Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

RTRW Karawang Antara Ekspektasi dan Keraguan

Sabtu, 08 Oktober 2011 | Oktober 08, 2011 WIB Last Updated 2012-04-13T05:04:56Z
Wacana dan rencana pembangunan pelabuhan Internasional di sekitar kecamatan Tempuran berikut jalan (fly over)/lingkar utara Jawa Barat sebagai akses penghubungnya ke tol cikampek-Jakarta merupakan isu paling mainstream di maysarakat. Namun isu tersebut tidak dipahami oleh masyarakat awam sebagai bagian integral dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Karawang. Dalam hal ini wacana pembangunan pelabuhan internasional tersebut seakan-akan sesuatu yang tiba-tiba akan hadir di Karawang tanpa sebab musabab. Lepas dari argumentasi para ahli atau ilmuwan, bahkan kaum intelektual, wacana yang hadir tersebut disambut dengan berbagai spektrum anggapan masyarakat itu sendiri. Celakanya, pendapat umum masyarakat terbang ke langit diantara rongga mitos dan kenyataan menyertai fenomena empiris tentang besarnya ganti rugi penggusuran lahan sebagaimana yang terjadi pada masyarakat jakarta (baca : Orang Kaya Baru/OKB). Rencana pembangunan pelabuhan juga dimaknai secara sempit merupakan ujud dari kemajuan daerah dan modernisasi.

Kenyataan tersebut di atas tentu saja memunculkan kritik terhadap pemerintah atas kelalaiannya dalam mengintegrasikan pemahaman masyarakat kedalam RTRW. Disamping itu kritik paling tajam terletaak pada titik tujuan serta azas dari pembuatan RTRW itu sendiri yang tak senafas dengan konstitusi negara yakni UUD 1945, dan UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Terdapat dua hal kekeliruan besar dalam rencana penataan ruang yaitu pertama, interpretasi makna penataan ruang sebagai kepastian kedudukan antar wilayah yang masing-masing memiliki garis demarkasi (bukan pada integralitas demokrasi ekonomi dan Ekologi) dan kedua, penataan ruang diselenggarakan atas kebutuhan rencana induk (master plane) dari skema besar MP3EI yang menetapkan kabupaten Karawang menjadi titik penting koridor Jawa (perluasan Industri dan Jasa nasional) yang terintegrasi dengan keenam koridor ekonomi nasional.

Secara geografis karawang merupakan kabupaten yang berkedudukan strategis karena dilalui Jalur Regional Pantura Pulau Jawa, Jalur tol Jakarta Bandung dan merupakan Simpul penghubung antar PKN (Bodebek-Bandung-Cirebon) dengan luas wilayah 1.753 Km2 (sekitar 3, 73 luas Jawa Barat) yang terdiri dari 30 kecamatan, 297 desa dan 12 kelurahan dengan jumlah penduduk 2.125.500 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar 1.212,15 jiwa/km (data 2010) adapun pendapatan perkapitanya adalah Rp. 10, 2 juta (mata pencaharian utama bertani) dari keseluruhan wilayah kabupaten, Karawang memiliki panjang garis pantai sekitar 75 km dengan potensi perikanan dan kelautan yang cukup besar berupa budidaya ikan, pariwisata dan hutan mangrove.

Perkembangan pembangunan ekonomi kabupaten karawang terutama pada kegiatan industri manufaktur terkonsentrasi di kecamatan Telukjambe Barat, Telukjambe Timur, Ciampel Pangkalan, Klari dan Cikampek dengan penggunaan lahan yang mencapai 10, 8%. Lahan pertanian sendiri (termasuk tegal, ladang dan kebun) masih menempati urutan teratas yaitu sekitar 61% . Luasnya lahan pertanian yang terkonsentrasi di bagian utara, menegaskan bahwa karawang masih layak dijuluki lumbung padinya Jawa Barat. Kegiatan lain yang terus berkembang adalah Industri, Perumahan dan jasa perdagangan. Khusus sektor industri yang telah dicadangkan lahan seluas 19.055,1 Hektar saat ini telah menunjukan capaian angka yang cukup fantastik yaitu sekitar 578 unit perusahaan besar yang berdiri ditambah industri sedang dan kecil sekitar 8.881 unit. Dari keseluruhan industri yang beroperasi telah berhasil menyerap tenaga kerja yang masing-masing 181.883 orang pada industri besar dan sekitar 22.701 orang pada industri sedang dan kecil. Total investasi sendiri yang sudah tertanam sekitar 86, 449 triliun (sampai akhir tahun 2008).

