Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

Menyayangi Lingkungan Hidup III

Kamis, 03 Mei 2012 | Mei 03, 2012 WIB Last Updated 2012-05-02T19:59:30Z
Kapitalisme dan Ekologi: Hakikat Kontradiksinya (1)

Oleh: John Bellamy Foster


Relasi sosial modal, seperti yang kita ketahui, mengandung kontradiksi. 

Kontradiksi tersebut, meskipun berasal dari hukum gerak internal kapitalisme, namun ia meluas menjadi suatu fenomena yang biasanya dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar sistem, mengancam integritas keseluruhan biosfer dan semua yang ada di dalamnya sebagai dampak dari ekspansi modal yang tak henti-hentinya. Cara memahami kontradiksi ekologis dalam kapitalisme telah menjadi subyek perdebatan yang sengit di antara kaum sosialis. Dua hal penting dalam perdebatan tersebut adalah: (1) di bawah kapitalisme, apakah krisis ekologi selalu diikuti oleh krisis ekonomi?; dan (2) sampai taraf mana kah kontradiksi ekologis yang terjadi di jantung masyarakat kapitalis?

Persoalan yang diperdebatkan tersebut dapat diselesaikan jika kita melihat kembali kepada Marx. Salah satu elemen kunci dalam analisis ekologi Marx, seperti yang saya jelaskan dalam Ekologi Marx, adalah teorinya tentang celah metabolisme. Marx menggunakan konsep celah dalam hubungan metabolis antara manusia dengan bumi untuk menggambarkan keterasingan material manusia (dalam masyarakat kapitalis) dari syarat-syarat alami yang membentuk dasar keberadaan mereka. Salah satu manifestasinya adalah pemisahan ekstrim antara kota dengan desa (di bawah kapitalisme), yang berangkat dari pemisahan populasi massa dari tanahnya.

Ahli kimia pertanian abad ke-19, khususnya Justus von Liebig, telah menemukan bahwa hilangnya nutrisi tanah--seperti nitrogen, fosfor dan potasium--selama pengiriman makanan dan serat ke kota--mengganggu siklus nutrisi tanah dan melemahkan pertanian kapitalis, juga mengubur kota-kota dengan sampah. Bukannya membangun bentuk produksi yang rasional, pertanian Inggris yang canggih (pertanian kapitalis paling maju saat ini), malah lebih tepat digambarkan sebagai, menurut Liebig, “sistem perampokan” karena efeknya terhadap tanah. Menurut sistem tersebut, secara historis, penurunan produktifitas tanah disebabkan karena masuknya  tulang (secara besar-besaran dari negeri-negeri Eropa lainnya) dan guano (kotoran burung) dari Peru serta, yang terakhir, pengembangan pupuk sintesis. Pupuk sintesis, bagaimanapun juga, menimbulkan masalah yang lebih besar. Hal tersebut memperlebar dan membuat celah metabolisme menjadi jauh lebih rumit, menimbulkan keterputusan yang parah dalam hubungan antara alam dengan masyarakat, yang mencirikan karakter pertanian dan industri saat ini.

