Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

Sejarah Internasional-I dan Internasional-II (Bagian II)

Senin, 29 November 2010 | November 29, 2010 WIB Last Updated 2012-01-08T03:58:20Z
Politik kelas buruh (2)

Saat penting yang melatari Intrernasional-II adalah peringatan ke-100 tahun Revolusi besar Perancis, 1889. Tercatat tidak kurang dari 69 kongres bertarap internasional di selenggarakan—bersamaan dengan pameran internasional yang juga diselenggarakan di Paris oleh pemerintah Prancis—untuk memperingati hari bersejarah tersebut. Di antara kongres-kongres tersebut, terdapat dua kongres terpisah yang mewakili kelas buruh dan sosialis dari dua kubu yang berbeda. Yang satu, di rancang oleh kaum sosialis Jerman dan di selenggarakan oleh kaum Guesdites Perancis; sedangkan yang lainnya, di rancang oleh pimpinan serikat Buruh Inggris bersama kauam reformis Prancis (biasa di sebut kaum Posibilis)
Mengenai hal tersebut, Hyndman, seorang sosialis dari Inggris berkomentar, “Dua kongres, yang saling menjelek-jelekkan itu, diselenggarakan di gedung yang terpisah, oleh kaum posibilis dan imposibilis. Sedangkan kaum anarkis, bersikap netral dengan menghadiri keduanya. Pemberitaan di koran-koran tentang pertengkaran di antara persaudaraan sosialis, yang tidak mau akur, di sambut dengan cemooh/ejekan oleh dunia yang bebal” (lihat Braunthal, “Sejarah Internasionale”, Jilid 1, hal. 198-200)

Bagaimanapun juga, kongres kaum imposibilis yang berbasiskan prinsip-prinsip Marxis, yang ternyata menghasilkan kesatuan dan vitalitas. Sejarah mencatat bahwa kongres itu pulalah yang merupakan tonggak pendirian Internasional-II. Kongres itu sendiri secara resmi disyahkan sebagai kongres Internasional-II.

Ada dua persoalan praktis yang mengedepan dalam kongres ini. Untuk menangkis anggapan pihak-pihak yang bersikap bahwa Undang-undang perburuhan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip sosialis, kongres itu justru menyerukan kepada kelas buruh untuk mendukung program legislasi/undang-undang perburuhan secara internasional. Kongres itu juga menetapkan dukungan bagi perjuangan delapan jam kerja, yang dilancarkan oleh Ammmerican Federation of Labour. Walaupun, pada saat itu, AFL tidak hadir dalam salah satu kongres tersebut di atas, AFL mengirimkan pesan dukuhgan kepada keduanya. Pada saat yang sama, AFL mengajak kelas buruh mendukung kampanye tuntutan delapan jam kerja. Kampanye itu sendiri di jadwalkan untuk dimulai pada tanggal 1 Mei, 1890. Kongres pertama Internasional-II menetapkan untuk melakukan persiapan bagi demonstrasi serentak yang akan di lancarkan secara internasional pada tanggal tersebut. Dengan demikian, diawali lah tradisi peringatan 1 Mei (May Day) secara Internasional. AFL sendiri—yang ajakannya melahirkan peringatan 1 mei—kemudian, ternyata, memisahkan diri dari tradisi peringatan hari libur kelas sosialis (secara internasional). Mereka malah mempromosikan hari buruh secara tersendiri, dengan semangat nasionalis-borjuis.

Tahun-tahun awal internasional-II diwarnai dengan perjuangan prinsipil secara politik, yakni dalam menangkis gagasan maupun metode anarkisme. Pertarungan melawan anarkisme, tidak lain adalah kelanjutan dari pertarungan Marx melawan Bakunin (di dalam Internasional-I). Kaum anarkis, yang digelari sebutan Black Internasional menentang segala aksi politik dan bentuk parlementarian. Mereka justru mempraktekan bentuk aksi-aksi terorisme dan sedemikian mendewa-dewakan aksi-aksi pemogokan besar (yang spontan/tak terorganisir, tanpa orientasi). Pengaruh-pengaruh anarkisme ini diperangi oleh kaum Marxis dari Jerman. Bahkan, pada kongres Internasional-II di London (tahun 1896), kaum anarkis dan anti parlementarian tidak di ikutsertakan. Ditetapkanlah aturan bahwa peserta kongrees hanya berasal dari serikat-serikat buruh atau partai-partai politik saja. Kekompakan kaum sosialis tersebut menandai konsolidasi dan organisasi permanen internasional-II. Terhitung sejak saat itu, sampai sekitar tahun 1914, kepemimpinan Internasional-II diakui sebagai garda depan kelas buruh.

