Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

Menyayangi Lingkungan Hidup IV

Kamis, 03 Mei 2012 | Mei 03, 2012 WIB Last Updated 2012-05-02T20:07:06Z
lingkungan
Tetapi apakah masuk akal mempertentangankan pendekatan Marxis tentang masalah-masalah ekologi dengan mengacu pada teori krisis ekonomi di bawah kapitalisme? Harus kah pengembangan analisis Marxis, yang selama ini diterima sebagai pemikiran maju, ditentukan oleh ketepatannya dalam teori tertentu krisis ekonomi? Jika dilihat dari sudut pandang tersebut maka terdapat posisi ekonomisme dan fungsionalisme yang menyusup masuk ke dalam analisis Marxis. Seluruh kepercayaan konsepsi “kontradiksi kedua” adalah: ketika kerusakan ekologi dipandang sebagai krisis ekonomi oleh kapitalisme, maka akan terjadi mekanisme reaksi-balik, yakni secara langsung melalui upaya modal untuk menurunkan tingkat biaya produksi karena melemahnya syarat-syarat produksi dan, secara tidak tidak langsung, melalui upaya-upaya gerakan-gerakan sosial untuk memaksa sistem menginternalisasi faktor-faktor eksternal, contohnya, membayar biaya sosial dan lingkungan hidup yang selama ini dianggap sebagai faktor eksternal oleh modal--kemudian mengarahkannya menjadi produksi yang lebih ramah lingkungan. Karena itu, asumsi gampang-gampangan dengan jelas mengatakan bahwa krisis ekonomi yang bermula dari kondisi ekologi memberi ruang bagi kaum kiri suatu kesempatan popular untuk membentuk aliansi antara gerakan buruh yang berdasarkan kelas dengan gerakan-gerakan sosial baru.

Tujuan ku adalah menunjukan bahwa sebenarnya tak ada mekanisme reaksi semacam disebut di atas--setidaknya bagi kapitalisme secara keseluruhan. Seperti yang dikatakan gerakan lingkungan hidup Jerman: hanya jika pohon sisa terakhir ditebang maka sistem baru lah yang akan menyadari bahwa uang tidak bisa dimakan--bukan sistim yang sebelumnya. (1) Kita tidak boleh memandang rendah kemampuan kapitalisme mengakumulasi modal pada saat terjadi kekacauan, kerusakan ekologi terparah sekali pun, untuk mengambil keuntungan dari pengrusakkan lingkungan hidup (contohnya, mengambil keuntungan dari industri penanggulangan limbah), dan terus merusak  bumi hingga tak tertolong lagi--baik bagi lingkungan hidup manusia dan bagi semua spesies makhluk hidup. Dengan kata lain, bahaya dari semakin akutnya masalah ekologis jadi semakin serius karena  sistem tidak memiliki mekanisme hukum internal (atau eksternal) untuk mendeteksi kemunculannya. Ekologi tidak punya tempat dalam siklus bisnis. (2)

Tidak ada alasan untuk percaya bahwa kerusakan lingkungan hidup menjadi serius ketika kerusakan tersebut mempengaruhi syarat-syarat produksi yang, per definisi, melibatkan elemen-elemen lingkungan alam-fisik yang secara subtansial merupakan bagian dari sistem. Hutan Amazon mungkin telah menjadi sumber utama kayu dan hasil hutan lainnya bagi modal, tetapi sampai sekarang masih dilihat sebagai faktor eksternal syarat-syarat produksi kapitalisme. 50 persen spesies yang diyakini hidup dalam hutan tropis terancam kepunahan dalam beberapa dekade ke depan, sebagian besar tidak terkait dengan proses akumulasi global, malah sebagian besarnya belum didokumentasikan, belum dikenal ilmu pengetahuan. Jika kita ambil contoh lapisan ozon, yang menipis dengan cepat sehingga sangat membahayakan kehidupan di muka bumi, tentu salah besar jika mengemas masalahnya dalam analisis syarat-syarat produksi--seakan-akan masalahnya hanyalah pra-syarat ekonomi dan bukannya pra-syarat kehidupan sebagaimana kita ketahui.