Marx menyadari bahwa celah metabolisme tersebut menggambarkan masalah tentang keberlanjutan. Dalam kutipan bacaan tak resmi, ia mengatakan bahwa kapitalisme melemahkan vitalitas sumber daya kemakmuran yang abadi, yakni tanah dan pekerja. Masalah celah metabolisme pun tidak terbatas hanya soal tanah. Marx mengembangkan suatu kajian tentang  keberlanjutan--konservasi  dan, jika perlu, restorasi bumi sehingga bisa diteruskan (dalam keadaan seperti semula atau lebih baik) kepada rantai pergantian generasi manusia--yang pembicaraannya ditujukan secara langsung pada masalah-masalah seperti nutrisi tanah, pendaurulangan, polusi, kondisi sanitasi, penebangan hutan, banjir, penandusan, perubahan iklim, pendaurulangan limbah industri, keanekaragaman spesies, pengkomoditasan spesies dan masalah yg lain-lainnya. Penelitiannya yang cukup dekat kaitannya dengan teori evolusioner membawanya kepada ide koevolusi. Konfliknya dengan Malthus memaksa dia untuk menggunakan faktor-faktor sejarah (daripada alamiah) untuk menjelaskan terjadinya “overpopulasi” (istilah yang digunakan oleh Marx, tetapi tidak oleh Malthus). Analisis Marx tentang akumulasi modal primitif menunjukkan bahwa pemisahan pekerja dari tanahnya merupakan kontradiksi yang membentuk kapitalisme. Kritiknya tentang ekonomi politik menyoroti pengkomoditasan seluruh aspek kehidupan dan peran dominan yang dimainkan oleh akumulasi modal tanpa akhir, yang berakar dalam nilai tukar yang berlawanan dengan nilai pakai. Mengutip dari Thomas Muntzer, pemimpin revolusioner perang kaum tani di Jerman abad keenam belas, Marx mengamati: tidak bisa ditolerir bahwa ”semua makhluk hidup telah dijadikan barang milik, ikan di air, burung di udara, tumbuhan di bumi—semua yang hidup harus bebas” (Muntzer, Collected Works, hal. 335; Marx and Engels, Collected Works, vol 3, hal. 172).

Meskipun demikian, telah menjadi suatu kecenderungan pada lingkaran-lingkaran eko-sosialis tertentu untuk tidak terlalu menekankan  pada kekayaan wawasan ekologi yang dijelaskan oleh Marx, mereka hanya memfokus dirinya pada apa yg dianggap sebagai kelemahan utama analisis Marx yang, katanya, membuat Marx tidak mampu mengembangkan Marxisme ekologis sebaik-baiknya. Alan Rudy, yang menulis dalamCapitalism, Nature, Socialism (kapitalisme, alam, sosialisme), jurnal terkemuka eko-sosialisme, yang diedit oleh James O’Connor, mengatakan bahwa “keterbatasan ekologinya Marx…, adalah bahwa Marx tidak menteorikan ‘celah metabolisme’ sebagai momen penting dalam (kecenderungan) krisis kapitalisme.” Poin ini sudah dikatakan secara penuh oleh O’Connor, yang berpendapat bahwa ketika Marx mengetahui adanya  “metode yang bersifat merusak secara ekologi” dalam pertanian, “dia tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan” bahwa degradasi ekologi “akan mengancam krisis ekonomi dalam bentuk tertentu, yakni penurunan kapasitas produksi modal” karena terjadi perusakan kondisi alami produksi. O’Connor juga menyatakan, karena itu Marx gagal untuk “menyatukan dua dengan dua”, yaitu membangun teori tentang bagaimana peningkatan biaya ekologi akan berperan dalam penurunan kemampuan meraih profit dan menciptakan krisis akumulasi. Analisisnya jadi mengecewakan karena konsep kerangka kerjanya  diberi label “ekologi Marxisme” oleh O’Connor.

Kontribusi teori O’Connor sendiri merupakan suatu usaha untuk melakukan apa yang gagal dilakukan oleh Marx, yaitu menunjukkan bagaimana perusakan kondisi produksi yg disebabkan oleh modal menciptakan bentuk khusus krisis ekonomi bagi kapitalisme, atau yang disebut sebagai “kontradiksi kedua kapitalisme” oleh O’Connor. Dia berpendapat bahwa kapitalisme selalu dikelilingi oleh “kontradiksi pertama”--atau kecenderungan krisis ekonomi yang berkaitan dengan kenaikan tingkat nilai lebih, yang justru menghasilkan hambatan untuk merealisasikan nilai lebih tersebut atau kesulitan mengeruk keuntungan melalui penjualan barang dan jasa¾sehubungan dengan ketidak-seimbangan antara pendapatan dengan kelimpahan/kekayaan yang tersedia. Kontradiksi pertama ini menggambarkan krisis ekonomi yang menampakkan dirinya dalam bentuk kelemahan (dilihat dari sisi) permintaan (yakni, kelemahan dilihat dari sisi upaya untuk merealisasikan keuntungan).

