Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

Garis Massa: Asas Perjuangan Rakyat

Kamis, 03 Mei 2012 | Mei 03, 2012 WIB Last Updated 2012-05-03T04:03:05Z
Ditulis Oleh: Hidayat Purnama
Iskandar yang Agung menaklukkan India,
Apakah dia sendirian?
Yulius Caesar menggempur Gauls,
Tidak adakah seorang tukang masak untuk serdadunya?
—Bertolt Brecht, A Worker Reads History (Seorang Buruh Membaca Sejarah)

Brecht menulis renungan puitis ini sebagai kritik atas sejarah yang dicatat tanpa peran massa.
Pertanyaan serupa bisa diajukan pada sejarah kita: apakah Borobudur hanya dibangun oleh seorang raja negri Medang pada zamannya? Tentu saja pembangunannya memerlukan banyak pekerja, entah sebagai budak atau pekerja seni, mulai dari arsitek, tukang, pengangkut batu-batu, dan lain-lain. Apakah Revolusi Agustus 1945 hanya dilancarkan oleh dua sosok pemimpin nasional, Soekarno-Hatta atau sang pemimpin gerilyawan Jenderal Soedirman? Tidak, ada jutaan pejuang dari kalangan pemuda, buruh dan tani dengan para pemimpinnya dalam lautan perlawanan bersenjata terhadap neo-kolonialisme (penjajahan baru) dan imperialisme (kekuasaan kapitalis global), ada jutaan laskar-laskar bersenjata, bagian dapur, bagian pengobatan, kurir, dan sebagainya, dengan satu tujuan: Indonesia Merdeka!

Oleh karena itu, sejarah sesungguhnya berjalan dari peran penting massa, dulu, kini dan esok. Saya sudah menulis tentang rakyat dan pemimpin, sekarang saya hanya lebih menjelaskan makna dari garis massa sebagai asas perjuangan rakyat.

Untuk lebih mempertajam pengertian tentang massa, pertanyaan perlu diajukan: siapa gerangan massa itu? Seperti tulisan sebelumnya, massa dan “rakyat” mempunyai pengertian yang sama, yakni sejumlah besar orang dari penduduk. Jika bertolak dari pandangan tanpa kelas-kelas sosial, maka bisa dikatakan bahwa massa adalah jumlah keseluruhan penduduk. Namun, kelas-kelas ini benar-benar ada dalam kenyataan sosial itu sendiri (secara obyektif dalam penduduk itu sendiri). Sebaliknya, pandangan idealis beranggapan bahwa kelas-kelas sosial itu tidak ada atau kalau pun ada, ia tidak penting. Pikiran ini sama sekali membutakan penglihatan terhadap kenyataan sosial, yang secara mata telanjang saja kelas-kelas itu terdapat dalam pendidikan, transportasi dan lain-lain. Contoh, tiket kereta api itu terdiri dari kelas ekonomi, bisnis dan eksekutif dengan tarif yang berbeda-beda. Jadi jelaslah kekeliruan peniadaan kelas. Kekeliruan kedua tentang arti penting kelas, misal, meskipun harga-harga tiket termahal dari kelas eksekutif mungkin terjangkau dalam kesempatan tertentu oleh kantong buruh, tapi seorang buruh tidak mungkin membelinya sebagai kebiasaan transportasi yang digunakan untuk perjalanannya, belum lagi menyangkut gaya hidup. Jadi, kelas sosial itu sangat penting keberadaannya, karena memisah-misah masyarakat dalam kondisi yang berbeda-beda, dari segi kehidupan material dan mentalitas, sehingga ada kaya-melarat, pintar-bodoh, dan perbedaan ini berlangsung tanpa belas kasihan, dengan keras dan kejam. Pendek kata, keberadaan kelas itu obyektif adanya sehingga secara mendasar juga menimbulkan perjuangan kelas sebagai akibat dari pertentangan kepentingan dalam kehidupan sosial secara umum, bukan hanya karena perbedaan permukaan.

Mengapa kelas-kelas ini terwujud dalam masyarakat? Dari tulisan saya tentang bangunan (struktur) sosial, kelas-kelas sosial itu muncul dengan didasari bentuk produksi yang menentukan hubungan orang-orang dengan sarana-sarana produksi dan pembagian kerja. Sejalan dengan sejarah masyarakat secara umum, kelas-kelas sosial sosial juga berubah bersamaan dengan perubahan bentuk produksi: pembagian pemilikan dan pembagian kerja. Sebagai contoh, pada masa feodalisme, ada dua kelas yang saling bertentangan kepentingannya: kelas tuan tanah dan hamba sahaya atau buruh tani. Sementara kelas-kelas lainnya bisa saja berlapis-lapis, namun jumlahnya tentu saja tidak sebanyak hamba sahaya itu (seperti bandit, perampok, bujang, pedagang, dan lain-lain). Lapisan-lapisan kelas ini tidak bisa lepas dari dua kepentingan utama yang bertentangan itu: antara kepentingan buruh tani yang menginginkan tanah garapan dan kecukupan pangan, dengan tuan tanah yang tetap mempertahankan pemilikannya atas tanah seluas-luasnya dan segala harta kekayaannya.