Angka-angka bagus tersebut di atas merujuk pada asumsi positif yang pada kenyataannya masih banyak menyisakan problem-problem sosial yang membutuhkan tuntutan logis berupa investasi, keselarasan regulasi, fasilitas publik dst, guna menekan tingginya angka kemiskinan yang pada akhir 2010 tercatat sekitar 1.200.00 masyarakat karawang berkategori miskin. Fakta tersebut diindikatori oleh tingginya angka pengangguran (tetap, terselubung dan baru pada angkatan sekolah tiap tahun yang mencapai 30.000 orang lebih), derasnya arus migran yang mencapai 300-350 orang/bulan (belum termasuk buruh migran ilegal), rendahnya kualitas kesehatan, pendidikan dan degradasi lingkungan.
Jika problem-problem sosial tersebut lamban atau bahkan tidak sama sekali mendapatkan jalan keluar segera, maka tidak mengecualikan pemustahilan munculnya kekacauan dari kegentingan ini. Tentu saja, bukan hal mudah dan sederhana bagi penyelesaian setumpuk masalah sosial yang terus menerus menyoal, akan tetapi setidaknya mulai didapati kata kunci baru guna mengatasi rapatnya pintu kesejahteraan masyarakat yang tergembok kebijakan kapital bisnis swasta.

Semua yang terpapar tadi, hendaknya menjadi tolak ukur dalam menentukan kebijakan penataan ruang kabupaten karawang hingga pada rencana detail kewilayahan berikut tema konkrit isunya. Dalam perumusan penataan ruang pada akhirnya dapat menarik kesimpulan tentang 2 hal mendasar yang mau tidak mau harus dijadikan sarat landasan. Pertama, persoalan kemiskinan sebagai mana terurai di atas hendaknya tidak sekedar ujud isu semata, melainkan menjadi fokus kebijakan pemerintah. Kebijakan yang dimaksud adalah jenis, fungsi dan peran kebijakan yang tak lagi bertumpu pada belas kasihan bussines as usual swasta (diakui atau tidak, selama ini selalu mendapatkan restu pemerintah). Dengan demikian selain orientasi kebijakan ekonomi pro kapitalis harus diubah dengan melakukan percepatan pembangunan ekonomi rakyat yang mandiri disertai tataran implementasi mereformasi birokrasi. Dalam kalimat lain, penataan ruang memiliki pengertian khusus sebagai prasarat bagi strategi pembangunan ekonomi publik, sehingga setiap kebutuhan pembiayaan peruntukan pelaksanaanya pun harus berkarakterkan investasi publik walau masih dibutuhkan jasa swasta. Kedua, efek domino dari tata ruang yang memberikan kebebasan pada pelaku bisnis baik swasta, badan hukum, atau BUMN sendiri (terutama perhutani) yang secara membabibuta mengeksploitasi sumberdaya alam dan mineral juga operasi industri folutif selama ini telah mempertontonkan degradasi lingkungan begitu hebat dimana-mana baik berupa pencemaran sungai, abrasi, hilangnya sebagian sumber mata air bahkan bencana ekstream banjir, kekeringan dan longsor setia mengiringi jalannya waktu. Karenanya, menjadi salah kaprah kemudian ketika ekologi mulai hancur dan bencana datang silih berganti justru malah men-sucikan kehendak tuhan dan alam.

