Bukan hanya kepemimpinan di eksekutif yang menjadi masalah sepanjang 2011. Pusaran masalah juga terjadi di lembaga legislatif.
Kasus korupsi anggota DPR justru makin marak di tahun ini. Pertama, hal itu mencuat dari kasus mantan anggota Komisi III DPR dan juga mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin dalam kasus dugaan suap proyek Wisma Atlet SEA Games.
Kasus ini menjadi meledak ke publik karena menyeret sejumlah nama kader partai berkuasa, anggota partai lainnya hingga Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Kendati nama-nama itu ada yang sudah diperiksa KPK, namun belum ada yang ditetapkan tersangka kecuali Nazaruddin sendiri. Tapi ketika Nazar menyebutkan nama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, anggota DPR Angelina Sondakh, Mirwan Amir, Mahyudin, dan kader PDIP Wayan Koster sebagai anggota Badan Anggaran dari Komisi X membuat kalang kabut petinggi partai tersebut.
Kasus ini terus bergulir dan KPK jilid III ditantang untuk membuktikan janjinya menuntaskan kasus Nazaruddin yang diduga menggangsir dana APBN hingga triliunan rupiah.
Nyanyian Nazar kepada KPK dan publik ini juga membuktikan ada jaringan mafia antara birokrat, swasta dan anggota DPR untuk memuluskan proyek pemerintah. Pasalnya, kewenangan DPR sekarang dalam budgeting anggaran memang jauh lebih kuat dari era sebelumnya. Anggota dewan kini bisa memplot alokasi anggaran hingga ke satuan III alias per proyek. Di sinilah celah mafia anggaran bermain.
Wa Ode Nurhayati, anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi PAN yang mengungkapkan modus mafia anggaran ini. Ada dugaan alokasi proyek percepatan infrastruktur daerah dimanipulasi oleh pimpinan Banggar. Dampaknya, sejumlah pimpinan Badan Anggaran DPR diperiksa KPK. Hal ini memicu ketegangan antara DPR dan KPK. Pihak DPR sempat memboikot pembahasan RAPBN 2012 karena kasus ini.
Ulah anggota DPR bukan hanya ini. Perilaku absen alias mangkir di Rapat Paripurna maupun rapat-rapat komisi semakin menjadi-jadi. Seorang anggota DPR dari Fraksi PKS Arifinto bahkan tepergok menonton video porno di tablet miliknya saat Rapat Paripurna DPR.
Usulan proyek gedung DPR baru juga membetot perhatian publik. Rancangan dan maket yang dibuat konsultan dan disetujui BURT DPR yang diketuai Marzuki Alie sempat menuai kontroversi. Fasilitas yang akan dibangun antara lain kolam renang dan pusat kebugaran.
Pasalnya, pembangunan gedung baru DPR itu diperkirakan menelan biaya Gedung baru DPR Rp777 miliar, berdasarkan rekomendasi Kementerian PU. Sebelumnya, angaran yang diajukan sebesar Rp1,1 triliun. Gedung itu didesain terdiri dari 26 lantai - dipangkas dari rencana semula 36 lantai akibat desakan masyarakat. Dana Rp118 miliar sudah telanjur menguap untuk desain awal proyek gedung baru DPR itu.
Ketua Formappi Sebastian Salang bahkan menyebut perilaku anggota DPR saat ini sebagai sumber masalah di republik ini.
Padahal, DPR periode 2009-2014 dituntut jauh lebih baik dalam hal legislasi tidak hanya galak dalam mengkritik pemerintah maupun lembaga negara lainnya. Sementara, fasilitas mewah sudah melekat di diri anggota dewan.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri menegaskan, pada Prolegnas 2011 ada 70 RUU usulan baru, ditambah 23 RUU luncuran dari 2010 sehingga total 93 RUU.
Namun, hingga 16 Desember 2011, DPR dan Pemerintah baru menyelesaikan 24 RUU menjadi UU. "Perlu diingat bahwa jumlah 24 UU per 16 Desember 2011, merupakan akumulasi termasuk jenis RUU Akumulatif Terbuka, seperti RUU penetapan APBN dan Perubahan APBN (APBN-P), RUU ratifikasi Perjanjian Internasional, dan lain-lain," kata Ronald.
Selain itu, kata dia, sebagian besar capaian 24 UU merupakan sisa luncuran dari 2010. Dia menilai, kalau dari aspek kuantitas capaian hingga 24 UU sudah lebih baik, setidaknya dibandingkan dengan 2010, yang hanya menghasilkan 16 UU. Tapi secara kualitas dipertanyakan karena beberapa kelompok mulai melakukan gugatan atas sejumlah UU ke Mahkamah Konstitusi.