Dengan demikian, dalam pembagian pemilikan dan pembagian kerja itu, ada dua kelas: pertama rakyat (massa) sebagai mayoritas penduduk yang bekerja, dan kedua penguasa, yakni sekelompok kecil orang dari keseluruhan penduduk yang menentukan dan menguasai kehidupan massa. Inilah dua kelas yang berbeda kepentingan dan saling bermusuhan, entah secara tersembunyi dan diam-diam atau secara terang-terangan. Dalam hal ini, massa adalah kelas-kelas sosial yang bersikap maju, ingin berubah dan menentukan perkembangan masyarakat, sementara musuhnya adalah kelas penguasa yang mempunyai kepentingan untuk mempertahankan kondisi yang menguntungkannya dan menentang setiap perubahan sosial yang mengancam kepentingannya. Massa berkepentingan untuk mengubah kehidupannya yang tertindas, sementara penguasa berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya. Kehidupan dan sikap dari lapisan-lapisan kelas di luar kedua kelas ini tentu saja juga berada dalam dua kepentingan dasar yang bertentangan. Lapisan-lapisan ini bisa saja berpihak pada massa, atau bisa juga pada kelompok kecil penguasa sehingga secara umum tetap ada dua kepentingan sosial yang bertentangan. Jadi, perjuangan kelas utama inilah yang menentukan perkembangan sejarah masyarakat secara nyata.

Perjuangan meraih kesejahteraan dan keadilan, mungkin menjadi ajaran dasar dan pemahaman yang memandu emansipasi (pembebasan) masyarakat secara umum, termasuk kelas penindas. Ini tampak jelas dalam pelbagai isi resmi aturan dan perundang-undangan ataupun filsafat pemikiran dalam kondisi kekuasaan kelas penindas. Pandangan ini benar dari segi kemanusiaan secara umum, namun niscaya tidak berguna dan lebih buruk dalam kenyataan sosial dan praktek. Bilamana kelas-kelas penguasa-penindas memang tidak menghendaki pembebasan apapun, terutama sangat menentang emansipasi kelas tertindas, maka revolusi sosial tak akan bisa dihindari dan pasti diperjuangkan oleh kelas tertindas sendiri, yakni massa pekerja.

Jadi, di dalam dua kepentingan dan sejarah masyarakat, ada massa dan musuhnya, yakni penguasa, atau sebaliknya, ada kelompok kecil penguasa dan musuhnya, yakni massa. Dalam kondisi ketertindasannya dari pelestarian kekuasaan oleh kelas penguasa, massa memang kurang menyadari akan kepentingan dan kekuataannya dalam sejarah masyarakat dan menerima penindasannya begitu saja. Penyebabnya, karena kekuasaan luar biasa yang menekan dan menghapuskan segala bentuk perlawanan massa dan pemikiran-pemikiran kelas penguasa yang mempengaruhi pandangan dunia massa untuk menerima dan menyetujui penindasannya. Jadi, bilamana massa menjadi sadar, maka kondisi masyarakat niscaya akan berubah. Meskipun kondisi umum massa tak menyadari peran sejarah dan kekuatannya, namun sejarah membuktikan bahwa pasti ada pikiran revolusioner (yang menginginkan perubahan mendasar) dari sekelompok kecil massa dan secara strategis tidak mungkin perubahan mendasar terwujud tanpa peran kekuataan yang sangat penting dari massa. Massa adalah kekuataan yang akan mewujudkan revolusi, karena kekuataannya dalam jumlah (kuantitas) dan peran penggerak kehidupan dalam masyarakat (kualitas), sebab massa itulah yang bekerja, memproduksi barang-barang dan menyediakan jasa-jasa di dalam keseluruhan penduduk.


A. Peran  Kepemimpinan

Garis massa adalah suatu metode kepemimpinan. Metode (cara atau langkah) ini berdasar pada beberapa hal, pertama, massa memerlukan kepemimpinan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini tentu saja terdapat perjuangan kelas menuju revolusi sosial (pembebasan dari penindasan struktural). Dengan demikian, garis massa hanya bisa dipahami sebagai metode dasar dalam memimpin massa untuk menunaikan tugas sejarah tersebut. Kedua, garis massa memuat perbedaan antara massa dan orang-orang yang memimpin massa, antara rakyat dan pemimpin. Ketiga, garis massa menunjukkan bahwa ada metode-metode yang bisa memimpin massa dan metode ini bisa dikaji dan dipelajari.

Oleh karena itu, suatu metode kepemimpinan adalah keniscayaan karena kepemimpinan itu sendiri niscaya diperlukan. Sejarah masyarakat membuktikan bahwa tidak ada gerakan dan perubahan sosial yang berjalan tanpa kepemimpinan, dalam arti organisasi kepemimpinan. Sebagai contoh, ada partai Hamas dalam perjuangan rakyat Palestina, Chaves dalam perjuangan rakyat di Venezuela, untuk yang lebih silam, ada Lenin dan partai Bolshevik dalam revolusi Oktober 1917 di Rusia, dan lain-lain. Tidak ada massa spontan yang bebas tanpa mengorganisasikan perjuangannya dalam sejarah masyarakat, sebab kalau demikian bentuk penindasan akan hancur dengan sendirinya. Jadi, massa niscaya melahirkan para pemimpinnya, yakni sekelompok massa yang membentuk dirinya sebagai garda depan yang lahir dari perjuangan massa untuk maju dalam revolusi sosial. Garis massa memerlukan suatu organisasi kepemimpinan sebagai wadah politik perjuangannya.


B. Tiga  Langkah dalam Metode Garis Massa

Inti sari metode garis massa adalah “dari massa, untuk massa” yang mencakup tiga langkah sebagai berikut.

