“apakah krisis ekonomi saat ini adalah krisis finansial semata atau ini adalah krisis kapitalisme?” Atau juga dengan pertanyaan berikut: “apakah krisis ini bersifat siklikal atau ini adalah krisis yang bersifat sistemik?”
Mayoritas berpendapat, krisis ini adalah krisis finansial, sementara suara-suara lain yang sayup-sayup sampai mengatakan, krisis ini adalah krisis kapitalisme. Pendapat pertama, jatuh pada penyederhanaan dan terperangkap pada batas-batas sistem ekonomi kapitalisme. Misalnya, terlalu asyik menganalisis cara kerja sistem finansial yang memang rumit itu. Sementara, pendapat kedua, gagal menyodorkan argumentasi yang meyakinkan kenapa krisis finansial ini hanyalah puncak gunung es dari krisis kapitalisme.
Artikel singkat ini berpendapat, krisis ini adalah krisis kapitalisme yang disebabkan oleh stagnasi sektor riil berkelanjutan yang diidap oleh ekonomi AS. Bagian pertama artikel ini, hendak menggambarkan cara kerja sektor finansial sehingga terjadi krisis. Bagian kedua, melaju pada soal, mengapa sektor finansial menjadi begitu dominan dalam struktur ekonomi AS, apa yang menjadi basis dari pertumbuhan itu? Bagian ketiga, coba menunjukkan solusi-solusi baik yang bersifat jangka pendek maupun yang bersifat strategis.
Dari Finans ke Finansialisasi
Argumen bahwa krisis ini adalah krisis finansial, bukan sesuatu yang keliru. Faktanya, sektor keuangan (finans) memiliki posisi yang begitu dominan dalam struktur ekonomi AS. Sebagai misal, pasar kredit utang AS yakni, seluruh utang baik dalam bentuk utang rumah tangga, bisnis dan utang pemerintah, meningkat sebesar 1,6 kali pendatapan national bruto AS pada 1973, menjadi 3,5 kali pada 2007. Sementara itu, keuntungan yang diraup sektor ini mewakili 14 persen dari total keuntungan korporasi pada 1981. Pada periode 2001-02, keuntungan yang diperoleh mencapai sekitar 50 persen.
Dengan posisinya yang demikian itu, ekonom Gerald Epstein menyebutkan betapa pasar keuangan tumbuh semakin pesat dan sangat menentukan, demikian juga mativasi-motivasi keuangan, lembaga-lembaga keuangan, dan juga peran elite-elite keuangan dalam operasi di sektor ekonomi maupun dalam pembentukan kebijakan-kebijakan kelembagaan ekonomi.
Posisi sektor keuangan yang sangat dominan ini menarik ditelaah, karena mencerminkan pergeseran finans ke apa yang kini disebut sebagai finansialisasi. Dalam pergeseran itu, fungsi sektor keuangan melampaui apa yang selama ini diajarkan dalam buku teks ekonomi konvensional. Kita tahu, dalam buku teks itu ditulis bahwa sektor keuangan berfungsi untuk menyalurkan dana ke sektor-sektor yang dipandang produktif (sektor riil). Proses ini berlangsung hati-hati, terukur, dan secara ekonomi bisa diprediksi keuntungan maupun kerugiaannya.
Itu sebabnya, ketika kita datang ke bank untuk meminta pinjaman kredit usaha, kita ditanya macam-macam, diminta persyaratan studi kelayakan proyek, dan dimintai agunan jika dalam perjalanannya usaha kita ternyata merugi. Tidak cukup sampai di situ, pihak bank juga melakukan peninjauan lapangan, untuk memastikan bahwa proposal bisnis kita tidak hanya akal-akalan di atas kertas.
Dengan kata lain, finans, menurut ekonom Ramaa Vasudevan, seharusnya memfasilitasi pertumbuhan ekonomi “nyata” yang antara lain memproduksi barang-barang yang bisa dimanfaatkan (sepeda, misalnya) atau memproduksi barang-barang jasa (seperti pelayanan kesehatan).
Tetapi, dalam era finansialisasi, fungsi tradisional sektor keuangan ini bergerak dengan sangat radikal ke arah praktek spekulasi. Masih menurut Vasudevan, mekanisme paling mendasar dari finansialisasi adalah transformasi aliran pendapatan di masa depan (dari keuntungan, dividen, atau pembayaran tingkat bunga), ke dalam aset-aset yang bisa diperdagangkan seperti, saham (stock) atau surat obligasi (bond). Sebagai contoh, pendapatan korporasi di masa depan diubah ke dalam saham ekuitas yang kemudian diperjualbelikan di pasar kapital. Hal serupa, juga terjadi pada pinjaman (loan), yang berpengaruh pada pembayaran bunga tetap dalam durasi waktu tertentu, memperoleh hidup barunya ketika dikonversi ke dalam pasar surat berharga. Dan utang yang berlipat itu, secara bersama-sama kemudian disatukan untuk selanjutnya “dipecah-pecah” ke dalam surat berharga baru yang dikenal dengan nama collateral debt obligation (CDO), seperti mortgage, kartu kredit, dan pinjaman mahasiswa.
Bentuk baru surat berharga ini, selanjutnya memperoleh eksistensinya sebagai mesin investasi yang sangat kompleks, sehingga sulit bagi kita untuk melacak hubungannya dengan pinjaman semula. Itu sebabnya, kata Vasudevan, finansialisasi ini tidak menyebabkan finans menjadi lebih efektif dalam memenuhi fungsi dasar dan utamanya, sebagaiman tertulis dalam buku teks ekonomi konvensional. Korporasi, misalnya, ketika masuk ke pasar saham tidak bermaksud menjadikannya sebagai sumber keuangan bagi investasinya. Demikian juga, ketika mereka meminjam di pasar surat berharga, hal itu tidak sendirinya ditujukan untuk investasi di sektor produktif. Apa yang terjadi sejak 1980an, korporasi membelanjakan lebih banyak uang mereka untuk membeli kembali saham mereka sendiri, lantas menjual kembali saham tersebut dalam bentuknya yang baru.