Walaupun demikian, saat memfokuskan diri secara eksklusif pada kontradiksi pertama, O’Connor berpendapat bahwa kritik-kritik para sosialis tentang kapitalisme telah melupakan “krontadiksi kedua”--yang dikaitkan dengan melemahnya syarat-syarat produksi kapitalisme. O’Connor menyebutkan tiga tipe “syarat-syarat produksi” dalam analisis Marx, yaitu: (1) sayarat personal produksi yang berhubungan dengan kemampuan tenaga kerja manusia, (2) syarat eksternal-alam produksi (hutan, ladang minyak, persediaan air, spesies burung, dan lain sebagainya.), dan (3) syarat komunal-umum produksi (lingkungan yang tercipta, contohnya, kota-kota dan infrastruktur daerah perkotaannya). Apa yang menyebabkan elemen-elemen tersebut menempati posisi sebagai syarat-syarat produksi adalah karena syarat-syarat tersebut tidak dihasilkan (atau tidak sepenuhnya dihasilkan) oleh kapitalisme, melainkan, meminjam istilah Karl Polanyi, lebih sebagai “komoditas-komoditas fiksi”. Kapitalisme tidak secara langsung memproduksi manusia atau bahkan kemampuan tenaga kerja--walaupun demikian kapitalisme memperlakukan tenaga kerja sebagai komoditas sebagaimana komoditas lainnya. Kapitalisme juga tidak menciptakan alam eksternal. Lingkungan yang tercipta, sampai per bagiannya, muncul disebabkan oleh faktor-faktor spasial dan temporal yang bukan merupakan subyek langsung hukum nilai.

Produksi modal sangat bergantung pada penggunaan dan transformasi syarat-syarat alami produksi, yang  pada tahap tertentu melambangkan kelangkaan sumber daya alam, dan bahwa sistem ekonomi tidak mampu melestarikan alam dengan biaya yang relatif murah. Menurunnya syarat-syarat produksi tersebut memicu meningkatnya biaya bagi kapitalisme, menekan keuntungan dari segi biaya produksi (atau penawaran): itu lah “kontaradiksi kedua” kapitalisme. Joel Kovel dalam bukunya yang berjudul The Enemy of Nature (musuh alam), sependapat dengan O’Connor, menyebut krisis ekologi yang diakibatkan oleh penurunan modal karena syarat-syarat produksi modal itu sendiri skala tekanannya terus meningkat layaknya “keharusan besi, tak terhindarkan”. Dia menyatakan bahwa  “degradasi tersebut memiliki efek kontradiksi terhadap profitabilitas itu sendiri... secara langsung, dengan merekayasa tatanan dasar produksi sehingga menghancurkannya atau, secara tidak langsung, melalui reinternalisasi “biaya yang telah dikeluarkan untuk lingkungan hidup”. (3)

O’Connor mengidentifikasikan “teori ekologi Marxis” dalam kaitannya dengan “kontradiksi kedua”, sedangkan kontradiksi pertama ia sebut berkaitan dengan “Marxisme tradisional.” Keduanya, kontradiksi pertama dan “kedua”, berwujud sebagai kecenderungan krisis ekonomi, dan keduanya secara silmultan muncul dalam sejarah dalam bentuk krisis ekonomi. Tetapi argumen tersebut mengindikasikan bahwa “kontradiksi kedua”, yakni kontradiksi-kontradiksi ekonomi dari sisi-penawaran, yang berakar pada peningkatan biaya, sekarang ini sangat dominan. Sehingga kapitalisme terperangkap dalam kecenderungan krisis ekonomi yang berkaitan dengan produksi modal yang rendah. Hak tersebut disebabkan karena syarat-syarat produksi modal sendiri yang sangat merusak: bentuk krisis ekonomi yang, menurut O’Connor, lebih berkaitan dengan halangan eksternal atau alami ketimbang persoalan internal atau antagonisme kelas sistem kapitalisme.

