Kata Pengantar
Hubungan manusia/kemanusiaan dengan alam--sejak karakternya sekadar menerima, adaptatif, mengambil manfaatnya (dengan mengambil hikmahnya), hingga meng-eksploitasi-nya [tanpa belajar untuk lebih memajukan kualitas penyediaan kontak lingkungan (rewarding contact) manusia dengan alam yang lebih baik]. Apalagi saat teknologi dianggap mampu meringankan bahkan menghindari dampak lingkungan. Kini banyak pecinta lingkungan yang mulai menyadari bahwa, dalam sistim kapitalisme, akselerasi eksploitasi alam semakin membahayakan--karena akumulasi dan perusakan memang merupakan bawaan dari sistimnya; demikian juga negeri sosialis, yang punya catatan buruk dalam memelihara lingkungan karena tekanan untuk mengakumulasikan modal membuatnya berperilaku seperti perusahaan-perusahaan kapitalis. James O’Connor membantahnya: tekanan untuk mengurangi biaya lebih kecil di dalam negeri sosialis ketimbang di dalam perusahaan-perusahaan kapitalis--karena perusahaan-perusahaan kapitalis dibimbing oleh norma-norma pasar; sedangkan perusahaan-perusahaan sosialis dibimbing oleh norma-norma politik. Tapi, di sisi lain, upaya untuk memelihara sistim kapitalisme dalam mengekploitasi alam sudah sampai pada tahap seperti ini: ketika kerusakan ekologi dipandang sebagai krisis ekonomi oleh kapitalisme, maka akan terjadi mekanisme reaksi-balik, yakni, secara langsung, melalui upaya modal untuk menurunkan tingkat biaya produksi karena melemahnya syarat-syarat produksi (karena kerusakan lingkungan, misalnya); dan, secara tidak langsung, melalui upaya-upaya gerakan-gerakan sosial untuk memaksa sistem menginternalisasi faktor-faktor eksternal, contohnya, membayar biaya sosial dan lingkungan hidup yang selama ini dianggap sebagai faktor eksternal oleh modal--kemudian mengarahkannya menjadi produksi yang lebih ramah lingkungan.
Apakah perdebatan teoritik dalam memajukan kualitas hubungan manusia dengan alam--melebihi sekadar konsep “berkesinambungan”--seperti yang sedang diupayakan oleh buku kecil yang kami terbitkan ini, bisa menjadi bagian dari gerakan sosial (lingkungan) sehingga bisa mendapat masukan lebih banyak dan baik (terutama fakta-fakta empiris pendukungnya) sehingga perdebatan tersebut bisa dituntaskan dengan segera. Semoga!
***
Ekologi, Kapitalisme, dan Sosialisasi Alam (1)
Oleh: Dennis Soron (2)
Kegagalan Reformasi Lingkungan Hidup Global
DENNIS SORON (DS): Setelah pertemuan Rio Earth Summit pada tahun 1992, yang akhirnya memasukkan alasan mengapa reformasi lingkungan hidup global dimasukan dalam agenda politiknya, banyak ahli lingkungan hidup menjadi lebih optimis. Namun, dengan kondisi lingkungan hidup yang semakin memburuk dan pemerintah menolak mengambil tindakan yang efektif, optimisme itu kemudian memudar. Bagaimana bisa, harapan yang memuncak pada pertemuan di Rio jadi salah kaprah?
JOHN BELLAMY FOSTER (JBF): Optimisme tersebut jadi salah kaprah terutama disebabkan karena kelompok-kelompok lingkungan hidup tidak memperhitungkan tekanan ekonomi yang ditujukan terhadap mereka atau tidak mempertimbangkan secara fundamental sistem ekonomi kapitalisme yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Selama satu dekade terakhir, kita menyaksikan pesatnya ekspansi perdagangan neoliberal dan rejim investasi yang mengabaikan pentingnya perbaikkan lingkungan hidup. Perlu diingat bahwa pada saat pertemuan di Rio, negosiasi GATT sedang berlangsung pula dalam Pertemuan Uruguay (Uruguay Round). Dari negosiasi-negosiasi tersebut, lahirlah formasi WTO, organisasi yang mensentralisasi pengambilan keputusan ekonomi internasional dan mengisyaratkan bahwa regulasi-regulasi lingkungan hidup secara global akan ditentukan oleh dewan tersebut. Sama halnya dengan NAFTA, IMF,Bank Dunia, dan institusi-institusi neoliberal lainnya, WTO telah menyatakan dengan jelas bahwa pertumbuhan ekonomi adalah tujuan utama mereka, apapun harganya, kerusakkan sosial atau pun kerusakan lingkungan hidup sekalipun.