Semua pernyataan di atas menunjukkan bahwa bila kita berkubang pada syarat-syarat produksi dan “kontradiksi kedua” kapitalisme, maka kita akan cenderung meremehkan keseluruhan dimensi krisis ekologis dan bahkan meremehkan efek samping kapitalisme bagi lingkungan hidup karena kita, dengan demikian, semata-mata sekadar menyederhanakan segala permasalahan ke dalam teori krisis ekonomi tertentu. Hal tersebut memberikan peluang bagi kapitalisme untuk mengacuhkan masalah-masalah lingkungan hidup--walau faktanya kapitalisme menggunakan keseluruhan biosfir sebagai tempat sampah raksasa dan kapitalisme juga mampu, hingga tahap tertentu, berfungsi dari satu eko-sistem ke eko-sistem lainnya, beroperasi, seperti kata Marx, di bawah prinsip “kejar lah daku si maha kaya”--atau menganggap bahwa bumi masih merupakan “hadiah gratis bagi modal”. Dan, dengan demikian, juga tidak memungkinkan terjadinya perubahan mendasar, karena kapitalisme dalam berbagai cara adalah sistem bebas hambatan.

Anda bisa melihat penjelasan lebih lanjut dari apa yang akan aku katakan dengan  mengacu pada Climate Action Report, 2002 (laporan kondisi iklim, 2002), pemerintah Bush tentang pemasan global, yang diangkat oleh Enviromental Protection Agency/EPA (lembaga perlindungan lingkungan hidup). EPA menyadari ancaman pemanasan global bagi kehidupan dan bagi syarat kehidupan, khususnya saat mereka menekankan bahwa di Amerika Serikat kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh pemanasan global dapat terlihat dengan melelehnya salju di pegunungan, dan semacamnya. Menurut mereka, bila syarat-syarat produksi pertanian dipertimbangkan, maka pemanasan global malah akan meningkatkan keseluruhan produktifitas pertanian. Kurang jelasnya hubungan antara kerusakan lingkungan hidup dengan kerusakan terhadap syarat-syarat ekonomis produksi malah digunakan (melalui standar analisa biaya-keuntungan) untuk membenarkan kebijakan beradaptasi dengan pemanasan global, ketimbang mengambil tindakan untuk mengurangi tingkat pemanasan global--karena tentu saja tindakan tersebut akan menelan banyak biaya produksi.

Hal itu bisa terjadi  karena tidak adanya mekanisme balasan yang, dengan serta merta, bisa membebankan pengrusakan lingkungan kepada kapitalisme (dalam bentuk peningkatan biaya modal itu sendiri)--melainkan, pengrusakan lingkungan hidup hanya akan menjadi tanggungan alam dan masyarakat, bukannya ditanggung kapitalisme. Dan jika gerakan-gerakan sosial berusaha menanggulanginya dengan “meregulasi” kapitalisme, belum tentu regulasi tersebut akan menekan batas keuntungan dari segi pembiayaan sehingga bisa memaksa modal mereformasi diri--pada kenyataannya, malah menyediakan cara baru dalam mengambil keuntungan dari pengrusakan lingkungan hidup. Oleh sebab itu sangat meragukan bila krisis ekonomi, yang tidak terhindarkan dimasa datang, hanya dipicu oleh masalah-masalah tersebut.

Aku meyakini bahwa dalam teori ekologi terdapat masalah-masalah empiris yang menstimulasi timbulnya krisis ekonomi. Logikanya benar bahwa, dengan menaikkan harga bahan-bahan mentah, maka akan meningkatkan biaya yang berhubungan dengan kelangkaan sumber daya alam yang, kemudian, akan menurunkan batas keuntungan dan, pada akhirnya, memicu terjadinya krisis ekonomi. Faktor tersebut berperan dalam krisis akumulasi modal pada abad kesembilan belas, seperti yang terlihat pada teori klasik mengenai kecendurangan menurunnya tingkat keuntungan. Penting bagi modal untuk menjaga agar biaya yang berhubungan dengan kelangkaan sumber daya alam tetap rendah. Walaupun demikian, hingga sekarang tidak ada bukti bahwa biaya-biaya di bidang tersebut dapat menjadi penghalang yang berarti bagi sistem secara keseluruhan untuk berakumulasi. Seperti yang diperlihatkan Marx pada zamannya: lesunya pertambangan-pertambangan batubara pada akhirnya akan meningkatkan biaya batubara, tapi sementara itu produksi sering kali meningkat akibatnya berkurangnya biaya energi. (3)


Pengurangan polusi juga tak memberikan beban (yang tak bisa ditanggung) pada modal

