaan terselubung oleh guntai/absente dan penguasaan oleh tuan tanah semakin membabibuta. Sementara diyakini bahwa penguasaan tanah semodel demikian merupakan salah satu penyebab kemiskinan desa.
Selebihnya, pemangku kebijakan senantiasa mengintrodusir program-program berikutnya yakni membangun infrastruktur yang memadai guna menunjang proses produksi, mempermudah akses perbankan dalam rangka modal usaha, memasok teknologi modern pertanian secara massal serta membangun sistem pasar yang adil.
Tidak akan ada kedaulatan pangan di atas tanah sebuah bangsa, tanpa Pembaruan Agraria.
Selamat Hari Pangan Sedunia 16 Oktober
Salam Tani Motekar
Serikat Petani Karawang (SEPETAK)