Baik orientasi ekonomi maupun kondisi lingkungan yang memiliki keutamaan sarat dalam proses penataan ruang akan memberikan proyeksi skematik pada setiap sub bidang pembangunan sekaligus menjawab persoalan-persoalan lain seperti ledakan penduduk terutama diperkotaan (disebabkan oleh arus urban maupun alamiah seperti kelahiran) yang mengedepankan konsekwensi logis berupa kebutuhan lahan bagi perluasan pemukiman (baca : menguntungkan developer perumahan) hingga solusi kemacetan yang selalu diatasi dengan pembangunan jalan-jalan baru sebagaimana pembangunan jalur artery Tanjungpura-Warungbambu yang tak sedikit menelan biaya memberikan keuntungan pada pengusaha konstruksi, pengusaha perumahan pada fase berikutnya serta memupuk subur kolusi di level birokrasi. Tercatat hampir 200 hektaran luas lahan pertanian produktif beralih fungsi yang sebagian besarnya menjadi kawasan terbangun. Pemborosan ruang oleh kesalahan tata guna lahan ini disamping menyebabkan lost revenue juga menyumbang bencana banjir (floods).

Menurut UU no 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. apabila pemanfaatan ruang tidak terta dengan benar, maka dapat dipastikan pemborosan pemanfaatan ruang disamping kualitas ruang itu sendiri akan menukik tajam, oleh karena itu diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya secara komprehensif dan sistematik.

Kritik secara umum terhadap Rencana Umum Tata Ruang

1. Isu-isu eksternal penataan ruang
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten Karawang mencatat paling sedikit 5 poin isu eksternal penataan ruang antara lain lingkungan, rencana pembangunan Jalan Lingkar Pantura Jawa Barat, perluasan Megapolitan Jakarta (The Greater Jakarta), pengembangan Bandara di wilayah kab. Karawang dan pengembangan Pusat Sejarah dan Budaya Raja-raja Nusantara di sekitar wilayah Kuta Tandingan, kecamatan Ciampel. Kelima isu eksternal tersebut bisa saja muncul pada level nasional dan propinsi yang belum tentu memiliki relevansinya dengan kebutuhan kabupaten Karawang saat ini. Dan yang terpenting adalah bagaimana menyikapi isu-isu eksternal itu dengan melibatkan partisifasi masyarakat seluas-luasnya guna menyumbangkan pikiran dan gagasannya agar setiap isu ekternal yang hendak dibijakkan senantiasa inheren dengan kebutuhan kabupaten sehingga dapat diterima masyarakat dan terselenggarakan dengan baik serta dirasakan langsung manfaatnya.