1. Menghimpun Pemikiran atau Ide-ide dari Massa

Menghimpun ide-ide dari massa adalah langkah awal yang sangat penting. Dalam hal ini, ada pikiran-pikiran yang sangat bernilai di antara massa yang harus dipelajari. Pengakuan atas arti penting ide-ide massa ini bertolak dari kepercayaan pada massa, sebab dalam sejarah, massa adalah penggerak sejarah. Pada intinya, metode garis massa harus percaya bahwa massa benar-benar mempunyai banyak pikiran penting dan berharga, yang mungkin tidak dimiliki oleh kaum revolusioner.

Kepercayaan seperti ini tentu saja bukan keyakinan buta, sebab ia berdasar pada pengalaman nyata yang menunjukkan fakta-fakta bagi penerapan garis massa. Dari sudut pandang teori, massa bisa dipandang sudah mempunyai pengetahuan yang sangat bernilai sebab sekali lagi, massa terlibat dalam sebagian besar aktivitas manusia yang menghasilkan pengetahuan itu sendiri. Sebagai contoh, penulis pernah mendengar pengalaman kawan dari Nusa Tenggara Timur bahwa para pelaut Bugis pernah menyeberangkannya dari pulau Sumbawa ke Flores ketika badai laut menghantam selat Flores dan tak satu pun kapal ferry berani melaut. Namun, apakah gerangan aktivitas massa ini? Dari mana pikiran-pikiran yang tepat berasal? Bukan dari langit atau lamunan pikiran, tapi dari praktek hidup, dari kehidupan itu sendiri. Pikiran-pikiran yang tepat itu berasal dari kegiatan sosial: perjuangan untuk bertahan hidup, perjuangan kelas dan pengalaman ilmiah. Di dalam kegiatan sosial ini, manusia terlibat dalam berbagai perjuangan dan mendapatkan pengalaman yang sangat kaya, entah dari keberhasilan dan kegagalan.

Massa adalah ruang hidup yang melimpah dari pikiran, pengetahuan dan kebijaksanaan yang benar, terutama dalam kaitannya dengan kehidupan keseharian, karena sejumlah besar kegiatan sosial dilakukan massa. Secara umum keadaan ini benar dan juga benar dalam perjuangan revolusioner khususnya.

Meskipun demikian, kita mendapatkan bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan massa terserak-serak dan tidak beraturan. Demikian pula, meskipun ada banyak pikiran yang benar di antara massa, termasuk beberapa hal yang sangat penting bagi kemajuan perjuangan revolusioner, namun juga ada pikiran-pikiran yang keliru di antara massa, termasuk harapan dan angan-angan yang keliru sehingga menghambat dan bahkan menyebabkan kekalahan dalam perjuangan massa.

Mengapa pengetahuan massa sangat berserakan, terpencar-pencar dan tak beraturan? Pertama, alasan dikemukakan Engels (seorang sosok sosialis-revolusioner Jerman, sahabat karib Marx) dalam mencatat kondisi mentalitas buruh industri Inggris:

“keberadaan buruh sebagai kasta paria (kaum buangan) Inggris… adalah orang-orang miskin yang sebenarnya terhormat dengan segala kekasaran dan keruntuhan moralnya. Mereka memang tidak terdidik, karena itu tidak mempunyai pandangan atau pikiran publik (opini). Namun, kemanusiaan Inggris akan diselamatkan oleh gerakan kelas pekerja ini. Sementara itu, alam pikir dari kaum terdidik Inggris tertutup pada semua kemajuan dan hanya bergerak untuk menindas kelas pekerja. Oleh karena itu, kesusasteraan dari budaya kolot (kaum terdidik ini) hanya berkembang untuk kepentingan mereka sendiri, dengan langgam yang berbelit-belit, membosankan dan mandul.”

Alasan kedua, karena buruh terikat kerja selama berjam-jam lamanya, waktu senggang atau saat libur menjadi sangat penting untuk memulihkan jiwa dan raga untuk kerja pada hari berikutnya. Sebaliknya, setiap upaya dilakukan borjuasi untuk melatih dan mendidik diri yang diperlukan dalam penelitian ilmiah tentang masyarakat di luar kelas pekerja yang tertindas. Lebih dari itu, seperti pada zaman feodal, borjuasi dalam masyarakat industri maju secara sengaja menyusun serangan ideologis dalam berbagai bentuk dan sarana (TV, koran, tabloid, musik, radio, dll.) yang terus menerus ditanamkan di benak massa dan tentu saja mempengaruhi pemikirannya. Oleh karena itu, kerja keilmuwan revolusioner sebenarnya hanya bisa dilakukan para ilmuwan revolusioner (borjuis kecil atau borjuis radikal, dalam arti berpikir sampai pada kenyataan dasar, ibarat memahami pohon sampai keakar-akarnya, atau siapapun yang mempunyai waktu yang sangat luas untuk belajar).

Penulis melihat bahwa dalam hal ini, ada kelas dalam kenyataan sosial (obyektif) yang bersifat revolusioner, yakni kelas tertindas dalam semua bentuk produksi, karena kelas tertindaslah yang paling berkeinginan dan bercita-cita perubahan dari kondisi ketertindasannya. Sering kali terdengar harapan dari orang tua kelas pekerja yang bekerja keras demi perubahan anak-anaknya agar keturunannya tidak menjadi seperti diri mereka. Namun, dalam sejarah masyarakat selalu ada kaum atau kelompok atau sosok pribadi revolusioner (subyektif) yang tentu saja berpihak dalam pikiran dan tindakan pada kelas revolusioner. Karl Marx, Frederich Engels ,Che Guevara, Mao Tse Tung, dan lain-lain, bukanlah berasal dari kelas pekerja, tapi ilmuwan borjuis dan borjuis kecil, namun mereka adalah sosok revolusioner yang menyadari bahwa “pembebasan” sosial dari massa tertindas harus melalui jalan revolusi sosial, yakni perubahan mendasar dari ketertindasan. Namun, dasar perubahan tetap terletak pada kehidupan material dari massa sebagai kelas pekerja yang harus dipahami secara ilmiah (bukan sekedar pengetahuan, tapi menemukan hukum-hukum yang niscaya dalam kondisi sosial dan alam). Lebih dari itu, kerja pengetahuan ilmiah ini hanya bisa diterapkan dalam kepemimpinan terorganisir dari wakil-wakil kelas tertindas yang sejati (revolusioner), yakni suatu organisasi politik dari kelas tertindas.

