Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

RTRW = Representasi Tipikal Kapitalisme

Sabtu, 27 November 2010 | November 27, 2010 WIB Last Updated 2012-01-07T23:11:31Z
Oleh : Hilal Tamami

Sebelum jauh memberikan kritik terhadap raperda RTRW, terlebih dulu penulis ingin memberikan sajian analisa mengenai faktor-faktor detail esensi paling fundamental tujuan dari dibuatnya Raperda RTRW, serta mengurai semua kekusutannya. 

Fase baru tentang ancaman bahaya di masa depan, sudah terlewati. Mungkin kita masih ingat saat-saat menjelang disahkannya undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) yang menjadi prasarat bagi penyerahan secara sukarela kekayaan alam kita kepada investasi luar (asing/swasta),

Sebagaimana kita ketahui, lahirnya UUPM tersebut berhasil memanen protes dari banyak pihak karena mensubstitusikan tipikal dan kepentingan neoliberalisme kaum kapitalis. Mahkamah Konstitusi sendiri membatalkan salah satu pasal tentang hak pengusasaan atas tanah selama 95 tahun karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Tidak pernah terjadi sebelumnya sepanjang sejarah tanah di Republik ini dapat dikuasai asing dalam tempo begitu panjang, bahkan di jaman Hindia Belanda sekalipun.

Tidak terpisahkan dengan itu, penerapan Skema Besar Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah satu skema yang dikehendaki para pemodal besar untuk memodernkan corak pengakumulasian profitabilitas dalam hal kedudukan modal yang memiliki akses atas sumber bahan baku dan sumber tenaga kerja murah. 

model kawasan semacam ini mirip dengan kawasan free trade zone (FTZ) Batam Bintan Karimun. Atau mungkin saja KEK ini merupakan perluasan dari FTZ baik berkaitan dengan luas kawasan maupun fasilitas dan insentif fiskalnya. Batam telah terbukti gagal, justru malah berkontribusi terhadap peningkatan rumah tangga miskin, dari 33.408 KK pada tahun 2008 menjadi 35.711KK pada 2009 

Guna melengkapi instrument neoliberalisme yang saat ini menggunakan cengkram utang (melalui World Bank dan IMF) para pemodal besar (Uni Eropa, Jepang dan AS) terus mengikat kaki dan tangan Negara-negara berkembang seperti Indonesia agar selalu memenuhi resep-resep WTO dalam upaya kebebasan pasar seluas-luasnya yang sebelumnya jauh-jauh hari pertanian kita telah berada dalam jeratannya, kini system perdagangan pun didesakannya sebagaimana termanifestasi dalam Free Trade Agreement (FTA) yang juga melibatkan hegemoni Negara-negara Asia (China dan India) dalam perdagangan regional di kawasan Asean. Khusus china nampaknya akan menjadi penjajah baru di luar Uni Eropa, AS dan Jepang. Sebagaimana dilansir detik finance, 17/11/2009 Kegelisahan Purnomo Widodo (Executive Commite Indonesian Iron and Steel Industry Association) akan ancaman hancurnya industri baja di Indonesia karena saat ini saja Cina merupakan pesaing tangguh industri baja domestic apa lagi diterapkannya tariff impor 0 %.

kontradiksi RTRW Karawang
Dengan relevansi tersebut maka kita akan dapati kesimpulan tunggal tentang maksud dan semangat dari raperda RTRW yang akan segera di sahkan oleh pemerintah kabupaten Karawang. 

Memang tidak terlalu banyak point yang penting untuk dikritisi. Akan tetapi, satu dua dari puluhan pasal yang akan diimplementasikan dalam bentangan geografis yang terletak antara 107o02’ - 107o40’ BT dan 5o562’ - 6o34’ LS. Kabupaten Karawang termasuk daerah daratan yang relatif rendah dan variasi kemiringan wilayah 0 – 2%, 2 – 15% dan diatas 40%, mulai dari Sanggabuana sampai Muarabungin raperda tersebut akan mengetengahkan dampak yang luar biasa buruk (negative effect) bagi kelestarian lingkungan, keutuhan pangan dan artinya secara tidak lagsung bakal mengancam kelangsungan kehidupan kita dan anak cucu kita dikemudian nanti.