2. isu-isu strategis penataan ruang dan Kebijakan Penataan Ruang
    isu strategis penataan ruang memang cukup baik namun sangat abstrak. Dari kelima poin yang ditetapkan antara lain (i) Optimalisasi kawasan peruntukan industri (ii) pengendalian alih fungsi lahan pertanian : (iii) efektifitas pemanfaatan ruang kawasan perkotaan (iv) peningatan pelayanan bagi kawasan pengembangan pertanian pangan berkelanjutan, dan (v) perlindungan cagar budaya Situs Batujaya, kawasan kars, terumbu karawang dan objek lindung lainnya.
    Kelima isu yang dipandang strategis itu memang tidak bertentangan dengan hukum mana pun, namun jika kita bongkar onggokan isu-isu tersebut akan kita dapati berbagai kelemahan .
    Optimalisasi kawasan industri berkait erat dengan sistem isdustrialisasi itu sendiri dalam hubungan industrialisasi banyak memunculkan pertikaian (baca : kontradiksi antagonistik) antara kaum buruh dengan pengusaha yang tak pernah terdamaikan. Sistem upah yang jauh dibawah rata-rata Kebutuhan Hidup Layak/KHL, PHK, Out shourcing, Union Busting dsb masih mengisi daptar isu perburuhan. Jadi, pada titik ini azas pelindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan tidak pernah berlaku pada hubungan industrial saat ini. Pemerintah sendiri entah dengan dalil walfare state atau keynesian yang mengharuskan campur tangan negara atas kegiatan ekonomi namun pada kenyataannya telah melenyap terseret arus liberalisme. Yang terjadi justru reposisi pemerintah dalam kegiatan ekonomi negara hanyalah sebagai pemburu rente dalam mekanisme perizinan, perpajakan, pengawasan dsb. Disamping persoalan sosial itu ketidak selarasan arah dalam pengembangan kawasan indutri sendiri memicu ketumpang tindihan fungsi lahan diperkotaan. Tumbuh dan berkembangnya suatu kota, dapat dilihat dari ada tidaknya perubahan bentuk dan fungsi penggunaan lahan yang dilakukan masyarakat kota, dalam mengolah lahan mengelola sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini akan menyebabkan adanya kompetisi antara pengguna lahan kota dan desa, karena secara umum kurang terarah sering berakibat terjadi perubahan bentuk penggunaan yang kelasnya baik untuk pertanian digunakan untuk usaha non pertanian (Sutanto, 1986: 23).
    Pada poin selanjutnya, pengendalian alih fungsi lahan pertanian hanya menjadi kelakar saja. Kepemilikan lahan pertanian teknis terutama di wilayah pinggiran kota, hak kepemilikannya saat ini sudah banyak dikuasai oleh luar yang orientasinya pun jelas buat investasi. Sebenarnya para spekulan tanah bisa jadi sudah mengetahui lahan yang dimilikinya merupakan target ekspansi modal (pendirian industri dan perdagangan), dalam pengertian lain didapati satu kondisi “tingginya demand atas supply tanah” maka cost benefit dari ekonomi pertanian sangat jauh dibawah nilai jual lahannya itu. Guna menaikkan nilai investasi tananahnya tersebut dibuatlah keadaan lahan menjadi tidak produktif (teknis) dengan cara menghilangkan akses pengairan irigasi agar kemudian lahannya tersebut berubah menjadi non teknis/tidak produktif. Dengan cara demikian itulah spekulan tanah bisa terhindar dari jeratan aturan jika sudah tiba kesempatan untuk menjual lahannya tersebut. Fenomena ini membawa konsekuensi logis terhadap perubahan lahan bukan perkotaan (non urban), yang sering terjadi pada wilayah pinggiran kota (Urban Fringe), gejala demikian bisa disebut invasi (Chapin, 1979: 91), karena terjadi penetrasi dari suatu kelompok penduduk area terbangun (build up area) kota ke arah luar yang disebut sebagai urban sprawl, yakni merupakan ekspansi (perluasan) wilayah dari suatu konsentrik kota yang melebihi apa yang sebenarnya
    ada (Northam, 1975: 124).
    Pada poin efektifitas pemanfaatan ruang kawasan perkotaan masih terfragmentasi oleh pemangku kepentingan modal terutama industri-industri sedang dan perumahan untuk pengembangan pemukiman. Hingga saat ini belum ada upaya nyata dari pemerintah untuk menghentikan pembangunan perumahan di Karawang yang selama ini gencar dilancarkan oleh perusahaan swasta. Padahal pembangunan rumah susun yang tertata dengan baik akan menjadi langkah konkrit bagi tata ruang kota.
