Bagaimana proses demokratisasi berlangsung?
Pengalaman negara-negara yang menjalani proses transisi menuju demokrasi sejak 1970-an menunjukkan tiga pola utama:
1. Pola transformasi, dimana elit penguasa mengambil prakarsa memimpin upaya demokratisasi (Spanyol dan Brazil);
2. Pola “replacement”, dimana demokratisasi diprakarsai dan dipimpin oleh kelompok oposisi (Argentina, Jerman Timur dan Portugal);
3. Pola “transisi melalui transaksi”, dimana demokratisasi berlangsung sebagai akibat negosiasi dan “bargaining” antara pemerintah dengan kelompok oposisi yang menemukan perimbangan kekuatan.
Yang menarik adalah bahwa sepertiga dari 35 kasus demokratisasi yang terjadi sejak 1970-an berlangsung melalui proses yang berpola “trasisi melalui transaksi”. Bagaimana karakteristik proses ini?
Proses “transisi melalui transaksi” bisa berhasil ketika kelompok-kelompok dominan di dalam pemerintah maupun di kalangan oposisi sama-sama mengakui bahwa mereka tidak mampu secara sepihak menentukan masa depan sistem politik dalam masyarakat mereka. Para pemimpin dalam pemerintahan maupun kelompok oposisi biasanya menyadari ini sesudah masing-masing menguji kekuatannya dan berakhir dalam wujud dialektika. Mula-mula, kedua belah pihak sangat yakin akan kekuatannya. Kaum oposisi yakin bahwa mereka akan bisa menjatuhkan pemerintah yang berkuasa dalam waktu yang tidak terlalu lama, sedangkan pemerintah yakin akan bisa menindas oposisi tanpa banyak kerugian politik. Selama kedua pihak masih teguh memegang keyakinan ini, negosiasi yang serius antara pemerintah dan oposisi tidak bisa terjadi. Namun suatu saat kedua belah terpaksa mengakui bahwa masing-masing tidak cukup kuat untuk mengalahkan yang lain. Kaum oposisi mengakui tidak cukup kuat untuk menjatuhkan pemerintah; sedangkan pemerintah memandang oposisi cukup mampu untuk membuat pemerintah semakin rugi kalau tidak mau membuka negosiasi. Misalnya, pemerintah semakin sering harus menggunakan repressi yang mengakibatkan semakin banyak kelompok menarik dukungannya terhadap pemerintah, memburuknya perpecahan dalam koalisi pemerintah, meningkatnya kemungkinan kudeta dari dalam pemerintah dan kemerosotan legitimasi dalam masyarakat internasional.
Dialektika “transisi melalui transaksi” sering menunjukkan tahap-tahap yang jelas. Pertama, pemerintah menjalankan kebijakan liberalisasi dan mulai kehilangan kekuatan dan wewenang. Kedua, kaum oposisi memanfaatkan kelonggaran dan pelemahan pemerintah untuk meningkatkan dukungan rakyat dan mengintensifkan kegiatannya dengan harapan bisa menjatuhkan pemerintah dalam waktu pendek. Ketiga, pemerintah melakukan reaksi keras untuk menahan dan menindas mobilisasi kekuatan politik oleh oposisi. Keempat, pemerintah dan pemimpin oposisi melihat kemungkinan munculnya kondisi “jalan-buntu” dan menyadari itu kedua pihak berusaha mencari jalan keluar berupa negosiasi untuk melakukan transisi. Tetapi, tahap berikutnya, tahap kelima, tidak begitu saja mulus menurut alur tersebut. Bisa saja, pemerintah berganti pimpinan dan pemimpin baru itu menggunakan kekuatan militernya untuk mengembalikan kekuatan dan wewenang politiknya, paling tidak untuk sementara. Atau, oposisi terus mengembangkan kekuatannya dan semakin banyak menggerogoti kekuatan pemerintah dan akhirnya menjatuhkannya. Transisi itu bisa berujud “transplacement” kalau kekuatan antara pemerintah dan oposisi itu seimbang.
