Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

Sosialisme dan Masa Depan Manusia

Jumat, 28 Januari 2011 | Januari 28, 2011 WIB Last Updated 2012-01-08T04:08:34Z
Dua dekade telah berlalu sejak runtuhnya Uni Soviet. Riuh sorak kaum borjuis seluruh dunia semakin menggema. Dalam seminar-seminar, mereka antusias berbicara tentang akhir sosialisme, komunisme, dan Marxisme. Bahkan tesis buruk Francis Fukuyama mengenai ‘akhir sejarah’ masih menjadi bahan diskusi penting di kampus-kampus untuk menghujat sosialisme.
Dua dekade dalam kehidupan manusia memang waktu yang cukup panjang. Tetapi dalam hitungan sejarah, ini tidak berarti apa-apa. Dua puluh tahun merupakan waktu yang singkat bagi sejarah. Namun, dalam waktu yang begitu singkat ini, kita telah disuguhi berbagai transformasi yang fundamental. Sepertinya keseluruhan sejarah sedang berjalan terbalik. Kapitalisme, yang dalam kurun waktu satu dekade lebih bersikap congkak, kini mulai tergoncang.
Untuk memahami keterbalikan ini tidaklah harus menjadi seorang Marxis. Karena fakta ini benar-benar nyata di depan mata kita. Bahkan tidak perlu memiliki kecerdasan lebih. Cukup dengan rajin membaca koran dan menonton televisi mengenai realitas ekonomi dan politik yang tengah terjadi. Dua puluh tahun yang lalu, borjuasi menjanjikan kepada kita sebuah dunia yang damai dan makmur – berkat keajaiban sistem pasar bebas, dan tentu saja, demokrasi.
Semua mimpi borjuasi itu hari ini telah menjadi abu. Tak satu pun perspektif dari para ahli strategi modal yang tertinggal. Kini kita diperlihatkan mimpi buruk di mana-mana. Pemulihan ekonomi yang mereka kerjakan sangat rapuh dan berpotensi runtuh dalam waktu yang singkat karena peristiwa-peristiwa tak terduga, seperti kenaikan harga minyak.
Kebobrokan kapitalisme juga bisa kita lihat dengan adanya berbagai perang, terorisme, kekacauan, dan ketidakstabilan. Kapitalisme gagal meyakinkan dunia. Konstruksi ekonomi, politik, dan tata sosial yang dibangunnya bergerak sangat anarkis. Kapitalisme memang berhasil membangun peradaban, tetapi bukan dunia yang damai dan makmur. Kapitalisme hanya berhasil membangun utopia tentang kemakmuran dan kedamaian dunia.
Menurut para teoritisi borjuis, Marx keliru ketika meramalkan mengenai konsentrasi yang tak terelakkan dari modal pada segelintir tangan. Menurut mereka, data statistik justru menunjukkan sebaliknya. Kenyataannya, dalam keseluruhan sejarah, konsentrasi modal tidak pernah sekuat sekarang.
Tuduhan “teoritik” dari para pembela kapitalisme terhadap analisis Marx terbantahkan oleh fakta, di mana, hari ini, 200 perusahaan besar terbukti mengontrol seperempat aktifitas ekonomi di seluruh dunia. Fakta ini sesuai dengan apa yang pernah diramalkan Marx dalam Manifesto Komunis, dan Lenin dalam bukunya Imperialisme.
Gagasan lain dari Marx yang dipersoalkan oleh para kritikus borjuasi adalah gagasan mengenai meningkatnya kemiskinan di bawah kapitalisme. Lagi-lagi fakta menunjukkan ketepatan analisis Marx. Menurut Marx, standar hidup selalu memiliki karakter relatif, bukan absolut. Dan secara relatif, telah terjadi peningkatan secara kolosal perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, bahkan di negara-negara terkaya di planet ini, yang dimulai dengan Amerika Serikat.
Tingkat monopolisasi telah mencapai titik ekstrem. Seorang jurnalis progresif, John Pilger, pernah mengungkap sebuah data tentang tingkat monopolisasi ini dalam skala dunia, bahwa General Motors memiliki kekayaan yang lebih besar dibanding dengan keseluruhan ekonomi Denmark, dan Ford, kekayaannya melebihi keseluruhan ekonomi Afrika Selatan. Masih banyak data-data spektakuler serupa yang diungkapkan.