    Pada isu peningkatan pelayanan bagi kawasan pengembangan pertanian pangan berkelanjutan, sepertinya mimpi saja. Pada poin sebelumnya sudah jelas bahwa pertanian kita terus menerus mengalami kemerosotan baik secara kuantitas maupun kualitas. Jika ditinjau dari sisi ekonomi sistem pertanian (terutama pangan) kita sungguh memprihatinkan karena sebegitu luas lahan yang dikuasai oleh guntai yang sarat dengan capital flight dan lemahnya perhatian atas kelangsungan ekologi yang sudah banyak mengalami kehancuran. Sementara secara umum proses produksi sampai mekanisme pasar pertanian kita lepas sama sekali dari intervensi pemerintah. Belum lagi bencana banjir terus mneghantui pertanian kita. Disadari atau tidak rakyat terus di fragmentasikan dengan sistem ekonominya. Kaum tani terus terjerembab dalam sistem upah dan bagi hasil yang sangat timpang juga lepas dari kedaulatan produksi sebagai sistem ekonomi. Begitu pula dengan buruh yang hanya menjadi pekerja upahan tanpa memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan kapasitas produksi dengan korelasi pasar.
    3. Struktur Ruang
    Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. pada struktur penataan ruang dikatakan wilayah yang secara eksisting mengalami perkembangan lebih diukur oleh kehadiran investasi swasta terutama industri. Pengembangan yang hendak dilakukan selanjutnya pada wilayah tersebut adalah pengembangan pemukiman perkotaan dan perdagangan dan jasa. Tidak dapat dihindari bahwa percepatan perkembangan fisik kawasan mengarah pada fungsi dasar kota yang tercermin pada kehidupan ekonomi dan sosio-politik, pada sifat-sifat fisik, dan tata ruangnya (Branch, 1996: 78) dengan kata lain terjadi pergeseran fungsi ruang. Sedangkan wilayah yang secara eksisting belum berkembang seperti kec. Ciampel, Banyusari, Rawamerta, Kutawaluya, Tempuran, Cilebar, Cibuaya, Jayakerja, Tirtajaya dan Pakisjaya berstatus Pusat Pelayanan Lingkungan(PPL). Struktur ruang semodel ini kemudian hirarkinya ditetapkan berdasarkan sentra kegiatan ekonomi modal swasta.
    4. Sistem Prasarana Wilayah dan Pola Ruang
    terdapat banyak rencana pembangunan dan pengembangan prasarana ditiap wilayah (koridor) seperti Pelabuhan, Rel Kereta Api, Jalan lingkar Pantura Jawa Barat, Jalan lingkar Perkotaan Karawanng, Terminal, Jaringan SUTET dsb. Rencana pembangunan prasarana tersebut telah ditentukan pada wilayah-wilayah yang sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Sepintas dapat kita bayangkan besarnya rupiah yang dibutuhkan bagi pembangunan prasarana tersebut hanya dapat biayai oleh swasta. Walau pun dalam MP3EI dinyatakan investasi yang akan dijalankan besarannya sebanding antara investasi swasta dengan BUMN namun kelemahan pada sistem internal BUMN sendiri terbuka lebar bagi investasi swasta di dalamnya.
Dari keseluruhan paparan diatas terangkum kesimpulan bahwa RTRW Karawang tidak disandarkan pada kondisi obyetif Kabupaten Karawang pada sisi struktur ekonomi masyarakat, geografis dan kemampuan SDM serta segala konektifitas kabupaten. Sementara konsekwensi pembiayaan RTRW bukan dilandaskan pada investasi publik tapi jatuh ke tangan pemangku kepentingan bisnis di Karawang. akhirnya dapat dipastikan pula bahwa RTRW diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan penyelarasan skema besar MP3EI yang merupakan capaian konkrit dari segala kepentingan kapital swasta asing yang telah ditetapkan baik pada putaran Asean Summit maupun National Summit. Sedang Kebijakan komplementer RTRWN, RTRWP dan RTRWK bersifat top down sehingga pembuatan RTRW banyak bertentangan dengan dasar konstitusi negara kita UUD 45 dan falsafah Pancasila.

Oleh karena itu dibutuhkan segera rumusan dan lalu tindakan praktis dalam kerangka kebijakan ekonomi rakyat dalam perspektif industrialisasi pertanian yang diikuti kebijakan ekologis dan politik.
Kebijakan Industrialisasi pertanian pada kedudukan peran implementasi pemerataan pembangunan ekonomi (demokrasi ekonomi) desa dan memperingan beban kota. Sedangkan kebijakan ekologi ditetapkan pada besarnya perhatian atas kelestarian lingkungan dari dampak pembangunan dan ledakan penduduk. Sementara pada kebijakan politik dapat memastikan orientasi anggaran menjadi produktif serta tepat sasaran bagi pembangunan Industrialisasi pertanian berikut penataan sistem agrarianya, kegiatan yang meliputi asfek konservasi dan kemudian biaya Penataan Ruang secara bijak.
×