Ringkasnya, demokratisasi yang berhasil, dan tidak merosot kembali ke otoriterisme, adalah yang menerapkan metode demokratis, yaitu melalui:
• negosiasi, kompromi dan persetujuan;
• demonstrasi, kampanye dan pemilihan umum serta upaya penyelesaian perbedaan secara tanpa-kekerasan;
• pemimpin dalam pemerintahan maupun dalam oposisi yang punya keberanian untuk menantang “status quo” dan lebih mementingkan tujuan jangka-panjang demokrasi daripada kepentingan jangka-pendek pengikut-pengikutnya;
• pemimpin dalam pemerintahan maupun dalam oposisi yang kebal terhadap provokasi untuk menggunakan kekerasan oleh kaum radikal dalam oposisi maupun kaum reaksioner dalam pemerintahan;
• pemimpin dalam pemerintahan maupun oposisi yang cukup bijak untuk menyadari bahwa dalam politik tidak ada bisa memonopoli kebenaran; yang yakin bahwa kompromi, pemilihan umum dan gerakan tanpa-kekerasan adalah jalan paling efektif.
Demokratisasi melalui “negotiated transition” seperti inilah yang sejak 1970-an merebak di berbagai negara. Namun, dalam hal oposisi tidak bisa menaruh kepercayaan terhadap kesediaan rezim penguasa untuk mereformasi dirinya sendiri, dan karena itu negosiasi dianggap sia-sia, alternatifnya adalah penggulingan dengan kekerasan. Kesulitannya adalah bahwa upaya kekerasan ini, kalau toh berhasil menegakkan rezim baru yang demokratis, akan lebih sulit menolak kecenderungan kembalinya otoriterisme. Karena proses konsolidasi demokrasi yang baru dilembagakan selalu diiringi dengan berbagai kesulitan akibat ketidakpastian, terutama ekonomi. Ketika semakin banyak orang kecewa dengan lambannya mekanisme demokrasi dalam menjalankan proses kebijakan publik, mobilisasi dukungan oposisi semakin mudah terjadi. Kesulitan menangani oposisi yang semakin lama semakin keras ini, pada gilirannya, akan mendorong pemerintah baru itu untuk menggunakan cara kekerasan. Dan ketika ini berlangsung berulang-ulang, kecenderungan berpolitik secara otoriter akan muncul kembali.
Peran militer.
Persoalan: Apakah tentara yang sudah aktif melibatkan diri dalam perpolitikan nasional, dan memperoleh banyak hak prerogatif disana, berminat untuk mendorong proses demokratisasi melalui “negotiated transaction” itu? Kalau sistem yang berlaku selama ini sudah menjamin kepentingan tentara sebagai institusi maupun sebagai bagian dari politik pemerintahan, untuk apa perwira militer mesti repot-repot dengan negosiasi itu? Atau, kalau kemajuan ekonomi selama ini dianggap merupakan akibat dari ketegasan pemerintah otoriter dalam menjalankan kebijakan pembangunan, untuk apa mengambil resiko berdemokrasi, yang penuh ketidakpastian?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Namun dalam praktek politik, pengalaman seperti itu terjadi di beberapa negara seperti Portugal, Spanyol, Brazil, Korea Selatan, Thailand, dan beberapa lagi. Karena itu yang kita perlu ketahui adalah kondisi apa yang membuat tentara, sebagai institusi maupun sebagai bagian dari rezim penguasa, berkepentingan melakukan reformasi demokratik? Struktur insentif apa yang bisa mendorong para perwira militer mendorong demokratisasi?
Kata kunci dalam hal ini adalah kepentingan. Aktor politik hanya akan melakukan suatu tindakan atau mendukung suatu kebijakan kalau ia melihatnya bersesuaian dengan kepentingan.
Dalam hal aktor politik “militer-sebagai-institusi”, kita bisa berspekulasi sebagai berikut:
• Pada dasarnya, eksistensi militer selama ini bergantung pada keberhasilan pembangunan ekonomi. Tanpa kemampuan ekonomi menghasilkan pertumbuhan yang cukup tinggi, militer sebagai institusi akan menghadapi kelangkaan sumberdaya yang selama ini bisa dimanfaatkan oleh militer, baik dalam bentuk APBN maupun berbagai bentuk pendapatan dan belanja yang tidak dilaporkan dalam APBN. Selanjutnya, kalau otoriterisme pemerintah yang berkuasa dianggap bisa membahayakan proses pembangunan, sehingga mengganggu pencapaian kepentingan kelembagaan militer dalam jangka-panjang, mungkin saja militer-sebagai-institusi akan mendesak pemerintah melakukan reformasi ke arah demokratisasi.