Peristiwa faktual ini mengartikan bahwa kesenjangan akibat kapitalisme mengalami peningkatan pada titik sangat mengerikan. Nilai-nilai kemanusian sudah melebur dalam modal. Harkat sebuah jiwa yang bebas dan memiliki hak atas kekayaan sebuah negeri telah dihancurkan oleh kepentingan para pemilik modal. Gaji besar hanya bisa diakses oleh segelintir orang. Kelas grassroot (buruh, petani, miskin kota) dipandang sebagai komoditas yang menguntungkan. Kelas ini dipaksa untuk menerima jatah yang tak semestinya karena porsi dan kemampuannya. Kemiskinan akibat penindasan menjadi hal yang rasional. Dan, kelas yang tertindas ini diperlakukan seperti domba yang tengah digiring ke tempat pembantaian.
Mengenai perbedaan akut antara yang kaya dan yang miskin ini bukanlah argumentasi yang mengada-ada. Tiger Woods, seorang pemain golf asal Amerika, misalnya, menerima bayaran melebihi gaji seluruh karyawan Nike di Indonesia. Goldman Sachs, sebuah perusahaan investasi dengan 167 patner, mampu menciptakan 2200 juta dolar Amerika per tahun. – sebanding dengan Tanzania, sebuah negeri yang berpenghuni sekitar 25 juta jiwa.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2007, majalah terkemuka, Forbes Asia, mengeluarkan daftar orang terkaya Indonesia. Hasilnya sangat mengejutkan. Keluarga ketua Partai Golkar dan mantan Menteri Kesejahateraan Rakyat, Aburizal Bakrie, menempati ranking pertama dengan total kekayaan 5,4 milyar dolar (sekitar Rp 50 triliun). Kekayaan ini setara dengan defisit di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008 akibat melonjaknya harga minyak mentah dunia.
Ini sebuah tragedi -- krisis kemanusiaan yang serius. Kita tidak bisa menarik kesimpulan bahwa kapitalisme mampu memecahkan masalah-masalah yang tengah merundung dunia ini. Jika kita percaya bahwa kapitalisme mampu menyelesaikan persoalan-persoalan dunia hari ini seperti yang dijanjikan oleh logika borjuasi, maka kita sama seperti hendak ikut membunuh jutaan manusia dengan sebuah kebodohan yang memalukan.
Terdapat dua kendala besar yang mencegah kemajuan atas kemanusian dan peradaban: pertama, kepemilikan pribadi atas kekuatan-kekuatan produksi, dan kedua, keterbatasan negara-bangsa. Di sini kita memiliki kontradiksi sentral: di satu sisi, kekuatan-kekuatan produktif pada skala dunia telah mencapai level perkembangan yang memungkinkan manusia untuk menyelesaikan semua masalah dan maju ke tingkat budaya dan peradaban yang lebih tinggi. Di sisi lain, kita melihat dunia yang tersiksa karena kelaparan, penyakit, dan perang.
Fenomena ini merupakan gejala penyakit yang tak tersembuhkan, sebuah sistem sosio-ekonomi yang sudah kehilangan pembenarannya untuk ada, yang tidak lagi mampu memajukan kekuatan-kekuatan produktif dan budaya seperti yang terjadi di masa lalu, dan telah memasuki fase degenerasi yang sangat parah – ancaman serius bagi masa depan kemanusiaan.
Meskipun, beberapa tahun lalu, kaum borjuasi Amerika dengan berbagai cara melakukan berbagai cara dalam rangka memulihkan perekonomian, namun standar hidup tidak terlihat meningkat. Upah berada pada level terendah selama beberapa dekade. Pengangguran terus meningkat. Harga minyak naik. Pemerintah terpaksa mengumumkan pemotongan dana pensiun dan jaminan sosial.
Fisika klasik mengatakan bahwa setiap aksi akan menyebabkan sebuah reaksi yang sama dan berlawanan. Hal yang sama juga terjadi dalam politik. Setelah pesta minum usai, rasa sakit bekas mabuk pasti akan hinggap dan kepala akan terasa berat. Telah terjadi gejolak yang jelas di Amerika Serikat. Film dokumenter Michael Moore, Fahrenheit 9/11, film yang mengungkapkan tentang kejadian pra dan pasca tragedi WTC tanggal 9 September, segera  memecahkan rekorbox-office ketika diputar di seluruh bioskop-bioskop di Amerika. Filmnya tahun lalu, Capitalism: A Love Story, juga populer.
