Satu gagasan yang diangkat dan diperdebatkan di majelis umum Pendudukan Sydney (Occupy Sydney general assemblies), dan dijadikan usulan (mosi) untuk disepakati, adalah: “tanggalkan lah segala afiliasi (yang melekat dalam diri kau) di pintu keluar (afiliasi-afialiasi tersebut) saat kau berpartisipasi dalam (gerakan) pendudukan”. Meskipun mosi tersebut tak disepakati, usulan tersebut mendapat dukungan dari beberapa orang yang berpendapat bahwa: para peserta (gerakan) pendudukan (Occupiers) seharusnya menyatu bersama sebagai individu-individu yang tidak puas terhadap bagaimana berbagai hal dijalankan dan berkehendak mengubahnya—bukan sebagai pembela ideologi tertentu.
Ironisnya, gagasan bahwa kita semua adalah benar-benar individu-individu yang dapat mengatasi segalanya, juga merupakan ideologi atau filsafat politik. Lebih jauh lagi, gagasan tersebut bukan merupakan ideologi yang sangat berguna bagi gerakan pendudukan atau bagi siapapun yang ingin mengubah dunia menjadi lebih baik, karena gagasan tersebut lebih merupakan cara pandang kaum 1 %. Dalam feodalisme, tatanan sosial yang hadir sebelum kapitalisme di Eropa, setiap orang sudah mendapatkan tempatnya sendiri-sendiri (yang sudah ditentukan). Kemungkinan bahwa kau memiliki perbedaan bakat atau minat yang lebih tepat bagi kedudukan kau, tidak lah dianggap relevan. Jika kau seorang hamba, maka kau tinggal di desa yang sudah ditentukan dan bekerja sesuai dengan waktu yang ditetapkan oleh pemilik tanah estate (lahan luas sedikitnya 100 ha—pentj.) (atau perkebunan bangsawan). Jika Kau tinggal di kota, kau bisa saja melakukan kegiatan perdagangan, namun setelah melalui periode magang yang panjang. Bagi kebanyakan orang, satu-satunya cara untuk keluar dari warisan peran sosial mereka adalah dengan melalui gereja, yang memberlakukan cara hidup teratur, disiplin dan terisolir (regimentasi).
Individualisme, sebagai suatu ideologi, tumbuh bersamaan dengan kemunculan kapitalisme. Gagasan bahwa setiap diri kita adalah unik dan seharusnya bebas melakukan apa pun yang kita sukai (selama kita tidak melukai individu lain) terkait dengan hubungan-hubungan pasar di dalam masyarakat, di mana orang saling terhubung satu dengan yang lainnya hanya melalui pembelian dan penjualan. Di pasar, setiap orang bebas membuat keputusannya dalam membeli dan menjual apapun, tanpa masukan dari luar.
Namun, begitu kapitalisme berkembang, kebebasan pasar ternyata berubah sebagian besar menjadi ilusi. Pasar tidak bertanya pada setiap orang dari mana datangnya uang yang mereka bawa, dan individu-individu yang datang ke pasar membawa sejumlah uang dan barang dagangan yang berbeda-beda. Konsekuensinya, mereka, di pasar, menjadi tak setara, dan mereka yang memiliki uang banyak, menggunakan pasar sebagai alat untuk mengeksploitasi anggota masyarakat lainnya. Jauh dari memberikan kebebasan bagi individu, pasar justru membelenggu kita di bawah subordinasi orang-orang kaya.
Karenanya, sejarah kapitalisme adalah juga sejarah upaya kolektif dalam melawan eksploitasi dan penindasan. Mencoba bangkit (berjuang) melawan kaum 1 % sebagai seorang individu, berarti menerima ideologi kaum 1%. Artinya: tunduk pada aturan mereka (layaknya menikuti aturan pasar). Dengan demikian, kita sendiri yang membuat diri kita kalah, karena tujuan pasar adalah mengembangkan kekayaan dan kekuasaan kaum 1%.
Perlawanan yang berhasil adalah perlawanan yang, dalam prakteknya, selayaknya menolak prioritas bagi individu yang terisolasi. Perlawanan yang berhasil harus menyatukan sebanyak mungkin orang dengan landasan: kesamaan penghisapan dan penindasan (yang menimpa mereka), serta tekad (keteguhan) bersama untuk mengakhirinya. Dalam perlawanan tersebut, perbedaan ideologi hanya lah dalam hal bagaimana cara yang terbaik agar upaya kolektif kita bisa berhasil. Membatasi ekspresi mereka hanya lah akan berarti membatasi kemampuan kita untuk melawan.
Paradoksnya, mungkin, perlawanan kolektif dapat juga menjadi jalan bagi perkembangan bebas setiap individu. Itu lah yang dijanjikan oleh individualisme kapitalis namun diingkari. Pengendalian masyarakat oleh si kaya membatasi pilihan-pilihan nyata yang (seharusnya) tersedia bagi hidup kita. Pilihan di mana kita bekerja, apa yang kita pelajari, di mana kita tinggal, berapa banyak waktu “bebas” yang kita miliki, bagaimana kita bersantai, siapa yang menjadi kenalan dan terhubung dengan kita—segalanya dibatasi oleh kendali ekonomi, politik dan sosial kaum 1 %. Mengakhiri pengendalian tersebut adalah suatu prakondisi bagi berkembangnya kebebasan kepribadian manusia. Hanya ketika kapitalisme sudah tak ada lagi maka baru lah setiap individu akan bebas untuk berkembang melalui interaksi dengan seluruh umat manusia, tanpa dihalangi oleh pembatasan ekonomi atau hambatan-hambatan kelas.
Diterjemahkan oleh Surya Anta dan Sherr Rinn
Diedit oleh Danial Indrakusuma
Sumber: http://directaction.org.au/individualism_and_capitalism