• Pemerintah yang sedang menghadapi ancaman dari luar negeri umumnya memerlukan dukungan politik dari dalam negeri maupun internasional. Dan demokratisasi seringkali merupakan sarana efektif untuk mobilisasi dukungan seperti itu. Apakah potensi ancaman RRC di Laut Cina Selatan bukan sesuatu yang patut dianggap sebagai ancaman bagi keamanan Indonesia dan wibawa para pemimpin militernya?
Dalam hal, seorang perwira menjadi kepala pemerintahan yang berhasil mengembangkan basis kekuasaan pribadi dan pengendalian yang ketat atas militer:
• Kepentingan untuk menghilangkan pesaing dari dalam tubuh militer bisa mendorongnya untuk men-depolitisasi tentara dan mengembangkan koalisi dengan kelompok sipil utama. Ini juga bisa menjadi insentif bagi perwira tersebut untuk melakukan “negosiasi”.
Apa yang mesti diperbuat?
Demi demokratisasi, para aktor politik sipil harus mampu:
• menunjukkan kepada para pemimpin militer tentang perlunya melakukan reorientasi peran ke soal pertahanan eksternal; misalnya, dengan mengajukan persoalan seperti ancaman Cina terhadap wilayah Indonesia di Laut Cina Selatan;
• mengusahakan pengurangan hak prerogatif tentara dalam mengendalikan mekanisme kelembagaan negara yang meliputi berbagai dimensi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dsb.
• mengembangkan mekanisme pengendalian dan pengawasan sipil atas fungsi-fungsi militer.
Untuk yang terakhir ini, para aktor politik sipil perlu mengembangkan kemampuan yang disyaratkan, misalnya:
• Para ilmuwan sipil, terutama para ahli kebijakan, perlu menguasai urusan militer dan intelijen;
• Badan legislatif perlu mengembangkan kapasitas kelembagaan untuk memantau kegiatan militer dan sistem intelijen secara rutin dan efektif;
• Para pemimpin sipil di dalam pemerintahan menerapkan strategi politik yang tepat untuk mempersempit ruang keterlibatan tentara dalam pengaturan dan pengelolaan konflik.
Oleh: Mohtar Mas’oed
Universitas Gadjah Mada
Pengalaman negara-negara yang menjalani proses transisi menuju demokrasi sejak 1970-an menunjukkan tiga pola utama:
1. Pola transformasi, dimana elit penguasa mengambil prakarsa memimpin upaya demokratisasi (Spanyol dan Brazil);
2. Pola “replacement”, dimana demokratisasi diprakarsai dan dipimpin oleh kelompok oposisi (Argentina, Jerman Timur dan Portugal);
3. Pola “transisi melalui transaksi”, dimana demokratisasi berlangsung sebagai akibat negosiasi dan “bargaining” antara pemerintah dengan kelompok oposisi yang menemukan perimbangan kekuatan.
Yang menarik adalah bahwa sepertiga dari 35 kasus demokratisasi yang terjadi sejak 1970-an berlangsung melalui proses yang berpola “trasisi melalui transaksi”. Bagaimana karakteristik proses ini?
Proses “transisi melalui transaksi” bisa berhasil ketika kelompok-kelompok dominan di dalam pemerintah maupun di kalangan oposisi sama-sama mengakui bahwa mereka tidak mampu secara sepihak menentukan masa depan sistem politik dalam masyarakat mereka. Para pemimpin dalam pemerintahan maupun kelompok oposisi biasanya menyadari ini sesudah masing-masing menguji kekuatannya dan berakhir dalam wujud dialektika. Mula-mula, kedua belah pihak sangat yakin akan kekuatannya. Kaum oposisi yakin bahwa mereka akan bisa menjatuhkan pemerintah yang berkuasa dalam waktu yang tidak terlalu lama, sedangkan pemerintah yakin akan bisa menindas oposisi tanpa banyak kerugian politik. Selama kedua pihak masih teguh memegang keyakinan ini, negosiasi yang serius antara pemerintah dan oposisi tidak bisa terjadi. Namun suatu saat kedua belah terpaksa mengakui bahwa masing-masing tidak cukup kuat untuk mengalahkan yang lain. Kaum oposisi mengakui tidak cukup kuat untuk menjatuhkan pemerintah; sedangkan pemerintah memandang oposisi cukup mampu untuk membuat pemerintah semakin rugi kalau tidak mau membuka negosiasi. Misalnya, pemerintah semakin sering harus menggunakan repressi yang mengakibatkan semakin banyak kelompok menarik dukungannya terhadap pemerintah, memburuknya perpecahan dalam koalisi pemerintah, meningkatnya kemungkinan kudeta dari dalam pemerintah dan kemerosotan legitimasi dalam masyarakat internasional.