Berdasarkan penyelidikan eksekutif bisnis, pemerintah memperkirakan bahwa bahwa dunia usaha mulai mempertimbangkan peningkatan alokasi dana bagi lingkungan hidup, tapi bukti-bukti tersebut tidak lah bisa dijadikan dasar yang cukup meyakinkan untuk mengatakan bahwa, secara rata-rata, biaya lingkungan hidup akan menekan keuntungan--seperti halnya, tak perlu dipandang serius adanya keluhan yang tak henti-hentinya dari badan-badan eksekutif tentang upah buruh yang katanya menekan keuntungan. Sungguh, aku tetap bersiteguh--tapi tentu saja aku tidak bisa membeberkan panjang lebar argumen ku karena masalah waktu--bahwa kecenderungan utama krisis ekonomi kapitalis adalah (masih) karena adanya peningkatan tingkat penghisapan yang, karenanya, memperbesar (batas) keuntungan dan menyebabkan ketidakmampuan merealisasikan nilai tambah--apa yang oleh O’Connor disebut sebagai kontradiksi pertama.

Kesulitan lebih lanjut untuk memahami konsepsi “kontradiksi kedua” kapitalisme--sebagai cara untuk mendefinisikan Marxisme ekologis--adalah karena konsep tersebut memaksakan perspektif  ekonomi dualistik pada kita, dan sekali terperangkap dalam pemahaman tersebut kita akan terjerat. Ada dua kontradiksi kapitalisme (keduanya menyebabkan kecenderungan krisis ekonomi), yang satu internal, dan pada dasarnya muncul dari perjuangan kelas, dan yang lainnya eksternal, dan pada dasarnya muncul dari melemahnya syarat-syarat produksi. Kontradiksi-kontradiksi tersebut akhirnya melahirkan dua bentuk gerakan sosial--gerakan tradisional berdasarkan kelas, yang lahir dari kontradiksi pertama, dan gerakan sosial baru, yang timbul sebagai hasil dari “kontradiksi kedua.” Tentu saja ini memperjelas potensi aliansi kedua tipe gerakan tersebut berdasarkan gabungan kekuatan kedua kontradiksi tersebut di atas. Tetapi, dengan semakin dominannya “kontradiksi kedua” dan, konsekuensinya, gerakan-gerakan sosial baru menjadi lebih vital, maka gerakan-gerakan berdasarkan kelas cenderung dianggap tak begitu penting perannya dalam analisis dan strateginya. Marxisme Ekologis adalah pendekatan yang memandang perjuangan berdasarkan kelas memainkan peranan kedua. Dengan begitu, bisa dikatakan, gerakan telah terpecah-belah (menambah lapisan teoritis pada divisi yang sudah ada), dan semakin memudarkan harapan. Sebagaimana Kovel memaparkan pandangannya dalam The Enemy of Nature (musuh alam): “Tidak ada agen yang istimewa dalam transformasi eko-sosialis”--pemberontakan kelas tidak selalu harus menjadi kuncinya (hal. 218). (4)

Tujuanku bukan untuk membantah pentingnya teori “kontradiksi kedua”, ataupun menolak fakta bahwa kontradiksi tersebut telah memperjelas aspek-aspek penting problematika ekologi di bawah kapitalisme. Memang ada krisis-krisis lokal tertentu yang dapat dilihat dengan cara tersebut. Aku juga tidak hendak membantah besarnya kontribusi James O’Connor bagi sosialisme ekologis. Namun, tujuan ku adalah menggugat adanya kemungkinan membangun analisis Marsis terhadap permasalahan ekologis yang terlalu ekonomistik, terlalu sempit, terlalu fungsionalis, dan terlalu tunduk terhadap dualisme ekonomi--serta, tentu saja, terlalu tidak-dialektik--dalam mengupas keseluruhan kontradiksi ekologis yang dihasilkan oleh kapitalisme.

Sehingga sangat masuk akal bagi kita untuk kembali pada Marx. Jika kita harus mencari contoh (pada abad ke-19) tentang melemahnya syarat-syarat produksi¾seperti yang dinyatakan oleh teori “kontradiksi kedua” nya O’Connor. Tidak ada contoh sebaik krisis pertanian yang dipicu oleh hilangnya unsur hara tanah. Krisis ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Eropa sejak tahun 1840-an, dan awalnya diatasi secara acak dengan cara melakukan serangan-serangan mendadak dalam jang-ajang pertempuran di  Eropa, lalu dengan membangun terowongan-terowongan untuk tempat mengubur korban-korban pertempuran sebagai pupuk, dan dengan meng-impor guano (sejenis pupuk dari kotoran burung laut) secara besar-besaran dari Peru; yang kemudian diikuti dengan pengembangan pupuk sintetis pertama--yang bahkan pada zaman Marx sudah digunakan--dan pada akhirnya mengarah pada pengembangan pupuk berbahan dasar nitrogen pada masa perang dunia ke-2. 