Dalam sepuluh tahun kemudian, Internasional-II berada di puncak ketinggian kekuatan dan prestasinya. Dalam kongres Internasional-II, pimpinan-pimpinan utama kelas buruh dari berbagai negeri mendebatkan semua problem pokok kelas buruh, yang hasil-hasilnya ditetapkan sebagai resolusi-resolusi. Sebelum dan sesudah kongres tersebut, persoalan-persoalan pokok tadi digodok dan ditetapkan oleh berbagai partai nasional. Watak Internasional perdebatan-perdebatan tersebut memperkaya dan memajukan gerakan buruh secara pesat, dan berbagai perdebatan yang berlangsung di angkat ke level teoritik secara berkala—sehingga cara pandang sempit yang yang mementingkan perjuangan nasional/bangsanya sendiri dapat di tuntaskan. Sejak saat itu, persoalan-persoalan besar yang dihadapi kelas buruh di sebuah negeri tertentu menjadi tanggungan bersama kelas buruh maju di segenap negeri.

Salah satu juga persoalan yang juga mengedepan adalah mengenai masalah hubungan antara reformasi (perbaikan) dengan revolusi. Teori Marxis bagi kedua masalah ini dengan tepat menjelaskan: “Perjuangan sehari-hari bagi reformasi—yakni bagi perbaikan kondisi-kondisi kerja dan buruh (dalam kerangka kerja tatanan masyarakat yang ada) dan juga perjuangan bagi lembaga-lembaga demokratis—hanya lah merupakan sarana/alat bagi kaum social-demokratik, suatu sarana untuk memasuki kancah peperangan kelas proletarian … untuk bekerja bagi tujuan final… yakni perebutan kekuasaan politik dan pembalikan kelas upahan”, demikianlah tulis Rosa Luxemburg dalam pamfletnya (“Reform or Revolution”, hal. 8), yang di tulis tahun 1899.

Dalam menghadapi persoalan di atas, kaum Marxis harus memerangi dua kecendrungan yang keliru dan membahayakan dalam gerakan sosialis. Yakni, kecendrungan oportunis dan sektarian. Kaum oportunis melandasakan dirinya dalam praktek-praktek yang menitik-beratkan pada partai-partai sosial-demokrat—karena, pada saat itu, tahap perkembangan perjuangan baru sebatas reformasi, sebatas perjuangan di tingkat nasional, dalam negeri-negeri kapitalis)… kaum oportunis ini berusaha menukar revolusi sosial dengan rerformasi. Mereka menjadikan reformasi sebagai esensi, hakikat, yang dipandangnya sebagai puncak pencapaian total pergerakan sosialis. “Kesalahan kaum revisionis adalah… bahwa mereka mau melanggengkan reformisme negara secara teoritik; bahkan hendak menjadikan reformisme sebagai satu-satunya metode perjuangan kelas proletar,” demikianlah pernyataan Trotsky dalam tulisannya “The War and the International”. “Dengan demikian, kaum revisioinis gagal mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan obyektif dalam perkembangan kapitalisme. Padahal, dengan semakin mendalamnya perdebatan-perdebatan tentang kelas, semakin terbuka pulalah jalan bagi revolusi sosial, sebagai satu-satunya jalan menuju pembebasan proletariat.” (hal. 60)

Cara pandang kaum reformis dapat tergambar dengan jelas dalam pernyataan Bernstein: “Bagiku, apa pun yang disebut sebagai tujuan utama sosialisme, bukan lah apa-apa , bagiku, gerakan adalah segala-galanya.” (Reform or Revolution, hal. 64) Dalam kecamanya, Rosa Luxemburg menunjukkan bahwa, di antara reformasi dan revolusi sosial, terdapat dua hal yang tak terjembatani bagi kaum sosial-demokratik. Perjuangan reformasi sebagai alat/sarana, revolusi sebagai tujuan sejati.” (hal. 8).