Dialektika “transisi melalui transaksi” sering menunjukkan tahap-tahap yang jelas. Pertama, pemerintah menjalankan kebijakan liberalisasi dan mulai kehilangan kekuatan dan wewenang. Kedua, kaum oposisi memanfaatkan kelonggaran dan pelemahan pemerintah untuk meningkatkan dukungan rakyat dan mengintensifkan kegiatannya dengan harapan bisa menjatuhkan pemerintah dalam waktu pendek. Ketiga, pemerintah melakukan reaksi keras untuk menahan dan menindas mobilisasi kekuatan politik oleh oposisi. Keempat, pemerintah dan pemimpin oposisi melihat kemungkinan munculnya kondisi “jalan-buntu” dan menyadari itu kedua pihak berusaha mencari jalan keluar berupa negosiasi untuk melakukan transisi. Tetapi, tahap berikutnya, tahap kelima, tidak begitu saja mulus menurut alur tersebut. Bisa saja, pemerintah berganti pimpinan dan pemimpin baru itu menggunakan kekuatan militernya untuk mengembalikan kekuatan dan wewenang politiknya, paling tidak untuk sementara. Atau, oposisi terus mengembangkan kekuatannya dan semakin banyak menggerogoti kekuatan pemerintah dan akhirnya menjatuhkannya. Transisi itu bisa berujud “transplacement” kalau kekuatan antara pemerintah dan oposisi itu seimbang.
Ringkasnya, demokratisasi yang berhasil, dan tidak merosot kembali ke otoriterisme, adalah yang menerapkan metode demokratis, yaitu melalui:
• negosiasi, kompromi dan persetujuan;
• demonstrasi, kampanye dan pemilihan umum serta upaya penyelesaian perbedaan secara tanpa-kekerasan;
• pemimpin dalam pemerintahan maupun dalam oposisi yang punya keberanian untuk menantang “status quo” dan lebih mementingkan tujuan jangka-panjang demokrasi daripada kepentingan jangka-pendek pengikut-pengikutnya;
• pemimpin dalam pemerintahan maupun dalam oposisi yang kebal terhadap provokasi untuk menggunakan kekerasan oleh kaum radikal dalam oposisi maupun kaum reaksioner dalam pemerintahan;
• pemimpin dalam pemerintahan maupun oposisi yang cukup bijak untuk menyadari bahwa dalam politik tidak ada bisa memonopoli kebenaran; yang yakin bahwa kompromi, pemilihan umum dan gerakan tanpa-kekerasan adalah jalan paling efektif.
Demokratisasi melalui “negotiated transition” seperti inilah yang sejak 1970-an merebak di berbagai negara. Namun, dalam hal oposisi tidak bisa menaruh kepercayaan terhadap kesediaan rezim penguasa untuk mereformasi dirinya sendiri, dan karena itu negosiasi dianggap sia-sia, alternatifnya adalah penggulingan dengan kekerasan. Kesulitannya adalah bahwa upaya kekerasan ini, kalau toh berhasil menegakkan rezim baru yang demokratis, akan lebih sulit menolak kecenderungan kembalinya otoriterisme. Karena proses konsolidasi demokrasi yang baru dilembagakan selalu diiringi dengan berbagai kesulitan akibat ketidakpastian, terutama ekonomi. Ketika semakin banyak orang kecewa dengan lambannya mekanisme demokrasi dalam menjalankan proses kebijakan publik, mobilisasi dukungan oposisi semakin mudah terjadi. Kesulitan menangani oposisi yang semakin lama semakin keras ini, pada gilirannya, akan mendorong pemerintah baru itu untuk menggunakan cara kekerasan. Dan ketika ini berlangsung berulang-ulang, kecenderungan berpolitik secara otoriter akan muncul kembali.
Peran militer.