Keniscayaan suatu organisasi kepemimpinan politik ini tak bisa diingkari mengingat sejarah masyarakat (dulu dan kini) membuktikan bahwa setiap perjuangan rakyat pasti selalu disertai oleh suatu kepemimpinan organisasi perjuangan, seperti contohnya sudah disebutkan sebelumnya. Barang siapa mengingkari keniscayaan ini, dia tidak menerima ilmu sejarah perjuangan rakyat atau mungkin masih belum memahami tuntutan massa yang sebenarnya. Selain itu, pandangan yang negatif terhadap politik sebagai tindakan kotor dan tak bermoral, merupakan pandangan yang keliru tentang kondisi sosial yang sebenarnya, sebab hidup seseorang tidak bisa dilepaskan politik, misalnya perundangan-undangan yang mengatur hubungannya dengan orang lain, lalu lintas, sampai soal identitas sosialnya.

Keniscayaan organisasi politik ini juga bertolak dari kondisi bahwa massa tentu saja terdiri dari kelompok yang sangat beragam, bahkan kehidupan ekonomi yang berlapis-lapis, perbedaan dari segi pendidikan dan pengalaman yang menentukan tempat mereka diterima bekerja di dalam masyarakat. Seorang tamatan SD/SMP tidaklah mungkin bekerja di sebuah Bank, kecuali mungkin hanya menjadi tukang sapu. Dengan demikian, massa secara umum bisa digolongkan dalam pikiran, sikap dan tindakan: maju, sedang dan terbelakang. Massa yang maju ini adalah lapisan calon pemimpin revolusioner yang memandu kawan-kawannya mencapai pembebasan bersama.

Alhasil, kerja menghimpun pikiran-pikiran massa berarti mencakup pikiran yang berguna dan berbahaya, yang benar dan keliru, yang sesuai dan tak sesuai, yang memadai dan tak memadai.

2. Memusatkan dan Mengolah Pikiran-Pikiran yang Terhimpun

Tahap kedua dalam metode garis massa adalah memusatkan dan mengolah pikiran-pikiran massa dalam suatu garis yang benar dan mampu memajukan perjuangan revolusioner. Langkahnya adalah memilah atau menyaring pikiran-pikiran massa mana yang benar dan mana yang salah dengan dipandu materialisme historis dan analisis ekonomi politik secara umum. Namun bagaimana? Tanpa demokrasi (dalam arti dari massa, untuk massa, atau langkah yang berdasar pada keterbukaan terhadap pikiran massa), tidak mungkin tercapai ringkasan pengalaman yang benar. Tanpa pikiran-pikiran yang berasal dari massa, maka garis, prinsip, kebijakan atau metode mustahil dirumuskan, seperti halnya sebuah pabrik tidak mungkin menciptakan barang tanpa himpunan dari bahan-bahan dasar. Selanjutnya, pabrik tidak akan bisa menghasilkan barang/produk kecuali bahan-bahan dasarnya sudah memenuhi syarat dari segi jumlah dan mutu.

Bagaimana mengolah pikiran-pikiran massa? Bagaimana kepemimpinan revolusioner menelusuri sejumlah besar pandangan yang saling bertentangan dari massa, bagaimana menyisihkan kekeliruan, ketak-nyambungan, lalu memilih pikiran dan kebijaksanaan yang benar dari massa dalam suatu garis yang mampu memajukan perjuangan revolusioner? Tentu saja, langkahnya adalah menerapkan warisan ilmu sosial revolusioner dari kaum revolusioner yang terbukti dalam sejarah masyarakat secara umum di dunia ini, yakni materialisme historis (ilmu sejarah masyarakat) dan inti pikirannya dalam materialisme dialektik, organisasi revolusioner serta ilmu perjuangan politik massa.

Namun bagaimana? Apakah itu artinya menggantikan pikiran massa dengan pikiran dari warisan kaum revolusioner? Kaum revolusioner dalam sejarah tidak pernah berpikiran untuk diri atau kelompoknya sendiri dengan tipu muslihat dan kelicikannya. Sejarah membuktikan tentang kesatuan mereka dengan massa, dalam kata-kata dan tindakan, kecuali tulisan-tulisan yang disebarkan untuk menafikan atau mencemooh peran kaum revolusioner ini.