Sangat mungkin bagi Marx untuk memberikan argumen bahwa peningkatan biaya ekologi yang menghalangi akumulasi dipicu oleh krisis pertanahan tersebut. Namun, sebaliknya, Marx malah menekankan tentang jurang metabolik, yakni permasalahan ekologi struktural yang lebih luas yang dicerminkan oleh krisis tanah tersebut dan, dalam istilah Marx, kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi oleh kapitalisme--walaupun kemajuan teknologi, seperti penemuan pupuk sintetis, bisa memberikan jalan keluar sementara.

Marx tak sekadar memusatkan perhatian pada cara bagaimana melihat kontribusi permasalahan ekologi terhadap krisis ekonomi, tapi juga melihat pengaruh langsungnya pada penggulingan kapitalisme secara revolusioner, yang menurutnya akan segera terjadi. (5) Dalam bidang itulah kepedulian utama Marx--yang terus meningkat--dalam mempertanyakan tentang keberlanjutan, dan aturan rasional metabolisme masyarakat dengan alamnya (melalui tenga kerja manusia). Baginya, masalah pokok dalam membangun masyarakat komunis memerlukan terciptanya hubungan baru antara manusia dengan alamnya.

Tentu saja, itu karena Marx dan Engels menekankan permasalahannya pada upaya untuk mengakhiri hubungan antagonistik antara kota dengan desa, sebagai kunci untuk mengatasi keterasingan manusia dari alamnya sehingga bisa merubah cara pandang terhadap permasalahan ekologis--tidak sempit, seperti dalam masuarakat borjuis; atau seperti dalam gerakan proletar yang hanya mengejar kebutuhan mendesak saja. Walaupun Marx dan Engels sangat berhati-hati agar tidak terjebak ke dalam sosialis utopi, yang menawarkan masyarakat mendatang melampui syarat-syarat gerakan pada saat itu, maka mereka menekankan--seperti halnya Fourier dan beberapa kaum sosialis utopia lainnya--pentingnya kebutuhan agar gerakan memperhatikan keterasingan alam agar dapat menciptakan masyarakat yang berkelanjutan.


Keterangan:

1. Lihat Elmar Altvater, Ecological and Economic Modalities of Time and Space, dalam Martin O'Connor, ed., Is Sustainable Capitalism Possible? (New York: Guilford Press, 1994), halaman 88-89.

2. Dalam kaitan ini, teori yang paling mendekati teori siklus adalah teori Karl Polanyi, yakni teori “gerakan ganda”, yang mengacu pada siklus politik regulasi-deregulasi yang terkait dengan upaya kapitalisme untuk mengatur “komoditi-komoditi fiksi” (syarat-syarat produksi). Gerakan ganda, bagaimanapun juga, tak punya peran dala teori “kontradiksi kedua”.

3. Karl Marx, Theories of Surplus Value, Part 3 (Moscow: Progress Publishers, 1971), halaman 368. Sebagaimana dikutip dalam majalah The Economist, “Sekarang bertambah terbukti adanya cadangan minyak ketimbang 3 dekade yang lalu… Ketakutan akan kelangkaan bahan bakar dengan segera mendorong investasi untuk mencari cara memproduksi minyak dengan lebih baik, dan dengan mesin yang lebih efisien”, The Economist, Working Miracles: Can Technology Save the Planet?, July 6-12, halaman 13.

4. Untuk mengamati  kritik terhadap tesis kontradiksi kedua, yang serupa dengan yang ditawarkan di sini, Paul Burkett, Fusing Red and Green, Monthly Review 50 (February 1999), halaman 47-56, dan Marx and Nature (New York: St. Martin's Press, 1999), halaman 193-97.

5. Adalah salah mengatakan bahwa Marx tak pernah memikirkan biaya ekologi sebagai suatu sumber kemungkinan krisis ekonomi di bawah kapitalisme. Contohnya, pandangannya bahwa kecenderungan jatuhnya tingkat keuntungan karena naiknya biaya bahan mentah merupakan factor potensial dalam krisis umum keuntungan. Michael Lebowitz, The General and Specific in Marx's Theory of Crisis, Studies in Political Economy, no. 7 (Winter 1982), halaman 9-13.

×