Persoalan: Apakah tentara yang sudah aktif melibatkan diri dalam perpolitikan nasional, dan memperoleh banyak hak prerogatif disana, berminat untuk mendorong proses demokratisasi melalui “negotiated transaction” itu? Kalau sistem yang berlaku selama ini sudah menjamin kepentingan tentara sebagai institusi maupun sebagai bagian dari politik pemerintahan, untuk apa perwira militer mesti repot-repot dengan negosiasi itu? Atau, kalau kemajuan ekonomi selama ini dianggap merupakan akibat dari ketegasan pemerintah otoriter dalam menjalankan kebijakan pembangunan, untuk apa mengambil resiko berdemokrasi, yang penuh ketidakpastian?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Namun dalam praktek politik, pengalaman seperti itu terjadi di beberapa negara seperti Portugal, Spanyol, Brazil, Korea Selatan, Thailand, dan beberapa lagi. Karena itu yang kita perlu ketahui adalah kondisi apa yang membuat tentara, sebagai institusi maupun sebagai bagian dari rezim penguasa, berkepentingan melakukan reformasi demokratik? Struktur insentif apa yang bisa mendorong para perwira militer mendorong demokratisasi?
Kata kunci dalam hal ini adalah kepentingan. Aktor politik hanya akan melakukan suatu tindakan atau mendukung suatu kebijakan kalau ia melihatnya bersesuaian dengan kepentingan.
Dalam hal aktor politik “militer-sebagai-institusi”, kita bisa berspekulasi sebagai berikut:
• Pada dasarnya, eksistensi militer selama ini bergantung pada keberhasilan pembangunan ekonomi. Tanpa kemampuan ekonomi menghasilkan pertumbuhan yang cukup tinggi, militer sebagai institusi akan menghadapi kelangkaan sumberdaya yang selama ini bisa dimanfaatkan oleh militer, baik dalam bentuk APBN maupun berbagai bentuk pendapatan dan belanja yang tidak dilaporkan dalam APBN. Selanjutnya, kalau otoriterisme pemerintah yang berkuasa dianggap bisa membahayakan proses pembangunan, sehingga mengganggu pencapaian kepentingan kelembagaan militer dalam jangka-panjang, mungkin saja militer-sebagai-institusi akan mendesak pemerintah melakukan reformasi ke arah demokratisasi.
• Pemerintah yang sedang menghadapi ancaman dari luar negeri umumnya memerlukan dukungan politik dari dalam negeri maupun internasional. Dan demokratisasi seringkali merupakan sarana efektif untuk mobilisasi dukungan seperti itu. Apakah potensi ancaman RRC di Laut Cina Selatan bukan sesuatu yang patut dianggap sebagai ancaman bagi keamanan Indonesia dan wibawa para pemimpin militernya?
Dalam hal, seorang perwira menjadi kepala pemerintahan yang berhasil mengembangkan basis kekuasaan pribadi dan pengendalian yang ketat atas militer:
• Kepentingan untuk menghilangkan pesaing dari dalam tubuh militer bisa mendorongnya untuk men-depolitisasi tentara dan mengembangkan koalisi dengan kelompok sipil utama. Ini juga bisa menjadi insentif bagi perwira tersebut untuk melakukan “negosiasi”.
Apa yang mesti diperbuat?
Demi demokratisasi, para aktor politik sipil harus mampu:
• menunjukkan kepada para pemimpin militer tentang perlunya melakukan reorientasi peran ke soal pertahanan eksternal; misalnya, dengan mengajukan persoalan seperti ancaman Cina terhadap wilayah Indonesia di Laut Cina Selatan;
• mengusahakan pengurangan hak prerogatif tentara dalam mengendalikan mekanisme kelembagaan negara yang meliputi berbagai dimensi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dsb.
• mengembangkan mekanisme pengendalian dan pengawasan sipil atas fungsi-fungsi militer.
Untuk yang terakhir ini, para aktor politik sipil perlu mengembangkan kemampuan yang disyaratkan, misalnya:
• Para ilmuwan sipil, terutama para ahli kebijakan, perlu menguasai urusan militer dan intelijen;
• Badan legislatif perlu mengembangkan kapasitas kelembagaan untuk memantau kegiatan militer dan sistem intelijen secara rutin dan efektif;
• Para pemimpin sipil di dalam pemerintahan menerapkan strategi politik yang tepat untuk mempersempit ruang keterlibatan tentara dalam pengaturan dan pengelolaan konflik.
Oleh: Mohtar Mas’oed
Universitas Gadjah Mada