Sudah dua puluh tahun terlewati, di mana sebuah pendulum besar tiba-tiba berayun ke kanan. Tetapi dampak dari runtuhnya Uni Soviet masih tetap menyisakan ingatan. Revolusi Oktober 1917 oleh Lenin dan Trotsky adalah peristiwa besar yang tak pernah dilupakan, meski Stalin telah merusaknya. Serangan atas standar hidup dan kesejahteraan yang terjadi di mana-mana hari ini tengah mempersiapkan sebuah ayunan besar ke arah kiri, ke arah sosialisme.
Melihat kegagalan ini, kaum borjuasi, tentu, tidak tinggal diam. Berbagai sarana propaganda dibangun. Mereka giat menyerang ide-ide sosialisme, komunisme, atau Marxisme. Mereka, dengan dukungan biaya yang besar, dalam forum-forum diskusi, dalam tulisan di koran-koran, dalam tayangan di televisi-televisi, mengatakan bahwa sosialisme telah mati. Padahal yang terjadi sebaliknya. Ideologi yang mereka kini anggap mati malah nampak jelas akan menjadi satu-satunya jalan menuju pembebasan.
Banyak aktivis revolusioner meninggalkan ide-ide sosialisme dengan cara seperti tikus yang melompat dari kapal yang tenggelam. Mereka berlalu dengan senjata dan bagasi menuju barisan kontrarevolusi dan borjuasi – persis seperti tindakan sebagian aktivis kiri Indonesia 98. Mereka sekarang berada di partai-partai borjuis dengan harapan memperoleh kekayaan. Sementara, kawan-kawan seperjuangannya ditinggalkan begitu saja dengan wajah yang tak berdaya. Mereka bertingkah seperti pencuri. Mereka membantu para pemilik modal merampok kekayaan rakyat dengan cara privatisasi. Pengkhianatan ini, sama seperti pengkhianatan yang dilakukan oleh para pemimpin Sosial-Demokrat pada tahun 1914 ketika mereka mendukung Perang Dunia Pertama dan mengirim jutaan buruh ke garis depan peperangan untuk dibantai.
Runtuhnya Uni Soviet telah berlalu dalam sejarah. Hal ini perlu pengakuan obyektif bahwa apa yang tengah runtuh pada saat itu bukanlah sosialisme, seperti tuduhan dari kaum borjuis dan para intelektual oportunis guna menyudutkan sosialisme. Keruntuhan Uni Soviet samasekali bukan representasi dari keruntuhan sosialisme, tetapi karikatur sosialisme birokratis dan totaliter, yang telah merusak sendi-sendi ekonomi terencana dan nasionalisasi yang didirikan oleh Revolusi Besar Oktober 1917.
Tetapi periode setelah runtuhnya Uni Soviet telah banyak memberi data yang cukup untuk menjawab seluruh argumentasi para pembela kapitalis. Bagaimana situasi Rusia hari ini, hanya dua dekade setelah diberlakukannya ekonomi pasar bebas, apakah lebih baik dari sebelumnya? Samasekali tidak, dan sebaliknya, seribu kali lebih buruk. Ini adalah realitas dari utopia kapitalis. Dalam enam tahun pertama reformasi kapitalis, keruntuhan ekonomi terbesar dalam semua sejarah terjadi di Rusia.
Meskipun banyak yang tidak tahu, dan beberapa memang tidak ingin tahu, semua peristiwa-peristiwa ini telah diprediksi sebelumnya oleh seorang teoritikus besar Marxis, Leon Trotsky: “Jatuhnya birokrasi hari ini, jika tidak diganti dengan kekuasaan sosialis baru, akan menandai kembalinya sistem kapitalis dengan turunnya bencana ekonomi dan budaya.”
Dari analisa fakta-fakta dan data, solusi sosialis menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Sosialisme lebih relevan hari ini ketimbang sebelumnya. Sosialisme bukanlah gagasan yang utopis, seperti yang sering dituduhkan oleh para teoritikus borjuis. Mereka yang berbicara tentang utopia sosialisme samasekali tidak memahami situasi yang tengah terjadi saat ini. Kebangkrutan kapitalisme merupakan fakta sejarah. Kesenjangan, penindasan, pemiskinan, kerusakan alam, dll. akibat dari sistem kapitalis, merupakan fakta yang sangat menyedihkan. Tidak ada jalan lain untuk membebaskan semua ini kecuali dengan sosialisme, kerena jalan yang lain adalah barbarisme. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Marx, “hanya ada dua alternatif bagi kemanusiaan: Sosialisme atau Barbarisme.”
×