Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

Islam dan Theologi Pembebasan

Rabu, 18 Januari 2012 | Januari 18, 2012 WIB Last Updated 2012-01-17T17:54:16Z
“Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota lainnya yang lemah dan tertindas tidak dapat disebut sebagai masyarakat Islam
(Islamic Society)” (Engineer,1999)

Dalam 18 bab pada buku ini, Engineer “bertutur” pada kita sebagai pembaca tentang sebuah konsep Islam sebagai teologi pembebasan dalam berbagai perspektif. Sebagai awalan, ia menerangkan tentang konsep teologi pembebasan. Menurut Engineer, teologi pembebasan hadir untuk mengambil peran dalam membela kelompok yang tertindas. Ia (teologi pembebasan_red) anti kemapanan, baik kemapanan religius maupun
politik. Engineer mengintepretasikan kembali ungkapan Marx yang terkenal “agama adalah candu bagi masyarakat” bukan sekedar agama saja, tetapi agama yang kemudian ikut memantapkan status quo dan tidak mendukung perubahan.

Islam sendiri pada awal perkembangannya banyak dipeluk oleh orang-orang yang bukan merupakan golongan elit di masyarakat. Muhammad sebagai pembawa risalah juga berasal dari keluarga Quraisy yang walaupun cukup terpandang, tidak tergolong sebagai keluarga yang kaya dan memiliki status social yang tinggi. Pada saat itu Islam menjadi tantangan yang membahayakan para saudagar kaya Mekah, sehingga kemudian mereka
menolak ajarannya. Bukan semata-mata karena mereka menolak risalah tauhid, tetapi lebih kepada ketakutan mereka terhadap Islam yang akan membawa perubahan sosial, khususnya pada tingkatan kekuasaan, baik politik maupun ekonomi.

Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menyinggung masalah-masalah sosial, yang bersifat kolektif (umat) dan personal. Salah satu hal yang ditegaskan disana adalah konsep keimanan. Engineer percaya bahwa orang yang beriman pasti dapat dipercaya, berusaha menciptakan kedamaian dan ketertiban, dan memiliki keyakinan terhadap semua nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan.

Engineer melihat bahwa bangsa-bangsa di Asia dan Afrika pada saat ini sedang giat melakukan perubahan sosial. Tetapi kemudian, timbul pertanyaan perubahan seperti apakah yang dibuat dan untuk membela kepentingan siapa, rakyat ataukah penguasa? Ia mengangkat beberapa fenomena seperti Imam Khomeini yang memimpin revolusi Iran akibat tekanan dari Syah, penguasa Iran yang memberlakukan westernisasi. Engineer kembali membandingkan atara marxisme dan tradisi religio-kultural dalam sebuah perubahan sosial. Agama sebagai instrument, dapat digunakan sebagai candu atau malah ideologi yang revolusioner. Seperti Yahudi yang menentang Fir’aun, Islam di Iran menggulingkan Syah dan Kristen di Filipina yang merobohkan Marcos. Revolusi tidak akan muncul bila tidak ada penindasan. Islam mengajarkan untuk menempatkan manusia sederajat (egaliter) dan menolak segala bentuk penindasan; menumpuk harta, riba, kemiskinan dan kebodohan. Menurut Al Qur’an, hak atas kekayaan itu tidak bersifat absolut. Semua yang ada di bumi dan di
langit adalah kepunyaan Allah, dan kita dilarang untuk membuat kerusakan disana.

Konsep keadilan ekonomi, politik dan sosial Ibn Taymiyyah, seorang ahli hukum abad pertengahan, berkali-kali dikutip oleh Engineer sebagai acuan. Ibn Taymiyyah mengatkan bahwa “ Kehidupan manusia di muka bumi ini akan lebih tertata dengan sistem yang berkeadilan walau disertai suatu perbutan dosa, daripada dengan tirani yang alim”.

Ekstrimnya dikatakan bahwa Alah membenarkan negara yang berkeadilan walaupun dipimpin oleh orang kafir, dan menyalahkan negara yang tidak menjamin keadilan meskipun dipimpin oleh seorang Muslim. Juga disebutkan bahwa dunia akan bisa bertahan dengan keadilan dan kekafiran, namun tidak dengan ketidakadilan dan Islam.