Setidaknya ada dua hal pokok yang menjadi focus kritik dalam raperda tersebut. Pertama, dalam Pasal 29 mengenai kawasan hutan lindung hanya memaktubkan kawasan Gunung Sanggabuana sebagai hutan yang dilindungi, tanpa interpretasi yang jelas mana batasan kompleks gunung Sanggabuana tersebut, padahal di kecamatan Tegalwaru dan Pangkalan terdapat banyak julangan Gunung yang juga harus dilindungi mulai dari Gunung Aseupan, Gunung Rungking, Gunung Cipaga, Gunung Cilalay, Gunung Jayanti, Gunung Halimun, Gunung Cengkik dan masih banyak gunung yang terdapat di dua kecamatan tersebut yang tak bisa disebutkan satu persatu. Sebagai salah satu contoh, RTRW dalam perda no 19 tahun 2004 yang nyata-nyata menyebutkan nama kedudukan hutan lindung di tiap desa (telah dikodifikasi) dengan mudahnya di langgar sendiri oleh pemerintah kabupaten Karawang. 

Dalam pasal lain (30) juga dijelaskan bahwa batasan lain tentang hutan lindung adalah yang termasuk dalam kawasan KPH Purwakarta. Kalau kita lihat dari kasus eksploitasi batu andesit di gunung Sirnalanggeng yang dilakukan PT Atlasindo Utama dan PT. ADHI MIX di desa Cintalanggeng kecamatan tegalwaru, dengan mudahnya pasal tersebut didegradasi dengan cara tukar guling lahan (ruislag). Area tersebut akan dengan mudahnya beralih kedudukan secara yuridis karena sudah bukan berada di kawasan KPH lagi. Padahal, yang harus menjadi focus pikiran pemerintah adalah bagaimana gunung-gunung yang ada terus berkemampuan menjadi sumber air bersih, penyumbangkan oksigen (O2) penyeimbang sulfur dioksida, menahan erosi dan banjir dsb. Dan bukan bersembunyi di balik kepentingan sempit alasan potensi Pendapatan Asli Daerah/PAD dan Lapangan Pekerjaan bagi rakyat. Mungkin saja tanpa mengecualikan rencana lain dari usaha penambangan mineral (oleh swasta) setelah tersiarnya kabar peneliti IPB menemukan titik-titik kandungan sumber daya mineral di lokasi pegunungan yang tak disebutkan dalam raperda

Padahal, keberadaan dan fungsi hutan harus sangat diperhatikan kelestariannya, mengingat kondisi iklim secara global yang sudah sangat memprihatinkan, bahkan KTT perubahan iklim yang digelar di Copenhagen Denmark merekomendasikan agar setiap Negara senantiasa melakukan perubahan secara revolusioner di bidang lingkungan guna kelestarian hidup manusia. 

Kedua, persoalan mendasar dari kandungan raperda RTRW adalah model dan arah pembangunan. Secara eksplisit, pembangunan di kabupaten Karawang yang begitu anarkis. Walau kecil reaksi tapi telah memicu kontroversi yang lumayan luas dari kalangan sipil terutama dari para penggiat lingkungan/kelompok Pecinta Alam seperti MAPALASKA, OEPAS KORAK, PEPELING, GASAK dan yang lainnya. Reaksi keras atas raperda tersebut juga datang dari salah satu organisasi masa tani yaitu Serikat Petani Karawang (SEPETAK) di bawah pimpinan Deden Sofian, bahkan dalam Surat Keputusan SEPETAK no 009/IN-SI/A1/sepetak/I/2010 dengan tegas mengutuk raperda tersebut dan instruksi kepada seluruh anggotanya untuk melakukan mobilisasi massa menolak pengesahan Raperda tersebut serta menuntut revisi perda no 19 tahun 2004, sebagai bentuk nyata perjuangan kedaulatan pangan serta menyelamatkan lingkungan. 

Pembangunan yang gencar diselenggarakan berlandaskan perda no 19 tahun 2004, peraturan sebelumnya serta peraturan yang ada di atasnya telah banyak mengubah Karawang. Yang akan menjadi pemahaman kita tentunya dengan meletakan capital-industrialisasi manufaktur sebagai urutan teratas dari daptar pembangunan di kabupaten Karawang. UU PMA diawal-awal kekuasaan Orde Baru ditelan bulat-bulat oleh pemerintah kabupaten Karawang dengan logika akan dapat menyejahterakan masyarakat. Karenanya peraturan yang dibuat di daerah Karawang merupakan turunan (kooptatif) dari regulasi di nasional sebagaimana yang tak disadari oleh pemerintah kabupaten Karawanmg bahwa demikian itu adalah perangkat bagi kapitalisme dalam usaha menganak pinakan modalnya di Indonesia. 

Tanah merupakan sarat pokok bagi berdirinya industri manufaktur, maka RTRW menjadi kebijakan pemusatan kegiatan industri di kawasan khusus yang kemudian diistilahkan dengan nama kawasan industri, zona industri dan kota industri. Terbangunlah kemudian kawasan-kawasan industri seperti KIIC, Surya cipta, KIM, KIKC dan kawasan industri lainnya serta zona industri dan kota industri yang terbentang dipermukaan ribuan hektar lahan yang sebelumnya merupakan daerah resapan air dan mungkin status lahan pertanian produktif. 

