Tentang Moralitas Ekologis
DS: Anda jelas sangat berhati-hati terhadap posisi pemahaman idealistik lingkungan hidup yang berbasis pada pandangan “ekosentris”, semangat abad baru, dan sebagainya. Anda juga berpendapat krisis ekologi saat ini juga merupakan krisis nilai--yang muncul dari dominasi nilai-nilai pasar dibanding yang lain. Berarti anda menyatakan kita membutuhkan “revolusi moral” dalam hubungan kita dengan alam, revolusi tidak hanya terhadap tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan yang tidak bertanggung jawab yang diambil oleh konsumen perorangan, politisi, dan para pejabat tinggi eksekuti, tetapi juga terhadap “amoralitas tingkat tinggi” sistem kapitalisme itu sendiri. Bagaimana caranya kita menerapkan kategori-kategori moral terhadap pelaksanaan sebuah sistem sosial? Apakah itu berarti menyepelekan tanggung jawab individu yang sekarang diteriakkan oleh para ahli lingkungan hidup?
JBF: Memang agak sulit membicarakkan moralitas pada tahap ini, tetapi perlu dilakukan jika kita tidak ingin meletakkan kesalahan pada individu tertentu atas kerusakkan ekologi yang dipicu oleh sistem pasar para kapitalis. Aku mengutip istilah “amoralitas tingkat tinggi” dari C. Wright Mills, beliau juga menggunakannya untuk mengekspresikan kepedulian terhadap status moral struktur-struktur sosial yang membentuk dan membatasi pilihan dan tindakan seseorang.
Seiring dengan berjalannya waktu, kita terbiasa menerima prinsip-prinsip dasar moral tertentu dalam melihat perkembangan manusia--contohnya, setiap orang tidak bebas dari tekanan dan kontrol, berhak mengembangkan bakat dan kemampuan masing-masing, berpartisipasi dalam proses demokrasi, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip tersebut tentu saja terikat pada soal-soal yang berkaitan dengan perkembangan sosial yang lebih umum dan, berarti, prinsip-prinsip dasar tersebut terbentuk seiring dengan pergulatan manusia dan, dalam prakteknya, memiliki kondisi-kondisi sosial tertentu.
Jadi bagaimana kita melihat sebuah sistem sosial yang menghambat perkembangan manusia seperti itu? Bagaimana jika sistem tersebut, seperti yang kita miliki, sebenarnya membatasi kebebasan berkembang keseluruhan populasi dan, hanya, dikuasai oleh segelintir orang? Bagaimana jika sistem tersebut, hanya, mengutamakan kepentingan para penanam modal kaya, dan mengabaikan nasib seluruh populasi sekarang dan keturunannya? Buat aku, sitim tersebut terlihat sebagai bentuk “amoralitas tingkat tinggi.”
Anak cucu kita, jika tidak punah, tentu tidak akan memuja orang yang merusak alam, tidak juga sistem yang memungkinkan terjadinya hal memalukan itu. Perlu kita sadari bahwa tanggung jawab moral kita pada anak cucu tidak hanya terletak di tangan perorangan, tetapi terkait pada keseluruhan struktur masyarakat di mana kita, sebagai individu, terlibat di dalamnya.
Tentu saja kita bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pribadi kita namun, yang perlu dipahami, tindakan-tindakan tersebut terkadang bukan pilihan melainkan ditentukan dan diarahkan oleh struktur masyarakat tertentu yang kita anut. Marx, sebagai contoh, tentu saja tidak menggambarkan para kapitalis sebagai orang baik, akan tetapi dia, mungkin melebihi kritikus sosial terkenal pada zamannya, berulang kali menyalahkan kelemahan kapitalisme atas kerakusan dan kesalahan pelakunya. Marx menyadari bahwa ketika orang ditempatkan sebagai kelas kapitalis, maka tidak salah jika dia melaksanakan aturan pasar dan berusaha mendapat untung besar atas barang serta investasinya. Masalahnya proses pasar yang berorientasi keuntungan itu secara sistematis berkecenderungan merampas hak orang lain dan merusak lingkungan hidup.