Garis massa harus berdasar pada pikiran-pikiran yang benar dari massa dan harus dipelajari oleh kaum revolusioner. Pikiran-pikiran yang benar ini dihimpun dari semua pikiran massa dengan bantuan atau panduan ilmu revolusioner untuk aksi massa yang sejati. Dalam menghimpun pikiran massa ini, semua faktor obyektif (material dialektik), harus diketahui, yaitu kekuatan dari berbagai kelas di masyarakat, berbagai bentuk perjungan yang bisa dilakukan, ruang perjuangan apa yang bisa menguatkan massa, dsb. Secara garis besar, panduan untuk memilah pikiran yang benar dari yang keliru, adalah antara lain: (1) kepentingan (cita-cita) massa dalam jangka panjang, harus menjadi sandaran dari kepentingan jangka pendek; (2) kepentingan gerakan secara umum harus menjadi dasar dari kepentingan-kepentingan khusus; (3) massa harus merebut kedaulatannya dengan tekanan yang keras dan metode yang tepat, sebab kenyataan sosial sebagai perjuangan kelas berlangsung dengan keras, dan kelas penguasa mustahil menyerahkan kekuasaannya secara sukarela, bahkan pasti mempertahankan kekuasaannya; (4) langkah politik perjuangan harus bisa menerima kompromi, menjalankan taktik tertentu dan membentuk persekutuan dengan kelompok-kelompok yang rapuh untuk melemahkan musuh dan memajukan perjuangan revolusioner (saya menyebut hal ini sebagai pragmatisme dialektik, artinya alat bisa berguna sesuai fungsinya, tapi penggunaannya tetap tergantung pada penggunanya untuk tujuan-tujuan pengguna, contohnya obeng berfungsi untuk memasang dan membuka mur, tapi obeng juga bisa digunakan untuk melubangi kaleng makanan); (5) kesatuan dan penyatuan dari massa yang maju untuk memimpin kawan-kawannya atau massa yang berpikiran sedang dan terbelakang dalam perjuangan revolusioner.

Demikianlah sebagian unsur penting dalam mengolah dan menerapkan garis massa dan perlu dicatat bahwa masih banyak unsur lainnya yang bisa digali dari ilmu revolusioner dan perjuangan revolusioner massa sendiri sesuai dengan kondisi nyata/konkrit dalam sejarah masyarakat. Intinya, setiap pengolahan dari metode revolusioner adalah analisa konkrit terhadap kondisi konkrit.

3. Mengembalikan Pikiran-Pikiran yang sudah Diolah kepada Massa

Langkah ketiga dari garis massa adalah mengembalikan pikiran-pikiran penting dan benar yang sudah diolah secara teratur itu kepada massa sebagai garis politik, kebijakan dan metode kerja, menyebarkannya secara luas dan terus menerus serta memimpin dan memandu perjuangan dengan berdasar pada pikiran-pikiran tersebut. Pikiran-pikiran penting dan benar ini tidak akan berguna dan hanya menggantung di benak jika massa tidak mengetahuinya sebagai jalan untuk mengubah nasib dan masa depannya. Pikiran hanyalah sekedar pikiran, namun pikiran-pikiran revolusioner yang dipahami massa akan menjadi kekuatan nyata dalam aksi massa.
Tujuan penting lainnya dari langkah ini adalah bahwa massa harus mengujinya, melihatnya secara nyata apakah pikiran tersebut memajukan perjuangan revolusioner dan sejauh mana kemajuannya. Jika kesalahan terjadi dalam proses aksi massa, atau karena alasan tertentu tidak menghasilkan kemajuan apapun, atau sekarang sudah tidak menyebabkan kemajuan seperti halnya dulu, maka proses harus dimulai lagi dari langkah pertama, karena garis massa bukanlah sesuatu yang sekaligus dan selesai, namun langkah yang sinambung untuk memajukan perjuangan revolusioner tahap demi tahap.


C. Analisa Kelas

Untuk mengetahui kondisi masyarakat secara konkrit dan perjuangan revolusioner, analisa atau uraian yang rinci tentang kelas-kelas harus dikemukakan karena analisa kelas adalah dasar dan asas metode perjuangan massa. Tanpa analisa kelas ini, perjuangan kehilangan dasar dan metode atau langkahnya menjadi tidak jelas. Di satu sisi, analisa kelas ini sering kali diabaikan bahkan dianggap tidak berguna sebagai dasar memahami perjuangan kelas dalam masyarakat atau konflik-konflik yang berlangsung, dan di sisi lain, analisa kelas kurang dipahami atau bahkan menjiplak dan menurunkan begitu saja analisa kelas dari kaum revolusioner sebelumnya (seperti Marx, Lenin dan Mao). Untuk kasus pertama, pengabaian berlaku dalam ilmu sosial umum yang mendakwa sebagai ilmu, sementara isinya hanya terdiri dari pendapat-pendapat si ini dan si itu, dengan keragu-raguan dan permainan bahasa, tanpa pernah menemukan hukum-hukum dari apa yang dianalisanya, yakni masyarakat itu sendiri atau kondisi sosial. Sementara itu, ada juga yang beranggapan bahwa analisa kelas tidak berguna dalam perjuangan pembebasan karena ia bisa memecah belah massa dan menafikan simpati dari seluruh masyarakat. Anggapan ini tidak pernah melihat bahwa tanpa analisa kelas pun, masyarakat secara nyata sudah terpecah atau terbelah antara miskin dan kaya, antara orang pandai dan bodoh, yang satu menindas yang lain dan hampir semua berita menunjukkan konflik-konflik antara kelompok yang berkuasa dengan orang-orang yang dikuasainya, di dalam negeri atau di dunia, bahkan berlangsung sangat keras.