Sebuah keniscayaan yang obyektif. Dengan terbangunnya industrialisasi maka ada faktor-faktor lain yang harus dipenuhi kapasitasnya. Para buruh/pekerja pabrik membutuhkan tempat tinggal yang nyaman, aman dan sehat, tentunya RTRW pun mengiyakan pengembangan perkotaan (terutama permukiman). Merujuk data dari dinas pertanian terjadi konversi lahan sekitar 150 hektar pertahunnya. Bahkan data lain (dari bappeda) menunjukan angka 200 hektar pertahunnya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi industri, proferty dan pusat pertokoan.

Penyimpulan:
RTRW bukan sekedar pemetaan wilayah, kedudukan sosial ekonomi atau proyeksi-proyeksi kehendak pemeritah pusat atau kepentingan swata langsung. RTRW harus disandarkan pada partisipasi publik, transparansi, kemajuan gagasan berikut kesanggupan untuk menjalankannya. Tanpa itu, terlebih rapuhnya pemerintahan Karawang yang masih mengandalkan pendanaan pelaksanaan RTRW dari investor swata. 

Baik perda no 19 tahun 2004 atau pun raperda sekarang, telah dan akan menimbulkan bencana sosial yang luar biasa hebat. Banjir, hilangnya sumber mata air, deindustrialisasi, pengangguran, kemiskinan dsb dsb. Karena sadar atau pun tidak sadar perda no 19 tahun 2004 berwatak kapitalistik yang merupakan Rencana Detail sebagaimana dimaksud UUPM, KEK, Perjanjian Perdagangan di kawasan perdagangan bebas se Asia Pasifik (Free Trade Area on the Asia-Pacific/FTAAP). yang sangat kental dengan penghisapan, liberalisasi, eksploitasi dan destruktif.

Berikut rencana-rencana dan yang telah diselenggarakan :
Di Daerah Selatan, (i) Penambangan batu andesit oleh PT. ATLASINDO UTAMA dan PT. ADHI MIX telah menyumbangkan polusi (udara dan suara) dan menghilangkan suber mata air sehingga berpotensi menghancurkan pertanian dan mengancam ketahanan pangan. (ii)Penambangan sumber mineral juga akan berdampak pada sumbangan polusi dan penghilangan sumber mata air, oksigen (O2), dan bakal menyumbangkan banjir di hilir.

Di daerah perkotaan ke selatan dan perkotaan ke utara, (i) pengembangan industri manufaktur di kawasan industri dan zona industri menghasilkan polusi, limbah cair kimia yang berbahaya bagi lingkungan hidup/keaneka ragaman hayati, pendangkalan sungai oleh limbah padat industri salah satu penyebab banjir, naiknya suhu air laut yang akan memusnahkan terumbu karang dan merusak biota laut. (ii) alih fungsi lahan daerah resapan air menjadi daerah terbangun (oleh industri manufaktur dan proferty) juga salah satu penyebab banjir, hancurnya sektor pertanian dan terancamnya ketahanan pangan. (iii) pemusatan kegiatan ekonomi di perkotaan menelantarkan sosial pedesaan plus berkecamuknya kemiskinan.

Di daerah pesisir Utara, (i) sempadan pantai khusus di kecamatan tempuran yang akan dibangun pelabuhan, tentu saja akan mensaratkan pengembangan sarana dan prasarana pendukungnya, terutama pengembangan pemukiman baik secara anarkis atau alamiah akan berlangsung. Lagi-lagi akan menghabisi lahan pertanian tekhnis di sana. Belum lagi (ii) penanganan abrasi oleh pemerintah belum secara significant digalakan

Jalan keluar atas masalah dan kelemahan yang terkandung dalam perda no 19 tahun 2004 dan raperda RTRW baru. 