Setiap Institusi yang merusak alam dan mengakibatkan keturunan kita semakin kehilangan interaksinya dengan alam bisa dimasukan ke dalam kategori amoralitas tingkat tinggi. Marx menulis manusia tidak memiliki dunia, kita hanya menggunakan dan berkewajiban melestarikannya untuk anak cucu kita. Itu lah landasan prinsip moral yang menggaris bawahi semua pertanyaan tentang keberlanjutan¾landasan dasar universal bagi setiap masyarakat yang merasa bahwa keturunannya berhak mendapat kesempatan yang sama.
Sedihnya, prinsip-prinsip dasar tersebut tidak berpengaruh banyak dalam masyarakat kita. Masyarakat dengan rakus terus menerus memanfaatkan alam milik anak cucu kita. Para peneliti meyakini bahwa pada akhir abad ini akan terjadi kepunahan sekitar 30-50 spesies mahluk hidup. Mereka menyebutnya sebagai “kepunahan keenam.” Kepunahan terakhir yang sebanding terjadi sekitar 65 juta tahun yang lalu, yaitu ketika dinosaurus mengalami kepunahan. Kita, manusia, melakukan itu terhadap bumi--tidak sebagai individu-individu, melainkan sebagai bagian dari sebuah sistem sosial yang membuat kita menjadi penghancur dan menilai segala hal berdasarkan akumulasi modal.
DS: Walaupun mengalami kemunduran politik dalam beberapa tahun ini, sebagian besar segmen masyarakat tetap menunjukkan kepedulian mereka terhadap permasalahan lingkungan hidup. Sayangnya, banyak sekali cara untuk menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan hidup--seperti bersepeda ke kantor, mandi lebih cepat, menggunakan lampu hemat enerji, daur ulang, kompos, dan lain sebagainya--tanpa menciptakan pilihan gaya hidup yang sadar lingkungan. Bagaimana caranya agar gerakan lingkungan hidup mulai menghubungkan ekspresi-ekspresi kesadaran dan tanggung jawab ekologi seperti tersebut ke arah yang lebih transformatif?
JBF: tentu saja dibutuhkan organisasi politik yang lebih tinggi tingkatannya dan kemauan besar untuk menohok langsung ke pusat masalah sebenarnya. Gerakan lingkungan hidup harus menyadari bahwa musuh utama mereka berada pada struktur kekuasaaan masyarakat kapitalis. Intinya, mencapai kestabilan lingkungan hidup berarti merubah struktur kekuasan masyarakat kapilatis, bukan memperbaiki kerusakan kecil yang dihasilkannya.
Saya akan berikan contohnya. Kita sering diberitahu, agar sadar lingkungan, untuk secara sadar memilih tidak mengendarai mobil, dan sebaliknya lebih memilih berjalan kaki, mengendarai sepeda, atau menggunakan kendaraan umum. Padahal bagi sebagian orang pilihan-pilihan tersebut tidak masuk akal. Jalan-jalan, pekerjaan dan keseluruhan infra-struktur urban yang ada tidak memungkinkan kita melakukan kegiatan sehari-hari dengan bersepeda atau berjalan kaki, serta banyaknya tempat yang tidak terjangkau kendaraan umum. Dengan keadaan seperti itu, mengharapkan manusia membuat pilihan pribadi yang sadar lingkungan saja sangat tidak memadai. Kita perlu terorganisir secara politis untuk menciptakan struktur-struktur sosial--transportasi umum, sistem kereta dalam kota, jam kerja yang luwes, perencanaan kota dan pengembangan lahan yang baru, dan lain sebagainya--yang memungkinkan manusia benar-benar dapat melakukan pilihan-pilihan tersebut.
Hal itu juga berlaku pada berbagai permasalahan lain. Anda bisa saja menyuruh seseorang untuk “belanja hijau” (belanja produk ramah lingkungan), tetapi tidak banyak faktor penunjang yang memungkinkannya. Tidak ada label pada produk yang membedakan produk “hijau” dari produk lainnya di rak-rak pasar swalayan besar; atau bahkan produk-produk ramah lingkungan tersebut malah tidak tersedia sama sekali, atau terlalu mahal sehingga tidak terjangkau. Intinya, semua itu permasalahan politik, yang berpusat pada struktur kekuasaan yang perlu diambil alih sebelum kita dapat membuat pilihan–pilihan yang ramah lingkungan.