Begitulah proses ini bekerja dalam skala waktu dan ruang yang sangat cepat, tidak terduga, dan mengglobal. Investasi dan keuntungan tidak ditentukan oleh faktor-faktor yang nyata dan rasional tapi, oleh sentimen yang irasional. Tidak seperti saat kita membeli mobil, dimana kita harus tahu persis bahwa mobil tersebut benar-benar aman ketika dikendarai. Dalam keadaan pasang, misalnya, terjadi euforia di kalangan investor dengan janji keuntungan berlipat dalam waktu sesingkat-singkatnya. Terjadi apa yang oleh ekonom Hyman Minsky sebut sebagai “ponzi finance” atau hiperspekulasi. Sebaliknya, pada masa surut, euforia itu berganti dengan rasa panik dengan kerugian yang juga berlipat. CDO yang seharusnya berfungsi “melumasi” ekonomi melaui penyebaran resiko, malah makin mempercepat kebangkrutan dan menghela ekonomi pada gelombang siklus kenaikan dan keruntuhan yang drastis.
Dalam konteks krisis ekonomi AS saat ini, ekonom Marty Wolfson, menjelaskan dengan gamblang cara kerja finansialisasi yang berujung krisis terparah sejak depresi 1930an: peningkatan spekulatif dalam harga aset, harapan optimistik yang sangat berlebihan, dan ekspansi utang berkelanjutan hanya mungkin terjadi jika gelombang spekulatif itu terus berlanjut. Ketika gelombang itu pecah, utang tak bisa lagi dibayar dan sejumlah lembaga keuangan tiba-tiba mendapati neracanya defisit. Ketika resiko bank gagal, pemberi pinjaman pun ketakutan. Mereka menjadi panik, menolak memberi pinjaman kepada siapapun dengan segala resikonya. Dalam situasi seperti itu, yang terutama adalah bagaimana mengamankan uang tunai dan atau aset-aset yang sangat aman.
Menghadapi “katrina financial” seperti ini, pemerintah AS kemudian bertindak sebagai lender of last resort, yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah ekonomi AS, dengan cara memberikan pinjaman kepada bank-bank investasi dan perusahaan-perusahaan asuransi. Lebih dari itu, pemerintah AS juga mengambilalih seluruh jenis aset-aset collateral dalam bentuk pinjaman, di samping menerapkan standar keamanan yang sangat tinggi sebagaimana yang secara tradisional berlaku ketika krisis keuangan menimpa. Pinjaman juga diberikan kepada korporasi-korporasi non-finansial, melalui pembelian surat komersial mereka.
Yang sangat menarik, walaupun pemerintah AS telah mengambil tindakan super dramatis, seperti menalangi (bailout) lembaga-lembaga keuangan macam American International Group (AIG) atau juga Fannie Mae and Freedie Mac, hal itu ternyata tidak memadai untuk meyakinkan kembali para pemberi pinjaman (lenders), mengenai kemampuan lembaga-lembaga keuangan untuk menghormati komitmen pembayarannya.
Mengapa ketidakpercayaan ini bisa mencapai titik nol? Mengapa panik ini begitu sulit dikontral?
Wolfson mengatakan, hal itu harus dicari nalarnya pada permainan pat gulipat yang terjadi di sektor keuangan. Katanya, akar krisis finansial ini akibat meluasnya penggunaan sekuritas yang terlalu kompleks dan beranak-pinak tanpa kendali, yang dikenal sebagai derivatif, dalam sistem keuangan global yang terderegulasi dan saling berkaitan. Contoh sederhananya diberikan Wolfson: derivatif sebagai kontrak finansial nilainya berasal dari sesuatu, sebutlah aset atau index. Nah, akar dari krisis finansial ini berasal dari derivatif yang dinamakan mortgage backed securitites (MBS), dimana MBS ini adalah klaim pembayaran dari keseluruhan cicilan utang perumahan yan kemudian dijadikan surat berharga.
Dalam proses menuju krisis, broker perumahan biasanya melipatgandakan nilai perumahan kepada peminjam, dimana ia kemudian datang ke bank komersial, sebutlah Bank of America untuk membiayai pinjaman tersebut. Bank komersial ini selanjutnya pergi ke lembaga pemeringkat, katakanlah Standard and Poor untuk memperoleh rating terbaik kategori AAA, untuk selanjutnya menjual pinjaman tersebut kepada Fannie Mae, yang menyatukan keseluruhan grup perumahan tersebut. Fannie Mae kemudian menjual hasil MBS kepada bank investasi seperti, Lehman Brothers. Lehman kemudian mempaketkan kembali MBS tadi dalam beragam bentuk yang lebih kompleks yang disebut CDO. Pembeli CDO ini mungkin adalah bank, hedge fund, atau pemberi utang yang lain.
Untuk menghindari kerugian, para pembeli MDS dan CDO kemudian mengamankan dirinya dengan mengasuransikan resikonya kepada perusahaan asuransi macam AIG, melalui pembayaran premium secara periodik. Nah, ketika AIG bangkrut, maka proteksi yang dikhayalkan itupun runtuh seperti rumah kartu. Dan karena sektor keuangan ini posisinya sangat dominan, seperti disebutkan di awal tulisan ini, maka krisis sektor ini dengan cepat merembet dan mengobrak-abrik sektor ekonomi lainnya.
Catt: Disunting Dari Coen Husien Pontoh