Perkembangan-perkembangan lain yang terjadi beberapa tahun terakhir ini telah sampai pada tahap yang kritis sehingga meningkatkan pesimisme komunitas lingkungan hidup--sebagai contoh, Amerika Serikat mengundurkan diri dari Protokol Kyoto, lalu pemerintahan Bush bersikeras pada posisi hanya mempermasalahkan perbedaan biologis, bioteknologi, kontrol plasma bakteri, dan sebagainya. Walaupun Amerika Serikat (AS), di berbagai bidang, telah mengambil keputusan secara sepihak, sebenarnya ia tak sendirian dalam mengabaikan pemanasan global dan masalah-masalah lingkungan hidup lainnya. Dinamika sistem ekonomi global mendikte dan menyebarkan keengganan pada seluruh negara kapitalis untuk mengambil tindakkan efektif untuk menyelamatkan lingkungan hidup.
Dalam Johannesburg Summit--sepuluh tahun setelah Rio Earth Summit--tumbuh perasaan gamang (di kalangan kelompok-kelompok lingkungan hidup) bahwa mereka kehilangan landasan lingkungan hidup dalam perjuangannya, dan sangat yakin bahwa negosiasi yang mereka lakukan tak akan menghasilkan apapun. Mereka memang tak berhasil mencapai apapun. Kehilangan semangat tersebut, betapapun mengecewakannya, namun pesimisme tersebut ternyata lebih masuk akal dalam menyikapi hakikat permasalahan yang sedang kita hadapi sekarang ini. Sebagai contoh, panel antar-pemerintahan dalam mempersoalkan perubahan iklim baru-baru ini menyatakan bahwa perkiraan cuaca yang mereka buat terlalu konservatif, dan kemungkinan perubahan besar dalam lingkungan hidup dunia akan lebih besar ketimbang dari yang diprediksi. Semua tanda-tanda mengacu pada menggunungnya krisis lingkungan hidup, namun tindakan politik untuk mengatasinya tetap sedikit.
DS: Dalam apatisme politik seperti itu, perlukah kelompok-kelompok lingkungan hidup menelaah ulang strategi-strategi mereka untuk mempromosikan perubahan?
JBF: Aku rasa begitu. Seperti yang anda ketahui, akhir-akhir ini aku sedikit mengritik strategi-strategi yang diadopsi oleh beberapa kelompok. kita ambil contohInternational Forum on Globalization (forum Internasional untuk membahas globalisasi) dan beberapa organisasi serupa, yang sangat baik dan progresif dalam berbagai bidang. Namun demikian, dalam beberapa laporan terbaru mereka, kebijakan utama yg mereka tawarkan adalah “menghijaukan” Bank Dunia, WTO, dan lain sebagainya--dan entah bagaimana caranya mengubah institusi-institusi tersebut menjadi lebih “hijau” dan ramah lingkungan. Padahal kontrol utama lembaga-lembaga tersebut adalah modal, dan tak akan pernah berubah. Tujuan utama WTO, misalnya, adalah memperluas akumulasi modal bagi kepentingan negeri-negeri kaya dengan menyingkirkan penghalang mobilitas modal internasional, menghapuskan subsidi dan regulasi dan, pada dasarnya, memaksakan penerapan kebijakan neoliberal ke seluruh dunia. Sampai pada tahap ini, mustahil “menghijaukannya”, atau merubahnya menjadi organisasi lingkungan hidup.
Untuk melangkah maju, kita tidak saja harus lebih terorganisir tetapi juga harus lebih realistis terhadap kekuatan lawan, dan lebih terbuka untuk mau mengusung isu ekonomi yang lebih luas tepat di pusat krisis lingkungan hidup. Gerakan lingkungan hidup harus berhenti berpikir bahwa negosiasi dengan sekelompok elit akan melahirkan kompromi yang akan menyelamatkan lingkungan hidup. Sebab tujuan mereka adalah “sustainable development”, mempertahankan pertumbuhan--itu artinya mempertahankan pertumbuhan ekonomi di negeri kaya dan mempertahankan akumulasi modal. Lembaga semacam ini tidak akan pernah berkompromi.
Ekologi melawan Kapitalisme
DS: Tidak seperti para ekolog radikal, yang cenderung menggambarkan “modernitas” atau “industrialisasi” sebagai sumber pengrusakkan lingkungan hidup, anda malahan menekankan pentingnya landasan teori ekologis dan praktek yang sistematis dalam mengritik kapitalisme. Bisa anda jelaskan lebih detil?
JBF: Pertama-tama, fakta bahwa kapitalisme adalah sistem sosial yang berlaku di dunia yang kita tinggali ini adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi, dan satu-satunya cara untuk lebih memahami dan memetakan sistem tersebut adalah dengan berpikir seperti seorang kapitalis. Sudah sejak dahulu para ahli ilmu sosial dari berbagai disiplin ilmu dan berbagai spektrum politik setuju atas gagasan tersebut dan berbagi pemahaman dasar cara kerja sistem tersebut.