Melihat Ke depan
DS: Dalam sebuah artikel, yang awalnya diterbitkan dalam Monthly Review, dan kemudian menjadi salah satu bab dalam buku anda yang berjudul Ecology Against Kapitalisme(ekologi melawan kapitalisme), anda menuliskan tentang “the limits of environmentalism without class” (keterbatasan lingkungan-hidup-isme yang tak berkesadaran kelas). Menurut anda mengapa gerakan lingkungan hidup yang ada sekarang perlu melirik persoalan kelas sosial?
JBF: Tulisan tersebut aku tulis awal tahun 1990-an, pada saat krisis burung hantu berbintik di hutan tua, barat-laut pasifik. Pada masa itu, strategi kebanyakan organisasi lingkungan hidup yang berpengaruh adalah menggunakan pendekatan yang sempit dan tunggal terhadap konflik. Pada dasarnya, mereka memihak alam--satu-satunya perhatian mereka tertuju pada melindungi hutan tua, dan sama sekali bukan tanggung jawab mereka untuk mengurusi penyebab kerusakan hutan seperti pekerja hutan atau kondisi ekonomi komunitas para pekerja. Aku sempat berbincang-bincang dengan salah seorang yang bertugas mengadakan lobi pada Washington DC tentang permasalahan tersebut, dan dia dengan gamblang menjelaskan pandangan organisasinya, mempertimbangkan kondisi para pekerja hanya akan melemahkan posisi mereka. Baginya, kerja aktifis lingkungan hidup hanyalah melindungi hutan.
Kesalahan mengadopsi strategi tersebut adalah: anda mengabaikan para pekerja, yang sebenarnya punya kepedulian untuk melestarikan alam, namun khawatir akan kelangsungan hidup dan dan pekerjaannya, sehingga terpaksa bergabung-memihak manajemen dan mengadopsi bentuk industri yang merusak ekologi. Pada kasus krisis burung hantu berbintik, para pekerja--walaupun sebenarnya bermasalah dengan perusahaan-perusahaan kayu tempat mereka bekerja dalam soal upah dan persoalan buruh lainnya--tidak punya pilihan selain memihak perusahaan. Mereka melihat bahwa kerja para aktifis mengancam pekerjaan mereka. Dalam konteks tersebut, “gerakan bijak” di Barat berhasil mengeksploitasi dan “mengipasi” kekhawatiran para pekerja, walaupun mereka dibiayai oleh modal dan tujuan utamanya memperlancar jalannya modal. Aliansi politik antara pekerja dan industri itu lah yang menjadi penyebab utama proses perumusan kebijakan lingkungan hidup mendapat banyak perlawanan di Barat.
Yang ingin aku sampaikan di sini: jika aktivis lingkungan hidup hanya menggunakan satu sudut pandang dalam melihat sebuah permasalahan, mereka dengan sengaja menyerahkan para pekerja ke tangan pemodal. Agar strategi mereka efektif secara politik dan menyentuh permasalahan dasar, mereka harus menghadapi persoalan kelas sosial. Dalam masyarakat kapitalis, yang sebagian besar penghuninya adalah kelas pekerja, gerakan lingkungan hidup tidak akan kemana-mana jika orentasi mereka berputar pada kelas menengah atas ke atas, atau begitu saja menisbikan kelas sosial dan menyerahkan nasib para pekerja di tangan pasar. Gerakan lingkungan hidup sebaiknya tidak hanya memberikan pilihan antara melestarikan alam atau mempertahankan pekerjaan bagi para pekerja. Sebaliknya, membuat program politik yang memenuhi kebutuhan sosial dan material para pekerja yang juga ramah lingkungan. Dengan terbangunnya strategi politik pekerja-aktivis lingkungan hidup maka perubahan yang sejati akan terwujud.
DS: Dalam buku anda The Vulnerable Planet, anda menulis tentang “the socialization of nature” (sosialisasi alam)--tujuan politis yang, sampai pada tahap tertentu, terlihat seperti sandiwara kecil tentang tujuan tradisional kaum kiri dalam mensosialkan ekonomi. Untuk sebagian akhli lingkungan hidup, itu artinya sama saja dengan mengurangi kewaspadaan, dan dapat diartikan melanggengkan subordinasi alam atas kebutuhan sosial manusia. Bisakah anda menjelaskan istilah anda tersebut lebih rinci?