Sekarang, tentang kaum sektarian. Kaum sektarian justru melakukan kesalahan yang sebaliknya. Kaum sectarian, atau ultra-radikal, sama sekali menolak reformasi sebagai alat/sarana revolusi. Mereka menolak perjuangan lewat reformasi secara prinsipil karena, menurut mereka, reformasi cenderung melunakkan kelas buruh ke haribaan kapitalisme. Sehingga, hanya akan merepotkan/menghalang-halangi perjuangan revolusioner bagi pembebasan kelas buruh. Amerika merupakan contoh yang mengerikan dari sektarianisme yang sangat kaku, yang tercermin pada Socialist Labour Party. Socialist Labour Party memandang bahwa segala bentuk aksi massa untuk perjuangan reformasi sebagai tindakan reaksioner dan, oleh karena itu, menolaknya sama sekali.

Dalam perdebataan teoritik menghadapi dua kecenderungan di dalam tubuh internasionale-II, Marxisme muncul sebagai pemenangnya. Dalam menghadapi kaum oportunis, yang berusaha untuk melunakan gerakan sosialis ke dalam ‘pelukan’ sistim kapitalisme, kaum Marxis menekankan keharusan untuk mempromosikan perjuangan kelas, untuk merebut kekuasaan, dalam rangka menjungkirkan kapitalisme dan menegakkan sosialisme. Sedangkan dalam menghadapi kaum ultra-kiri, kaum Marxis menunjukkan arti pentingnya perjuangan lewat reformasi untuk memanfaatkan semaksimal mungkin lembaga-lembaga demokrasi dan parlemen, demi mendidik, mengorganisir dan mencerahkan kelas buruh, hingga mayoritas rakyat siap bagi pengambilalihan kekuasaan, sebagai sebuah hujaman telak (yang revolusioner) atas kapitalisme.

Konflik berkesinambungan antara kaum Marxis melawan kaum oportunis meletup dengan sengitnya di Eropa—di negeri-negeri dengan perkembangan pergerakan sosialis yang paling maju, yakni Jerman dan Prancis. Di Prancis, Konflik tersebut mengedepan sehubungan dengan persoalan politik praktis yang dilakukan oleh Alexandre Millerand. Millerand adalah seorang anggota Independent Socialis Party (partai sosialis independen). Pada tahun 1899, ia menerima tawaran (dengan pertanggungjawaban perorangan) menduduki jabatan menteri urusan industri dalam sebuah kabinet kapitalis. Itu lah untuk yang pertama kalinya seorang pimpinan sosialis menerima tawaran jabatan di dalam pemerintahan borjuis, namun hal itu bukan yang terakhir kalinya. Millerand membela dirinya dengan dalih bahwa hal tersebut merupakan sebuah keharusan, demi menyelematkan demokrasi Prancis dari kaum Monarkis dan Bonapartis. Menurutnya, kaum Monarkis dan Bonapartis sedang mengeruk keuntungan lewat agitasi-agitasi yang dilancarkan atas kasus Dreyfus, dengan tujuan hendak mengahancurkan republik Prancis Ketiga (Third Republik). Pertikaian tersebut berkelanjutan di sekitar persoalan bahwa apa yang dilakukan oleh Millerand dianggap sebagai penyelewengan dari garis sosialisme, yang mengakibatkan terkjadinya perpecahan—antara sayap-kiri dan sayap-kanan dalam partai sosialis Prancis. Polemik dan kontoversi tersebut bahkan menyebar juga ke seluruh kalangan Sosial-Demokrasi Eropa.