Iqra’ sebagai ayat pertama yang turun bukanlah tanpa sebab yang jelas. Pada saat itu, Arab tidak mengenal budaya menulis. Tetapi Al Qur’an menekankan pena (menulis) sebagai alat untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini memberi dampak liberatif bagi bangsa Arab, dari bangsa yang membenci ilmu pengetahuan menjadi bangsa yang tekun belajar dan menemukan rahasia alam selama
berabad-abad. Cara pandang bangsa Arab pada Jahiliyah yang bias gender dibongkar habis oleh Islam. Islam mendudukan laki-laki dan perempuan sama derajatnya, hanyalah yang paling bertaqwa yang memiliki derajat lebih dimata Allah. Dalam bidang ekonomi pun Al Qur’an menekankan pada keadilan. Al Qur’an memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk menyumbangkan kelebihan hartanya (Qs.2 :219). Toleransi merupakan hal yang dijunjung tinggi dalam Islam. Al Qur’an menegaskan dengan jelas, tidak ada paksaan dalam agama (QS.2: 256), dan bagimu agamamu, bagiku agamaku (Qs. 190: 6).
Dalam menghadapi tantangan kemiskinan, Engineer mengatakan bahwa jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri dari sekedar menjadi pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus mentransformasikan diri menjdi alat yang canggih untuk melakukan perubahan sosial. Teologi, meskipun berasal dari teks- skriptural yang diwahyukan dari Tuhan, sebagian bersifat situasional-kontekstual
dan normatif-metafisis. Ruhnya yang militan tampak menonjol ketika tetap menidentifikasikan dirinya dengan kaum tertindas. Al Qur’an memberi peringatan “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang yang tertindas, lakilaki, perempuan dan anak-anak yang berkata, ‘ Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu!” (QS.4 :75).

Pada bab delapan, Engineer mencoba menerangkan latar belakang Kebangkitan Islam pada awal tahun 1970-an. Harus disadari bahwa struktur sosio- ekonomi di satu pihak, dan pergantian kekuasaan atau kelas yang berkuasa menentukan tingkat dan arah kehidupan beragama. Hal ini dapat dilihat di beberapa negara Islam seperti Iran, Irak, Syiria, Malaysia, Indonesia dan sebagainya. Pembangunan ekonomi di negara tersebut melahirkan sebuah kelas yang teramat kaya dan bergaya hidup kebarat-baratan dan imoral
menurut norma masyarakat yang konvensional. Penderitaan masyarakat bawah akibat pemusatan harta yang kemudian mengundang inflasi. Rakyat yang emosional siap dengan kebangkitan agama yang konvensional. Kelas yang berkuasa merasa terancam dengan hal ini. Mereka mulai “mensponsori” kegiatan dakwah yang menekankan pada formalitas ibadah ritual. Sedangkan sistem nilai Islam yang menekankan pada aspek egaliter, keadilan dan persaudaraan menjadi tereduksi dan bahkan menghilang. Hal inilah yang diinginkan
oleh kaum atas tersebut. Kemapanan posisi dan kekuasaan. Penerapan syariah yang formal dan tegas inilah yang kemudian melekatkan label fundamentalis. Umat Islam menolak untuk menerima hal itu, tetapi ternyata klaim itu tidak sepenuhnya salah.

Beberapa ekonom Pakistan mengatakan bahwa apa yang dianggap sebagai ekonomi Islam adalah tidak lebih dari gagasan asing yang tidak jelas. Kita lihat bahwa seluruh penekanan perbankan Islam adalah mobilisasi modal tanpa bunga untuk invesatasi dalam jumlah yang sangat besar dengan bekerjasama dengan perusahaan multinasional barat. Eksploitasi yang memakai simbol Islam yang non-bunga. Sayangnya, perbankan Islam ini tidak digunakan sebagai kebijakan utama yang bersifat instrumental untuk memperkuat posisi ekonomi
nasional yang dikelola pemodal pribumi, tetapi hanya menjadi sub ordinat modal asing.