Kasus korupsi anggota DPR justru makin marak di tahun ini. Pertama, hal itu mencuat dari kasus mantan anggota Komisi III DPR dan juga mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin dalam kasus dugaan suap proyek Wisma Atlet SEA Games.
Kasus ini menjadi meledak ke publik karena menyeret sejumlah nama kader partai berkuasa, anggota partai lainnya hingga Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Kendati nama-nama itu ada yang sudah diperiksa KPK, namun belum ada yang ditetapkan tersangka kecuali Nazaruddin sendiri. Tapi ketika Nazar menyebutkan nama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, anggota DPR Angelina Sondakh, Mirwan Amir, Mahyudin, dan kader PDIP Wayan Koster sebagai anggota Badan Anggaran dari Komisi X membuat kalang kabut petinggi partai tersebut.
Kasus ini terus bergulir dan KPK jilid III ditantang untuk membuktikan janjinya menuntaskan kasus Nazaruddin yang diduga menggangsir dana APBN hingga triliunan rupiah.
Nyanyian Nazar kepada KPK dan publik ini juga membuktikan ada jaringan mafia antara birokrat, swasta dan anggota DPR untuk memuluskan proyek pemerintah. Pasalnya, kewenangan DPR sekarang dalam budgeting anggaran memang jauh lebih kuat dari era sebelumnya. Anggota dewan kini bisa memplot alokasi anggaran hingga ke satuan III alias per proyek. Di sinilah celah mafia anggaran bermain.
Wa Ode Nurhayati, anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi PAN yang mengungkapkan modus mafia anggaran ini. Ada dugaan alokasi proyek percepatan infrastruktur daerah dimanipulasi oleh pimpinan Banggar. Dampaknya, sejumlah pimpinan Badan Anggaran DPR diperiksa KPK. Hal ini memicu ketegangan antara DPR dan KPK. Pihak DPR sempat memboikot pembahasan RAPBN 2012 karena kasus ini.
Ulah anggota DPR bukan hanya ini. Perilaku absen alias mangkir di Rapat Paripurna maupun rapat-rapat komisi semakin menjadi-jadi. Seorang anggota DPR dari Fraksi PKS Arifinto bahkan tepergok menonton video porno di tablet miliknya saat Rapat Paripurna DPR.
Usulan proyek gedung DPR baru juga membetot perhatian publik. Rancangan dan maket yang dibuat konsultan dan disetujui BURT DPR yang diketuai Marzuki Alie sempat menuai kontroversi. Fasilitas yang akan dibangun antara lain kolam renang dan pusat kebugaran.
Pasalnya, pembangunan gedung baru DPR itu diperkirakan menelan biaya Gedung baru DPR Rp777 miliar, berdasarkan rekomendasi Kementerian PU. Sebelumnya, angaran yang diajukan sebesar Rp1,1 triliun. Gedung itu didesain terdiri dari 26 lantai - dipangkas dari rencana semula 36 lantai akibat desakan masyarakat. Dana Rp118 miliar sudah telanjur menguap untuk desain awal proyek gedung baru DPR itu.
Ketua Formappi Sebastian Salang bahkan menyebut perilaku anggota DPR saat ini sebagai sumber masalah di republik ini.
Padahal, DPR periode 2009-2014 dituntut jauh lebih baik dalam hal legislasi tidak hanya galak dalam mengkritik pemerintah maupun lembaga negara lainnya. Sementara, fasilitas mewah sudah melekat di diri anggota dewan.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri menegaskan, pada Prolegnas 2011 ada 70 RUU usulan baru, ditambah 23 RUU luncuran dari 2010 sehingga total 93 RUU.
Namun, hingga 16 Desember 2011, DPR dan Pemerintah baru menyelesaikan 24 RUU menjadi UU. "Perlu diingat bahwa jumlah 24 UU per 16 Desember 2011, merupakan akumulasi termasuk jenis RUU Akumulatif Terbuka, seperti RUU penetapan APBN dan Perubahan APBN (APBN-P), RUU ratifikasi Perjanjian Internasional, dan lain-lain," kata Ronald.
Selain itu, kata dia, sebagian besar capaian 24 UU merupakan sisa luncuran dari 2010. Dia menilai, kalau dari aspek kuantitas capaian hingga 24 UU sudah lebih baik, setidaknya dibandingkan dengan 2010, yang hanya menghasilkan 16 UU. Tapi secara kualitas dipertanyakan karena beberapa kelompok mulai melakukan gugatan atas sejumlah UU ke Mahkamah Konstitusi.