Persoalan mendasar tentang politik koalisi—tentang kolaborasi, kerjasama, persekongkolan antara kaum sosialis dengan sayap liberal kaum kapitalis—dalam menghadapi kekuatan reaksioner lainnnya bukan sekadar permasalahan masa lalu, melainkan masih menjadi persoalan yang harus kita hadapi sampai saat ini. Persoalan tersebut kembali berulang dari waktu ke waktu, dalam rangkaian perkembangan sosialisme. Dan selalu saja kaum oportunis menyeruhkan slogan-slogan dan argumen-argumen palsu yang itu-itu juga, sambil mencari upaya merusak perjuangan kelas buruh—pada tahun 1918, misalnya, Ebert dan scheidemann masuk dalam pemerintah republikan kaum borjuis, dengan dalih “untuk menyelamatkan demokrasi Jerman”. Hasil nyatanya adalah: Nazi menang, revolusi proletarian dihancurkan dengan sangat keras. Ketika kaum sosialis, dan belakangan juga kaum Stalinis, berpartisipasi dalam pemerintahan republikan kaum borjuis Spanyol, dengan alasan yang kurang lebih sama, menyelematkan demokrasi Spanyol dari ancaman kaum monarkis dan fasis, hasilnya; naiknya Franco ke panggung kekuasaan. Suatu ketika, pimpinan kelas buruh dan kaum Stalinis menyatakan bahwa Presiden Roosevelt harus didukung, dalam rangka menangkal kelas ultra-reaksioner di Amerika Serikat, dan program perangnya harus diikuti dalam rangka memukul balik Fasisme di Eropa. Hasilnya: melimpah-ruah lah pengangguran dan upah yang rendah; masih di tambah lagi dengan tindakan keras pemerintah terhadap setiap aksi-aksi pemogokan buruh. Ini lah ‘buah’ yang dapat dipetik setelah menerima program perang: dilancarkannya program “pembersihan orang-orang merah” dari serikat-serikat buruh; perburuan kaum kiri oleh Mc Carthy, di bawah restu dari “kawan-kawan” buruh liberal, yakni Harry Truman. Lagi-lagi, pada tahun 1968, terdengar seruan untuk mendukung Presiden Lyndon Johnson, untuk menghadapi “penjaja perang” Barry Goldwater. Semua itu sama saja 

Hal-hal tersebut di atas, maupun pengalaman-pengalaman sejarah lainnya, yang memiliki kesamaan selama abad ke-20, telah menguji dan membuktikan ketepatan pandangan kaum Marxis—yang sudah dilontarkan semasa Millerand—bahwa kolaborasi politik kaum sosialis dengan perwakilan kapitalisme manapun juga hanya akan memperkuat kelas penguasa yang reaksioner (yang menyingkirkan kelas buruh dan merongrong demokrasi). Bukti-buktinya sudah terdapat dalam diri Millerand, yang di kemudian hari “menyabot”, “memotong” aksi pemogokan buruh-buruh kereta api Prancis. Kolaborasi semacam itu menjadi basis bagi pendirian “Front-front rakyat” (palsu), yang ternyata menggiring kelas buruh Eropa ke dalam jurang kekalahan sebelum perang dunia II; atau persatuan masyarakat dengan imperialis (yang berkedok) demokratik, yang terbukti hanya membawa kehancuran selama peperangan. Kelas buruh sanggup membela hak-hak ekonomi dan demokratiknya, yakni dengan mengorganisir diri dalam perjuangan melawan pemerintah mereka; sama sekali bukan menggabungkan kekuatannya (dengan musuh-musuh kelas mereka sendiri), dalam sebuah koalisi politik.