Perspektif pembangunan ekonomi Karawang tidak bisa bertumpu sepenuhnya kepada industri manufaktur swasta yang sekarang justru menuju kebangkrutan (deindustrialisasi). Karena terpapar di atas peran swasta (kapitalisme) hanya memberikan kerusakan lingkungan, kemelaratan massal dan seabrek masalah sosial. Konsep industri harus diselenggarakan di sektor pertanian, (industrialisasi pedesaan) yang berlandaskan pada peran serta masyarakat secara penuh, ketersediaan bahan baku, lestari lingkungan dan mengabdi kepada kepentingan publik. Industrialisasi pertanian dalam hal ini mempunyai cakupan sektor (i) industri pertanian sawah (ii) industri pupuk organic (iii) industri teknologi penunjang (iii) industri peternakan (iv) industri pertambakan dan pengalengan ikan (v) industry pakan (vi) industri tepung ikan (vii) dsb. 
Industrialisasi semacam inilah yang bercorak massal, penyelenggaraannya tidak terpusat di satu kawasan tapi tersebar di desa-desa sesuai dengan bahan baku produksi berikut akses pendukungnya. Khusus daerah selatan untuk menjawab problem sosial seperti pengangguran, kawasan ini diperuntukan bagi industri peternakan karena di sana banyak tersedia sumber makanan (rumput) untuk hewan ternak baik produksi daging, telur (ayam), susu (sapi) atau yang dikhususkan kotorannya bagi material industri pupuk organic.

Jadi tak ada alasan lagi pemerintah mengundang investor swasta untuk mengekploitasi batu atau sumber mineral yang terkandung di dalam ovarium pegunungan sana yang hanya berakibat merusak lingkungan dan tidak memberikan efek manfaat besar bagi serapan tenaga kerja produktif dan PAD.

Wilayah tengah utara sebagai pusat hamparan pertanian lahan basah/persawahan teknis harus segera merencanakan menegement industry pertanian yang ramah lingkungan tanpa pupuk kimia dan pestisida juga mempersiapkan pembangunan industri teknologi pendukungnya berikut sistem perdagangan publik.

Bagian karawang utara (pesisir) bukan dengan cara mengeruk pasir laut sebagaimana kebijakan bupati atau membangun pelabuhan sebagai pusat perdagangan. Karena Kawasan Perdagangan Khusus seperti Batam pun ternyata gagal meningkatrkan perekonoman masyarakat. Dengan sumber bahan baku yang tersedia di sana maka pembangunan industri pengalengan ikan, industri pakan dan industri tepung ikan sangat realistis untuk digalakan. 
Kalaupun di utara ditemukan sumber-sumber energi primer seperti minyak dan gas dan berpotensi untuk dieksploitasi tapi rentan, pemerintah harus terlebih dahulu mencari energi-energi alternative yang tidak berdampak negative bagi lingkungan, pertanian dan habitat laut.

Dengan terbangunnya industrialisasi pertanian milik rakyat tersebut maka bisa dipastikan tidak akan terjadi kerusakan lingkungan, menjamin kemandirian ekonomi kabupaten serta meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
Sebaran pembangunan ekonomi berarti pemerataan sebaran penduduk, yang sangat mudah dalam kerangka antisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk secara sistematik.

Khusus bagi penataan kota ke selatan dan utara, kiranya tidak akan menjadi sulit kemudian. Jika aspek primer dari tata kota adalah keberadaan penduduknya, sehingga memunculkan argumentasi akan kebutuhan tempat tinggal maka bisnis proferty membabi buta menutup lahan-lahan pertanian teknis. Yang begitu mencolok adalah seperti lokasi-lokasi perumahan yang terletak di sekitar saluran induk seperti (Gading Elok, Citra Kebun Mas, Kondang Asri, Resinda dekat saluran skunder dll). Dengan demikian Pemerintah kabupaten Karawang harus dengan tegas mulai hari ini mengeluarkan regulasi tentang larangan pembangunan proferty baik oleh depelover atau perorangan. Akan tetapi mulai menggalakan pembangunan rumah susun yang fasiltasnya memadai, sehat, terjamin keamanan serta keselamatan penghuninya, plus membuka akses transportasi.

Terkait tadi dengan faktor utama limbungnya perda no 19 tahun 2004 dan reperda RTRW kabupaten karawang adalah penduduk yang membebani kota yang dilatari oleh pemusatan kegiatan ekonomi kabupaten sehingga mau tidak mau membutuhkan pembangunan infrastruktur-infrastruktur penunjang di satu sisi dan kerugian atas pembangunan infrastruktur tadi di sisi yang berbeda. 

Jika saja kegiatan ekonomi telah tersebar dan tertata dengan baik hingga desa-desa, maka kebutuhan jalan sebagai solusi kemacetan dari restorasi kendaraan bermotor seperti artery warung bambu-tanjung pura yang menelan biaya tak terkira besarnya tak perlu terjadi karena kemacetan takan pernah ada lagi.

Karenanya, jika tidak ada kemauan dari pemerintah kabupaten Karawang dalam mengubah navigasi kebijakan ekonomin pro modal swasta dometik/asing ke arak ekonomi kerakyatan dengan investasi publik yang mandiri dan tangguh maka tunggulah kehancuran berikutnya.
×