Penulis menemukan bahwa dalam materi pendidikan dari beberapa organisasi massa masih saja memahami sejarah masyarakat yang terkait dengan tahap-tahap perkembangan masyarakat dari komunal primitif sampai pada kapitalisme modern menurut Marx dan Engels. Apa isi tahap-tahap perkembangan masyarakat yang diturunkan begitu saja dari Marx dan Engels, yang dianggap sebagai kebenaran umum dari sejarah masyarakat di dunia ini, adalah sebagai berkut (untuk meringkas, dimulai dari pemilikan kesukuan):

Pertama, pemilikan kesukuan (tribal property). Bentuk pemilikan ini berkaitan dengan bentuk produksi yang masih belum berkembang, yakni manusia hidup dari berburu dan memancing, berternak dan secara umum mengembangkan pertanian. Bentuk pemilikan kesukuan ini mengisyaratkan bentangan tanah luas yang tak tergarap. Pembagian kerja pada tahap ini masih sangat mendasar dan ditentukan pembagian kerja alamiah dalam keluarga. Perbudakan terselebung dalam keluarga berkembang secara bertahap karena bertambahnya jumlah populasi, meningkatnya kebutuhan dan meluasnya hubungan eksternal baik melalui perang atau barter.

Kedua, pemilikan komunal kuno (ancient communal property) dan wilayah kekuasaan (state). Pemilikan ini terbentuk dari gabungan beberapa suku dalam sebuah kota melalui persetujuan atau penaklukan dan masih terjadi perbudakan. Di samping pemilikan komunal yang tak bisa dialihkan (dijual dan diwariskan), ada juga pemilikan komunal yang bisa dialihkan (inilah awal perkembangan pemilikan pribadi), namun tetap sebagai bentuk hak milik tak normal di bawah hak milik komunal. Pemilikan pribadi komunal ini (communal private property) adalah bentuk pemilikan warga-warga kota karena dorongan melestarikan bentuk hubungan sosial produksi dengan para budak secara spontan. Oleh karena itu, struktur masyarakat secara umum berdasarkan pemilikan komunal dan kedaulatan rakyat kemudian membusuk atau runtuh secara bertahap sesuai dengan perkembangan pemilikan pribadi yang semakin kuat (immovable private property).

Pembagian kerja dalam bentuk pemilikan ini juga sudah berkembang dalam bentuk kerja perkotaan dan kerja pedesaan sehingga menimbulkan pertentangan antara kepentingan-kepentingan warga kota dan penduduk desa. Sementara itu, pertentangan antara kepentingan warga yang bekerja dalam industri perdagangan (jalur laut maupun jalur darat) juga terjadi di dalam kota itu sendiri. Hubungan kelas yang bertentangan antara warga kota dan para budak benar-benar terwujud pada tahap perkembangan ini.

Ketiga, pemilikan feodal atau tanah (feudal property). Jika zaman kuno bermula dari kota dan wilayah kekuasaanya yang sempit, maka Zaman Pertengahan dimulai dari desa. Perbedaan titik pijak ini terjadi karena jumlah penduduk sedikit yang tersebar di wilayah luas dan berkurangnya penaklukan atau perang antar gabungan suku bangsa. Marx-Engels memaparkan kondisi historis dari bentuk masyarakat ini berdasar pada awal keruntuhan imperium Romawi dan migrasi maupun penaklukan masyarakat-masyarakat barbar (Goth, Alamanni dan Frank) atas wilayah luas yang ditaklukan Romawi sebelumnya dalam rentang abad II hingga IV M. Dua kondisi historis ini menghancurkan aspek-aspek penting dari kekuatan produktif: pertanian merosot, industri berhenti karena tidak ada pasar, perdagangan mati, jumlah penduduk desa dan kota menurun. Rangkaian penaklukan-penaklukan, terutama oleh suku-suku Jermanik dengan konstitusi militernya, kemudian mengembangkan pemilikan feodal (tanah). Dasar pemilikan ini adalah suatu komunitas penakluk, sementara kelas yang berhadapan langsung dengan komunitas penakluk ini bukanlah budak seperti pada bentuk-bentuk pemilikan sebelumnya, namun petani-petani kecil yang diperhamba. Kondisi perkembangan lanjut dari pemilikan ini menimbulkan kontradiksi antara desa dan kota. Struktur bertingkat dari pemilikan tanah dan para serdadu dari para pemilik tanah ini menimbulkan kekuasaan keningratan atas para petani kecil itu.

Selain kontradiksi desa dan kota berkembang, struktur feudal ini mempunyai lawan di kota dalam bentuk pemilikan korporatif, yakni organisasi perdagangan feodal. Kebutuhan atas pasar-pasar bersama yang terlindung dari para perampok bangsawan ketika para pengusaha juga menjadi pedagang besar, semakin banyaknya para hamba (petani) yang pindah dan bersaing di kota-kota yang mulai berkembang: pendek kata, kombinasi struktur masyarakat feodal ini menimbulkan gilda-gilda (perhimpunan dari orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan kepentingan sama) yang dijalankan oleh para pengrajin dan pekerja magang di perdagangan. Jadi, pemilikan atau hak milik di zaman feodal terdiri dari: pertama, pemilikan tanah dan petani-petani; kedua kerja kerajinan dari individu-individu yang memiliki kapital kecil (alat-alat dan tempat kerajinan) dan menguasi pengaturan kerja perdagangan. Secara umum, hak milik atas tanah sudah sangat ketat diperjual-belikan. Berbagai kelas dalam tatanan masyarakat feodal ini adalah, di satu pihak para pangeran, bangsawan, agamawan dan petani di pedesaan, dan di pihak lain para majikan, para pengrajin, pekerja magang, dan rakyat jelata yang kerja sambilan di kota.