Dua persoalan tersebut merupakan bagian yang terpadu (integral) dari perjuangan yang lebih luas, antara kaum marxis dengan sayap-sayap revisionis social-demokrasi. Penganjur utama dan pimpinan teoritik kaum revisionis adalah Edward Bernstein. Dalam rangkaian artikelnya, yang berjudul Problem of Soocialism, yang di terbitkan tahun 1897-1898, maupun dalam bukunya yang berjudul Evolutionary Socialism, yang di terbitkan tahun 1899, Bernstein menganjurkan revisi (perbaikan) atas Marxisme, di bawah panduan apa yang ia sebut sebagai “realitas hidup” (yang palsu). Ia adalah pimpinan teoritik oposisi borjuis kecil yang menyimpang dari garis Marxime. Bernstein lah yang dengan pongahnya memperolok dialektika, dengan cara yang sama seperti yang di lakukan oleh Burnham-Shachtman, ketika menentang Socialist Worker Party pada tahun 1939-1940. Ia mencampakkan metode Materialisme histories, bahkan ia menentang makna pentingnya teori pergerakan sosialis secara keseluruhan, juga ia melakukan hal yang sama terhadap teori nilai kerja (yang merupakan fondasi dari keseluruhan struktur ekonomi-politik Marxis)—yang mencakup: Keniscayaan (keharusan) historis sosialisme; keruntuhan, yang tak terhindarkan, kapitalisme; hukum akumulasi modal dan kecenderungan penghisapan yang sermakin mendalam atas kelas buruh. Ringkasnya, ia menjadi penganjur aliansi dengan partai-partai borjuis-demokrat dan metode-metode oportunisme.

Sejarah telah menunjukan kesalahan teori maupun maupun ramalan-ramalan Bernstein. Bernstein sendiri sangat meyakini bahwa kapitalisme telah berkembang secara lebih damai, lebih progresif, dalam menghapuskan krisis-krisis yang ada, dan meningkatkan standar kehidupan massa. Ia meramalkan bahwa reformasi dengan sendirinya (secara bertahap) akan membuka jalan bagi sosialisme; bahwa negeri kapitalis akan berubah menjadi negeri sosialisme (secara damai, tanpa konflik sama sekali). Dan antagonisme kelas akan hilang dengan sendirinya. Padahal, paruh abad ini sendiri telah mempertunjukan berbagai konflik, krisis yang meluas, kelaparan, kemelaratan, pengangguran, berbagai proses pembusukan Kapitalisme. Bersamaan dengan antagonisme kelas yang bergerak, berkonflik, meletus lah perang maupun revolusi.

Bahkan pada masa seperti itu, kaum Marxis—yang di persenjatai dengan sosialisme ilmiah—memenangkan pertarungan teoritik melawan ide-ide revisionisme. Walaupun, memang, masih ada saja orang yang senang memelihara kebiasaan dan praktek-praktek reformis di tubuh partai. Di Jerman: Babel, Kautsky, Rosa Luxemburg, saat itu, memukul mundur kaum revisionis yang dipimpin Bernstein dan Vollmar (yang, ‘kebetulan’, merupakan pendahulu Stalin dalam menganjurkan teori tentang “sosialisme di satu negeri”).

Dalam kongres kaum social-demokrasi Jerman pada tahun 1903, di kota Dresden, Bebel dan Kautsky berhasil mempetahankan keutuhan partai, sekaligus mengeluarkan sebuah resolusi yang di tujukkan kepada kaum revisionis. Resolusi tersebut menyatakan, antara lain:

“Dengan ini, kongres mengutuk keras upaya-upaya para revisionis untuk mengubah garis-garis taktik yang sudah teruji dan sukses, yang telah kita emban selama ini, yang berakar dari perjuangan kelas.
Taktik para revisionis tersebut secara tak terhindarkan akan mengubah watak partai kita, dari sebuah gerakan yang bertujuan penyingkiran secepatnya masyarakat borjuis—dan menggantikannya dengan masyarakat sosialis—menjadi sebuah kelompok yang sekadar puas dengan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat borjuis. Selanjutnya, kongres mengutuk tiap upaya untuk menyembunyikan pertentangan-ppertentangan kelas yang semakin meningkat, terlebih-lebih bila dimaksudkan untuk memfasilitasi kerjasama dengan partai-partai borjuis (di kutip dari Landauer, European Socialism, Vol.1, hal. 359).