JBF: Kekuatan dominan yang berkuasa sekarang ini mengarah pada apa yang kita sebut sebagai swastanisasi alam. Perekonomian global sekarang ini terus merubah kekayaan alam sebagai komoditas swasta yang dapat dibeli dan dijual di pasar--air, hutan, spesies tanaman, dan bahkan (dengan meningkatnya polusi) atmosfir. Kecenderungan swastanisasi alam sangat merusak, dan memicu permasalahan-permasalahan lingkungan hidup yang selama ini kita perdebatkan, yakni masalah endemik kapitalisme.
Sosialisasi alam tidak lah demikian maksudnya. Menurut pandanganku, semakin kita menempatkan alam dalam perlindungan manusia melalui proses demokratik yang dapat menentukan aturan keberlanjutan, maka keadaan akan semakin membaik. Jika kita memandang kekayaan alam sebagai kapital, kita membiarkan kontrol dan eksploitasi alam berada di tangan perseorangan, yang dapat merusak keberlanjutannya.
Sebagai contoh, bila kita merubah sebagian hutan untuk kepentingan pribadi, maka tak ada lagi yang dapat dilakukan oleh masyarakat sebab daerah tersebut adalah milik pribadi. Hutan-hutan kita memang dalam kondisi rusak parah sekarang ini tetapi, bila dibandingkan dengan hutan pribadi, kondisinya jauh lebih baik. Jika anda melihat lahan-lahan milik perseorangan di wilayah Barat laut Pasifik, anda akan menemui bahwa semua pepohonan yang cukup tua telah dibabat habis dan diganti dengan pepohonan muda yang akan sesegera mungkin dipanen (dipotong). Bentuk produksi dan panen semacam itu merupakan produksi industri dan sama sekali tidak memperdulikan pelestarian integritas hutan atau kesehatan ekosistem. Satu-satunya alasan kita masih memiliki hutan adalah karena hutan tersebut adalah hutan lindung yang dilindungi pemerintah, dan itu artinya hutan itu tersebut telah disosialisasikan.
Sekarang ini, para pembela swastanisasi sangat menghakimi negara, cenderung menghubungkan setiap bentuk “sosialisasi” dengan totalitarianisme ala-Soviet, statisme, dan lain sebagainya. Mereka cenderung melupakan bahwa negara memiliki berbagai wujud--walaupun, demokrasi itu sendiri tak akan ada tanpa negara. Ketika segala sesuatu di bumi menjadi milik pribadi, maka daerah kepentingan demokratik publik akan menghilang, dan anda akan dikelilingi aktor-aktor swasta yang dengan egoisnya mengejar kepentingan pribadi masing-masing. Dalam meriahnya era swastanisasi dan deregulasi sekarang ini, terkadang kita lupa bahwa banyak kebutuhan dasar yang harus kita nikmati--dari setetes air, hingga listrik, sanitasi, taman-taman, dan lain sebagainya--tidak disediakan oleh bisnis, melainkan oleh agen-agen publik untuk memenuhi permintaan demokratik. Seperti halnya, perlindungan lingkungan hidup paling mendasar yang kita miliki sekarang ini dihasilkan dan dilaksanakan oleh badan-badan publik demokratik, yang dengan berat hati diberi sedikit ruang oleh kelas kapitalis.
Jika semua hal di muka bumi diswastanisasi, maka sebagian besar populasi manusia akan kehilangan kemampuan untuk melindungi alam atau bahkan melindungi diri sendiri dari serangan kehendak kaum minoritas penguasa, yang memiliki dan menguasai sebagian besar sumber-sumber daya sosial. Kebalikannya, jika bumi menjadi milik dan memenuhi kepentingan publik, maka kita telah meletakkan alam dalam sebuah kontrol politik yang memberlakukan prinsip-prinsip demokratik. Berdasarkan pemahaman itu lah sosialisasi alam merepresentasikan strategi demokratik dan anti-kapitalis, yang berhubungan dengan sosialisme. Sosialisme mendukung pelaksanaan penuh kontrol publik demokratik, meyakini bahwa mayoritas masyarakat biasa berhak menentukan pemanfaatan sumber-sumber daya kolektif. Aku pikir, kita seharusnya melangkah ke sana jika ingin merubah hubungan kita dengan alam dan meraih keberlanjutan yang sejati.