Dalam lingkungan progresif, tentu saja, pentingnya atau tidak “memberi nama sistem” tersebut, terus menerus diperdebatkan. sebab terkadang terlihat terlalu radikal dan terlalu dibesar-besarkan bila kita mengakui bahwa kapitalisme adalah satu-satunya momok dari masalah yang kita hadapi. Sebaliknya, banya organisasi tidak sungkan menyebut “nama” kapitalisme. Majalah Fortune dan Business Week secara eksplisit memuja kapitalisme. Pendekatan apapun yang kita adopsi, masih ada sedikit keraguan tentang sistem apa yang sebenarnya kita anut ini.
Agar “Industrialisme” bisa dihargai, perlu dipahami kapitalisme merusak lingkungan hidup jauh sebelum adanya revolusi industri--sehingga masalahnya tidak bisa ditimpakan begitu saja pada metode produksi industri. “Modernitas” adalah kategori yang teramat sangat luas sehingga terkadang sangat sulit mendefinisikan arti sesungguhnya. Apapun itu, sebenarnya kita hanya akan banyak menghabiskan waktu membahasnya, dan itu bukan cara yang tepat untuk mendeskripsikan sebuah sistem sosial. Pembahasan tersebut mungkin saja memberikan pengertian pada kita tentang metode bagaimana menjelaskan pola perkembangan historis karakteristik sistem sosial yang kita miliki, tetapi hal tersebut tak mengarahkan kita pada apapun yang konkrit. Jika modernitas adalah cikal bakal kerusakan lingkungan hidup, maka masalah nya hanya akan timbul dalam masyarakat “modern”. Aku rasa terlalu gegabah untuk membuat kesimpulan semacam itu.
Menurut ku persoalan ekologis timbul sejak satu milenia, tetapi untuk memahami persoalan ekologis dalam satu kurun waktu tertentu perlu pemahaman akan sistem yang berlaku pada saat itu. Kapitalisme memang sangat merusak lingkungan hidup, tapi perlu diingat kapitalisme bukan lah satu-satunya sistem yang merusak. Sistem ala-Soviet juga melakukan pengrusakan lingkungan dengan cara dan alasan yang berbeda. Feodal dan masyarakat lainnya pada milenia sebelumnya juga sangat merusak lingkungan hidup. Jadi, dapat dikatakan bahwa meningkatnya krisis ekologis global menunjukan kerja keras kapitalisme. Jika anda mencari apa sumber asal kekuatan yang memicu krisis tersebut, terlihat jelas bahwa sebab musababnya tak dapat dipisahkan dari dinamika dasar kapitalisme global itu sendiri. Dahulu dan sekarang kapitalisme tetap menuntut pertumbuhan ekonomi yang konstan dan cepat. Jadi, pada dasarnya, dapat disimpulkan bahwa ekonomi kapitalis diharapkan menikmati pertumbuhan ekonomi sebesar 3% setiap tahunnya. Sehingga perekonomian dunia akan meningkat 16 kali dalam seabad, 250 kali dalam dua abad, dan meningkat 4.000 kali dalam tiga abad. Itu memang hanya hitungan matematis, tapi itu menunjukkan bahwa sistem ekonomi yang begitu hebat, tentu saja, dalam konteks biospere tertentu, akan mendatangkan masalah. Ya, dalam skala sistem ekonomi global, tentu saja semakin berseberangan dengan proses biokemikal planet. Dengan begitu, pendekatan lingkungan hidup yang tidak memperhitungkan pentingnya pertumbuhan kapitalis jelas akan mendatangkan keraguan dalam hal efektifitas dan kemampuannya.
DS: Dalam konteks ekologi Marx, anda mengatakan bahwa hasil karya Marx sebagai sumber inspirasi pemikiran ekologi radikal kurang dihargai. Apakah itu tidak bertentangan dengan pemikiran Marx dan Marxis secara umum? Bagi sebagian pemikir “hijau” (lingkungan), Marx didakwa tak punya sikap terhadap masalah lingkungan hidup, atau bahkan terang-terangan anti-ekologi bila dilihat dari kepercayaan “Promethean” nya dalam menyikapi perkembangan ekonomi dan teknologi, serta dalam hubungannya dengan tradisi pencerahan yang berorientasi untuk “menguasai” alam, dan lain sebagainya.