Bagian terpenting dari argumen tersebut adalah kaitannya dengan perkembangan gerakan-gerakan sosial radikal modern. Kontradiksi pertama dihubungkan dengan gerakan buruh berdasarkan kelas yang, walaupun gerakan-gerakannya masih bisa dikatakan eksis, namun semakin tergeser oleh gerakan-gerakan sosial baru yang timbul oleh “kontradiksi kedua.” O’Connor berpendapat ada tiga tipe dasar gerakan-gerakan sosial baru yang masing-masingnya berhubungan dengan melemahnya syarat produksi yang berbeda-beda: gerakan seperti feminisme, yang peduli terhadap politik tubuh, distimulasi oleh melemahnya syarat-syarat personal produksi; gerakan lingkungan hidup bersumber pada melemahnya syarat-syarat eksternal-alam produksi; dan gerakan perkotaan bermula dari syarat-syarat komunal-umum produksi. Kekuatan tesis “kontradiksi kedua”, dan alasan pengaruhnya terhadap pemikiran para sosialis dan non-sosialis, tentu sudah sangat jelas. Ia memberikan satu argumen logis yang menghubungkan kelangkaan sumber daya alam, krisisi ekonomi, dan perkembangan gerakan-gerakan baru untuk perubahan sosial. Walaupun demikian, menurut saya, ada beberapa masalah dalam pendekatan ini yang membatasi penerapannya pada bidang yang tepat.

Suatu cara memahami istilah “kontradiksi kedua” kapitalisme, yang tujuannya dalam rangka meyakinkan tesis Marxisme ekologis, telah memecah belah analisa sosialis dalam bidang ekologi. Hal tersebut terlihat dengan adanya perubahan terbaru judul bukuCapitalism, Nature, Socialism (kapitalisme, alam, sosialisme) menjadi berjudul “Marx's Ecology or Ecological Marxism (ekologi Marx atau marxisme Ekologi)”. Istilah “Ekologi Marx”, dalam kasus itu, sepertinya diambil dari judul buku saya, tetapi sumber awal argumen para kritikus diambil dari krontribusi Marx sendiri terhadap ekologi--seperti yang terlihat dalam buku tersebut, istilah tersebut sangat sedikit disebut sebab tesisnya tidak mengarah pada “Marxisme Ekologis” seperti yang disajikan sebagai “kontradiksi kedua” nya O’Connor. Secara eksplisit, poin nya telah ditentukan, seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa, katanya, Marx tidak menjelaskan bagaimana cara krisis ekologi memicu krisis akumulasi bagi kapitalisme, dan oleh karena itu analisisnya tidak lengkap, tidak sistematis, dan tidak berkembang. Sebab itu pula Rudi, mewakili sudut pandang ini, menyatakan: “analisis Marx tentang peran krisis ekologis terhadap krisis kapitalisme ‘tetap’ masih lemah.” 



Keterangan:

(1) Monthly Review, September 2002.

(2) Alan Rudy, Marx's Ecology and Rift Analysis, Capitalism, Nature, Socialism,12 (June 2001), halaman 61; James O'Connor, Natural Causes (New York: Guilford Press, 1998), halaman 160, 165, 173. Dalam konteks pernyataannya yang dikutip di sini, Rudy mengarahkan kitiknya yang sama tentang Marx kepadaku. Cara pandangku, bagaimana pun juga, cukup berbeda, sebagaimana akan kujelaskan dalam artikel ini.Ceramah ini disajikan pada konferensi Sosialisme 2002 di Chicago, tanggal 15 Juni, 2002. 

(3) Kovel, The Enemy of Nature (London: Zed Press, 2002), halaman 39-40.

(4) Alan Rudy, Contribution to "Marx's Ecology or Ecological Marxism," Capitalism, Nature, Socialism, 12 (September 2001), halaman 143.

×