Pada kongres Internasional-II di Amsterdam tahun 1904, resolusi Dresden di atas menjadi pusat perdebatan sengit yang berlangsung sampai empat hari. Kongres tersebut juga menjadi saksi bagi terjadinya “duel dua raksasa berkaliber internasional”, yakni antara Jaures (seorang sosialis Prancis) melawan Babel (pimpinan sosialis Jerman). Dengan menerima resolusi Dresden, Internasional-II secara resmi menyingkirkan teori kaum revisionis dan, sekali lagi, mengukuhkan dirinya berdiri tegak di bawah panji-panji revolusi Marxisme.

Kongres Amsterdam sendiri menandai titik puncak Internasional-II. Kongres di hadiri 444 delegasi, yang merupakan kelompok perwakilan gerakan sosialis terbesar dan paling kukuh, sejauh yang pernah dicatat. Ketika Van Kol (seorang sosialis Belanda) memberikan sambutan, ia membandingkan perbedaan yang sangat mencolok antara kongres Internasional tahun 1872 dengan tahun 1904. Di tahun 1872, seingatnya, beberapa lusin delegasi internasional-I bertemu di Den Haag, di sebuah Kafe, hanya untuk membubarkan organisasinya. Dalam waktu 30 tahun, orang-orang pengasingan dan pejuang-pejuang buruh, yang tadinya di buru-buru, kini telah menggerakan dunia.

Tahun itu (1904), merupakan masa kejayaan Internasional-II dan gagasan Marxisme yang diembannya. Kejayaan tersebut masih tetap bisa ditingkatkan lebih jauh—ketika revolusi Rusia pertama meletus pada tahun berikutnya (1905); saat kelas buruh yang masih begitu muda, di bawah kepemimpinan sosial-demokrasi, untuk pertama kalinya, menunjukkan kegagahan Revolusionernya.

Itulah tahap puncak Internasional-II. Tahapan tersebut turun bersama dengan surutnya gelombang pasang revolusioner.

Bab III: Menjangkitnya Oportunisme dalam Sosialis Internasional (1904-1914)

Kongres Amsterdam tahun 1904 dan revolusi Rusia tahun 1905 adalah dua puncak semangat revolusioner dalam sejarah internasional-II. Kongres tersebut menandai kemenangan Marxisme atas ide-ide sayap kanan kaum revisionis. Juga kemengan cita-cita kelas proletarian terhadap upaya-upaya untuk menggiring buruh yang terorganisir ke arah demokrasi parlementer. Kemenangan taktik yang berbasiskan perjuangan kelas yang tegar atas taktik yang berbasiskan oportunisme dan reformisme sosialis. Pendeknya, kemenangan semangat proletarian atas pengaruh-pengaruh borjuis kecil di dalam internasional-II.

Revolusi Rusia tahun 1905 menjadi saksi atas program dan semangat tersebut, yang memandu aksi pengerahan massa secara besar-besaran. Harap di ingat, sejak di pukulnya Komune Paris pada tahun 1871, di Eropa tak pernah ada lagi gejolak revolusioner dalam skala besar, selama sekitar 35 tahun terakhir. Sekarang, justru di kekaisaran T’sar yang terbelakang, yang merupakan negeri yang paling reaksioner di Eropa—dengan sebuah rejim yang absolut, yang menindas lembaga-lembaga demokrasi, memburu-buru kaum sosialis dan gerakan buruh—justru segenap rakyatnya, rakyat Rusia yang tertindas, mulai bergerak lebih dulu di Eropa, terutama setelah kekalahan menuyakitkan yang dialami Rusia dalam perang Rusia- Jepang. Adalah kelas buruh Rusia, yang masih muda, yang berdiri paling depan dalam barisan massa rakyat, gerakan tersebut dipandu oleh kaum sosial Demokratik Rusia.