JBF: Ya, aku memang menentang intrepretasi Marx seperti yang anda sebutkan--dan mungkin hanya aku yang berpikir demikian. Berkat beberapa peneliti, telah didokumentasikan bahwa Marx sebenarnya menulis tentang krisis ekologis dan langkah-langkah penanggulangannya. Pandangan Materialis Marx dipengaruhi oleh Justus von Liebig, ilmuwan tanah (soil) abad sembilan belas--yang jelas tercermin dari gagasannya tentang “jurang metabolis” (metabolic rift) yang tumbuh di antara daerah pedesaan dengan kota, dan dislokasi ekologis sebagai akibatnya. Gagasan-gasan seperti itu, seharusnya terus menjadi sumber analisa kritis problematika ekologis. Kegagalan memanfaatkan kontribusi Marx, hingga ke bagian-bagiannya, dimulai saat adanya peningkatan keberpihakan sehingga nilai-nilai ekologi dan bentuk-bentuk pemahaman secara fundamental diberikan kesempatan layaknya pemikiran ilmiah dan materialis. Saat ini, menjadi “ekologis” berarti melihat lingkungan hidup dengan cara yang lebih spiritualis dan idealis, dan membeber-beberkan sikap instrumental, reduktif, dan antagonistik terhadap alam yang, padahal, seharusnya dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan Pencerahan. Sejalan dengan itu, menjadi seorang pecinta lingkungan hidup berarti menolak ide-ide “antroposentris”, menanamkan kesadaran spiritual yang didapat dari nilai-nilai yang dikandung alam, dan bahkan bisa saja menempatkan alam di atas manusia.
Berbeda dengan pernyataan di atas, ada tradisi lingkungan hidup yang lebih menggunakan prinsip-prinsip materialis--yang sebenarnya telah melahirkan lebih banyak ilmu ekologi--yang sampai sekarang masih terus diperdebatkan. Tradisi tersebut, dalam berbagai bidang, telah mampu memprediksi permasalahan ekologis lebih awal dan lebih substansial, dan--menurut ku--memberikan banyak sumbangan bagi kita untuk mengatasinya sekarang ini. Terlebih lagi, tradisi tersebut tidak begitu saja mengotak-kotakkan anda sebagai antrophosentris atau ekosentris, pro-manusia atau pro-alam. Sebaliknya, tradisi tersebut mengetahui bahwa inti masalahnya lebih mengacu pada interaksi hubungan antara manusia dengan alam, bagaimana kita mengatur hubungan kita dengan alam. Kita harus mengetahui kandungan instrinsik alami bumi dan, tentu saja, berusaha melindunginya. Namun kita juga perlu memahami bahwa kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa kita telah merubah alam selama kita hidup dan bekerja atas bumi ini. Sampai tahap ini, tujuan utama kita seharusnya adalah merubah alam tanpa merusaknya, membuat aturan tentang hubungan kita dengan alam.
Di situ lah, Marx, sebenarnya menjelaskan bagaimana mengatur hubungan kita dengan alam dan bahwa, sebenarnya, proses lingkungan hidup itu berkaitan dengan perkembangan hubungan masyarakat dan sosial. Sayangnya, para analis marxis tidak benar-benar mengikuti jejak sang guru, setidaknya tidak cukup lama, sehingga pandangannya tentang ekologis hilang. Para anti-positifisme Marxisme Barat terkadang memanifestasikan diri dengan mengabaikan atau memusuhi ilmu pengetahuan. Dilain pihak, “materialisme dialektik” yang berasal dari Uni-soviet itu sifatnya over-positif dan terlalu memuja serta memakai konsepsi ilmu pengetahuan yang salah. Di situ lah analisis ekologis jadi salah kaprah--di satu sisi, ilmu pengetahuan mekanis tidak memberikan ruang untuk manusia; di sisi lain, hermeneutik, tradisi humanistik menolak ilmu pengetahuan.
Kita membutuhkan materialisme yang lebih rasional, yang memandang permasalahan ekologis dengan imbang, dan memadukan kepedulian untuk mengatasi krisis lingkungan dengan kebutuhan untuk mepertahankan keberlanjutan dilihat dari perspektif ekonomi. Sampai pada tahap tersebut, Marx merupakan salah seorang pemikir yang meletakkan prinsip-prinsip dasar materialisme tipe tersebut, aku rasa pemikirannya masih sangat penting bagi kita.
(bersambung)
Keterangan:
1. Wawancara antara Dennis Soron dengan John Bellamy Foster. Wawancara tersebut dilakukan melalui telepon pada bulan Januari Tahun 2004, dan diterbitkan bulan Agustus, 2004, pada Aurora Online—Interviews with Leading Thinkers and Writers (wawancara dengan para pemikir dan penulis terkemuka), htttp://aurora.icaap.org. Tulisan yang tersaji ini telah mengalami sedikit modifikasi.
2. Dennis Sorron adalah peneliti Neoliberal Globalism and Its Challengers Project(globalisme neoliberal dan proyek-proyek tandingannya) di Universitas Alberta, tempat ia mengajar sebagai dosen paruh waktu pada departemen sosiologi; Monthly Review, November, 2004.