Sampai disini, bagaimana mamahami tahap perkembangan masyarakat yang dikemukan Marx-Engels ini. Ada lima jawaban yang bisa dikemukan terkait dengan konsepsi tentang perkembangan masyarakat ini. Pertama, perkembangan historis masyarakat ini adalah kritik mereka berdua terhadap Hegelian Muda tentang perkembangan masyarakat yang cenderung berkaitan dengan Eropa, sebab para pemikir Jerman yang dikritik itu tidak mempunyai pandangan yang tepat tentang sejarah masyarakat dan menyatakan bahwa masyarakat kuno masuk dalam lingkup sebelum zaman sejarah karena mereka tidak mengenal tradisi tulis. Dari saduran tulisan Marx-Engels ini, mereka berdua juga sebenarnya tidak bermaksud memberikan penjelasan tentang kondisi historis global pada zamannya yang berlaku pada semua masyarakat di seluruh dunia, namun hanya kondisi historis Eropa sebelum mereka berdua memahami tatanan masyarakat industri modern Eropa. Jadi paparan Marx-Engels tentang tahap-tahap sejarah ini adalah analisa pendahuluan secara ringkas untuk memahami tatanan masyarakat borjuis Eropa setelah mengritik konsepsi pra sejarah Hegelian Muda dari sudut pandang masyarakat beradab yang sudah mengenal tulisan itu.

Kedua, tahap-tahap perkembangan masyarakat ini memang bisa dipahami dari sejarah masyarakat terutama di bagian barat benua Eropa sampai revolusi berlangsung (Inggris dan Prancis) sebagai momen perubahan dari tatanan masyarakat feodal menjadi tatanan masyarakat industri modern. Contoh-contohnya diungkapkan Marx-Engels dalam analisa ringkasnya tentang sejarah masyarakat Eropa itu. Oleh karena itu, saya melihat bahwa analisa Marx-Engels ini tidak bisa disebut sebagai pola umum dari perkembangan masyarakat. Kalau kita menerapkan analisa Marx-Engels yang terpusat pada sejarah masyarakat Eropa di zamannya ini, maka kita telah menjadikannya sebagai dogma atau kebenaran yang suci tak terbantahkan, padahal kondisi sejarah masyarakat secara global tentu saja beragam di zaman mereka berdua dari segi geografis, struktur maupun tatanan supra struktur dan tahap-tahap perkembangannya. Tahap-tahap ini bukanlah suatu pemahaman sejarah umum dan global yang berkembang secara lurus seperti diungkapkan secara tersirat dalam analisa mereka sendiri bahwa:

“The various stages of development in the division of labour are just so many different forms of property, i.e., the existing stage in the division of labour determines also the relations of individuals to one another with reference to material, instrument and product of labour”

“Keragaman perkembangan dari pembagian kerja sebanyak perbedaan bentuk-bentuk pemilikan. Dengan kata lain, tahap pembagian kerja juga menentukan hubungan-hubungan antar individu satu sama lain dalam kaitannya dengan bahan-bahan, alat-alat dan hasil kerja.”

Jadi, dasar dari pemahaman atas sejarah masyarakat adalah pembagian kerja dan bentuk pemilikan.

Ketiga, saya memahami sejarah global secara sekilas bahwa kondisi-kondisi historis masyarakat di luar Eropa pada zaman Marx-Engels berbeda-beda sesuai dengan kondisi geografis dan batas-batas hubungan internal dan eksternal dari suatu masyarakat. Setelah pembebasan dari penjajahan bangsa Eropa di Afrika, Asia dan Amerika, masyarakat-masyarakat ini mengalami tahap-tahap perkembangan yang berbeda dengan Eropa. Penjajahan Eropa sendiri sebenarnya hanya menguasai struktur ekonomi dari masyarakat feudal-barbar di Afrika Utara, India daratan dan kepulauan, Asia Timur maupun masyarakat kesukuan. Eropa itu bisa dipenuhi dengan perang-perang penaklukan tanpa harus menghancurkan supra strukturnya sehingga tatanan masyarakat-masyarakat kolonial ini kemudian berkembang secara menyimpang atau sinambung dan terputus dari kondisi historis sebelumnya.

Saya akhirnya menyimpulkan bahwa pertama, tahap-tahap perkembangan masyarakat yang dianalisa Marx-Engels ini harus dipahami sebagai contoh analisa kelas. Analisa kelas itu sendiri sebenarnya merupakan akibat dari pemahaman atas bentuk produksi yang berubah karena ada pembagian pemilikan atas sarana-sarana produksi dan pembangian kerja. Jadi, berdasar pada konsep atau pemikiran ini, setiap perjuangan revolusioner harus menganalisa secara konkrit kondisi sejarah masyarakat di wilayahnya. Seperti ungkapan Frederick Engels (Socialism: Utopian and Scientific), materialisme historis atau ilmu sejarah masyarakat, harus mengembangkan “perhatian yang terus menerus pada aksi dan reaksi dari hidup dan mati, perubahan-perubahan kondisional yang maju dan mundur” demi pembebasan historis manusia (human historical liberation). Selain itu, “Bagi filsafat dialektik, tidak ada sesuatu yang final, mutlak, keramat. Dialektika mengungkapkan karakter kefanaan dari segala hal dan di dalam hal itu sendiri. Tiada yang abadi kecuali proses menjadi tiada henti dan menghilang, kenaikan tiada akhir dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi” (Fredrick Engels, Ludwig Feuerbach and the End of Classical German Philosophy, Part 1: Hegel).