Dalam konsep ekonomi ini, Engineer kembali mengutip pendapat beberapa tokoh, salah satunya adalah Bani Sadr. Pada saat revolusi Iran, bersama Dr. Ali Syariati, ia berusaha membut konsep revolusi Islam yang konsisten dengan cara menafsirkan ulang ajaran Al Qur’an, sunnah Nabi, dan pendapat Imam Ali. Bani Sadr merasa bahwa di dalam Islam, hak milik tidak bersifat absolut. Ia juga mengelompokkan masyarakat
berdasarkan jenis hubungan kekayaan yang ada didalamnya. Ia berpendapat bahwa nasionalisme tidak hanya diperbolehkan, namun memang sangat diperlukan. Sama halnya dengan sebuah bangsa yang tidak memiliki hak absolut terhadap kekayaan kolektif, sebagaimana yang Allah miliki. Bani Sadr menjelaskan bahwa tujuan nyata dari masyarakat Islam adalah membebaskan manusia. Dan ini hanya dapat dilakukan di dalam suatu
masyarakat dimana kekayaan bukan diperoleh dengan kekuatan, namun dengan kerja.

Disini Engineer kembali membandingkan dengan konsep Marxism yang serupa tapi tidak sama, karena marxis tidak mengenal tauhid.
Dalam tafsir Al Qur’an, Engineer menerangkan bahwa tafsiran dan pendapat orang berbeda-beda, ketika sampai pada kata-kata, ungkapan dan ayat-ayat tertentu didalam Al Qur’an.. Karenanya, tugas penerjemah merupakan tantangan tersendiri. Ia membandingkan antara terjemahan Muhammad Asad dan Ahmed Ali. Kedua terjemahan itu berbeda dengan karya terjemahan abad pertengahan. Pesan moral yang ingin
ditekankan oleh Engineer adalah setiap orang berhak untuk memahami Al Qur’an sesuai dengan pandangan dan pengalamannya masing-masing. Sangat membebaskan.
Kembali menyinggung masalah teologi. Engineer mengupas kreativitas teologis ala Maulana Azad. Teologis bersifat kontekstual dan juga normatif. Ini adalah sebuah kemestian. Jadi, teologi yang kreatif adalah tanggapan manusia atas kehidupannya yang senantiasa berubah yang diciptakan oleh Tuhan. Azad, teolog Islam -- yang dalam proses pencariannya pernah mengatakan dirinya sebagai seorang ateis yang sempurna ini, percaya bahwa Surat Al Fatihah yang merupakan pembuka Al Qur’an ini merupakan surat yang paling pokok. Semua konsep dalam Al Qur’an terefleksikan disini. Sebagai seorang yang visioner, ia percaya bahwa dunia senantiasa berubah yang memerlukan penafsiran ayatayat suci secara kreatif sesuai dengan setiap kondisi yang baru.
Menurut Engineer, komitmen adalah hal yang sangat penting dalam hidup seorang manusia, apalagi yang mengaku beragama. Konsep komitmen dalam Al Qur’an sangat jelas; bukan untuk keberhasilan atau kegagalan, atau untuk orang kaya atau miskin. Keberhasilan tidak diukur dari kemenangan atau keberhasilan mengislamkan seseorang, namun diukur dengan kualitas hati yang terdalam; tidak menjadi masalah jika orang yang kaya tadi tidak memeluk Islam. Sayangnya, komitmen keislaman umat muslim saat ini berbeda sekali. Sebagai contoh Engineer menggambarkan komitmen politis –relijius Saudi Arabia, Syiria, Imam Khomeini dan sebagainya dengan jelas. Intinya adalah komitmen terhadap Islam pada dasarnya lebih merupakan artikulasi kepentingan pribadi daripada komitmen keagamaan. Menurutnya, komitmen kepada tatanan sosial yang adil, egaliter dan nir eksploitasi adalah semangat Islam yang sejati. Seterusnya, Engineer menerangkan konsep teologi Islam yang membebaskan dalam segala segi kehidupan; masalah perempuan dan anak, konsep hukuman dalam Islam dan konsekuensinya, masalah kekerasaan, hingga ke masalah-masalah umat Islam di
beberapa Negara, salah satunya di India.
Menarik sekali mempelajari pemikiran dari intelektual Islam ini. Disana kita dapat mencerap ilmu pengetahuan dan pemaknaan simbolis yang kaya. Buku ini sayang untuk dilewatkan. Gaya bertutur Engineer memudahkan kita untuk “menelan” begitu banyak pemikiran-pemikiran dari berberapa tokoh, baik yang mendukung maupun yang berseberangan dengan pemikirannya. Saat membaca buku ini, kita seperti mendengar
Engineer berbicara, mengajak kita untuk berdialog dan membuka ruang bagi diskursus tentang Islam sebagai teologi pembebasan. Apakah Anda tertarik untuk ikut serta?
×