D. Hukum Internal Sejarah: Pembagian Kerja dan Pemilikan

Dasar-dasar perubahan dalam sejarah masyarakat: pembagian kerja dan pemilikan. Pembagian kerja dengan pertentangan yang terkandung di dalamnya, secara alamiah bermula dari pembagian kerja dalam keluarga dan pemisahan masyarakat dalam kelompok-kelompok keluarga yang bertentangan satu sama lain dan secara bersamaan mengimplikasikan pembagian kerja (division of labor) serta pembagian hasil produksi yang timpang secara kuantitatif dan kualitatif. Pembagian kerja ini sangat berkaitan dengan ketentuan pemilikan atau bisa dikatakan sebagai ungkapan yang identik dalam kaitannya dengan kegiatan produksi dan hasil produksi.

Pembagian kerja kemudian menyebabkan pertentangan antara kepentingan individu atau keluarga dengan kepentingan umum dari semua individu yang berhubungan satu sama lain. Kepentingan umum disini bukan hanya sebagaimana terdapat dalam angan-angan pikiran, namun kepentingan umum dari kesalingtergantungan individu dalam pembagian kerja.

Di balik pertentangan kepentingan khusus dan kepentingan umum ini, kepentingan umum mensyaratkan suatu lembaga bebas, yakni negara yang terpisah dari kepentingan individu dan kolektif yang nyata. Negara juga kemudian menjadi komunitas yang terbayangkan, namun tetap berdasar pada ikatan-ikatan nyata dalam setiap konglomerasi keluarga dan konglomerasi suku. Oleh karena itu, dalam melestarikan kekuasaanya, kekuasaan sangat luas dari keluarga penguasan juga menjalin hubungan pernikahan terkait dengan pewarisan kekayaan atau pemilikan atas sarana-sarana produksi umum. Namun, karena orang per orang hanya mengupayakan kepentingan mereka sendiri sebagai kepentingan khusus tanpa kaitan dengan kepentingan umum, maka kepentingan umum ini menjadi kepentingan "asing" bagi mereka dan "bebas".

Bentuk-bentuk produksi dalam sejarah masyarakat mengembangkan pembagian pemilikan dan pembagian kerja dalam melangsungkan organisasi hidup masyarakat. Pembagian kerja ini menunjukkan bagaimana aktivitas atau kerja manusia itu sendiri menjadi kekuasaan asing yang bertentangan dengannya. Selama ada pembagian kerja, setiap orang mempunyai ruang kegiatan yang tersendiri dan khusus, dipaksakan padanya dan tak bisa keluar darinya. Mengapa? Karena individu-individu sudah tidak bisa menyadari dan terlepas dari: pertama, watak alamiah kerja yang bertujuan memenuhi kebutuhan hidup dari sumber-sumber alamiah dan alat-alat produksi yang sudah dibagi-bagi, dimiliki dan diwariskan menurut bentuk-bentuk produksi yang berlaku dalam masyarakat; kedua, watak alamiah (hubungan keluarga dan kekerabatan) dan watak sosial hubungan kemanusiaan dalam perkenalan (karena perbedaan alamiah) dan pertukaran (exchange, trade) itu ditentukan oleh ukuran-ukuran di luar kerja produksi dan di luar manusia sendiri (uang, atau alat tukar lain, perjanjian dan perang), termasuk karena bencana-bencana alam atau wabah penyakit maut sebagai antitesa alam dari eksistensi masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, kontradiksi antara kekuatan produksi (struktur) dan hubungan sosial produksi (pembagian pemilikan dan pembagian kerja yang diwujudkan dalam suprastruktur) menjadi faktor penggerak utama dalam sejarah perkembangan masyarakat.


Penutup

Saya sudah menjelaskan garis massa dari segala seginya, namun bukan berarti sudah selesai dalam tulisan ini. Garis massa harus berasal dari massa konkrit dan untuk massa sebagai asas perjuangan rakyat. Tulisan ini hanyalah penjelasan dari olahan dan rangkuman berbagai acuan karya revolusioner, sekaligus kritik atas kekeliruan atau kelemahan pemahaman tentang garis massa. Sebagai dasar perjuangan kelas pekerja di Indonesia, maka garis massa dan analisa kelas dalam sejarah masyarakat Indonesia sendiri juga adalah panduan penting untuk perjuangan yang benar-benar mengemban tugas sejarah pembebasan kelas pekerja Indonesia dari penjajahan ekonomi politik kapitalis global dan kaki tangannya di dalam negeri. Pertentangan dasar antara kelas-kelas menurut bentuk produksi masa kini juga tidak bisa dipisahkan dari pertentangan kelas yang khusus berlangsung di Indonesia, sehingga perjuangan pun harus dilancarkan berdasarkan pertentangan konkrit di Indonesia sendiri. Pengalaman sejarah perjuangan rakyat Indonesia sendiri menjadi pelajaran penting dan harus dianalisa secara konkrit sehingga rakyat mengetahui dengan benar siapa kawan dan siapa lawan, bagaimana metode perjuangannya dan apa tujuan sejati dari perjuangannya. Tanpa pemahaman yang tepat tentang syarat-syarat revolusi ini, perjuangan akan terus mengulang-ulang kesalahan-kesalahan yang tidak hanya kecil, tapi sangat fatal bagi perjuangan rakyat dan masa depannya, hanya petualangan dengan aksi-aksi bebas yang berserakan tanpa memikirkan secara tepat kondisi massa, organisasi dan metode perjuangannya dengan berdasar pada massa sendiri.

Akhirnya, kebangkitan kesadaran kelas pekerja Indonesia adalah syarat penting dalam menghapuskan penindasan dan tentu saja akan mendapatkan reaksi dari kelas penguasa: kapitalis global dan kaki tangannya di dalam negeri.


×