Dalam sebuah kuliah tentang revolusi 1905 (yang ditulis oleh Lenin dalam pembuangan di Swiss, satu bulan sebelum pecahnya revolusi tahun 1917), Lenin mengamati:

“Sebelum 22 Januari, 1905, partai revolusioner Rusia belum memiliki keanggotaan secara luas, saat itu kaum reformis menyebut kita sebuah “sekte”. Seratusan organiser revolusioner, sekian ribu anggota organisasi lokal, setengah lusin koran revolusiner, yang terbit tidak lebih dari sekali bulan (material-material/koran tersebut biasanya diterbitkan di luar negerri dan di selundupkan ke Rusia dengan kesukaran yang luar biasa, dan dan dengan bayaran pengorbanan yang tidak kecil. Seperti itulah partai-partai revolusioner, dan khususnya Partai Sosial Demokrasi Rusia, sebelum 22 Januari, 1905. Kondisi seperti itu membuat kaum reformis, yang picik dan pongah, terpaksa mengeluarkan justifikasi (pembenaran) bahwa revolusi Rusia adalah peristiwa besar pertama yang membawa hembusan segar dalam atmosfir Eropa yang pengap/membosankan, selama 35 tahun terakhir sejak Komune Paris. Perkembangan cepat dalam perjuangan kelas buruh Rusia, dan kekuatan tak terbayangkan dalam pemusatan aktifitas revolusioner mereka, menghasilkan kesan yang mendalam bagi dunia, dan di mana-mana menghasilkan benih yang mempertajam perbedaan-perbedaan politik. Di Inggris, revolusi tersebut telah mempercepat pembentukan partai buruh independen. Di Austria terjadi desakan-desakan yang kuat untuk menegakkan hak-hak politik rakyat. Di Prancis, gaung revolusi Rusia memberikan dampak bentuk dalam gerakan sindikalisme, yang memberikan pencerahan pad tingkat praktek dan teori bagi berkembangnya kecenderungan revolusioner proletariat Prancis. Di Jerman, revolusi Rusia menunjukan pengaruhnya dalam penguatan buruh sayap Kiri partai, menyeret mayoritas kamu tengah ke kiri, menghasilkan penyingkiran kamu revisionis (Kanan). Sehingga, secara prinsipil, partai menetapkan metode revolusioner dalam aksi-aksi pemogokan umum. (“The War and The International”, hal. 61).

Pemberontakan besar tahun 1905 juga meninggalkan jejak yang mendalam di seluruh Asia dan merangsang revolusi-revolusi melawan kekuatan kolonial di Turki, Persia dan China.

Betapapun, revolusi tersebut di pukul balik dengan sangat keras. Kekalahan revolusi dan kemenangan kekuatan kontra-revolusi, telah mendorong berlangsungnya periode reaksi yang berkepanjangan, dan hal tersebut bukan hanya berlangsung di Rusia, namun juga di setiap penjuru Eropa. Trotsky menggambarkan kemunduruan politik tersebut sebagai berikut:

“ Di Rusia, kekuatan kontra-revolusi menang. Dan, bersamaan dengan itu, dimulai lah periode kemunduran proletariat Rusia; kemunduran kekuatan, baik secara politik maupun secara organisasi di Austria. Jalinan-jalinan kemajuan yang telah di capai oleh kelas buruh, terpotong-putus. Tuntutan bagi pengesahan jaminan sosial untuk rakyat banyak, terbengkalai di kantor-kantor pemerintah. Tuntutan-tuntutan bagi hak-hak politk universal terpuruk dalam kepentingan kaum nasionalis belaka. Semua itu bermuara pada semakin melemah dan terpecahnya kekuatan Sosial-Demokrasi. Di Inggris, setelah sekian lama Partai Buruh melepaskan diri dari Partai Liberal, belakangan ini mulai menjalim hubungan kembali. Di Prancis, kaum sindikalis menyerah pada posisi kaum reformis. Dalam waktu yang singkat, Gustave Harve memutarbalikkan keputusan yang diambilnya sendiri. Di Jerman sendiri, kaum revisionis dalam tubuh partai Sosial Demokrasi, mengangkat kembali kepala mereka dengan pongahnya. Kaum Marxis dipaksa untuk merubah taktik mereka—dari taktik ofensif menjadi taktik defensif. Upaya-upaya kaum kiri dalam mengarahkan partai-partai untuk mengambil kebijakan yang lebih aktif, tak membuahkan hasil. Kaum tengah makin bergerak ke kanan, sambil mengepung kaum radikal/kiri. Kekuatan-kekuatan konservatif menarik nafas lega atas kekalahan revolusi 1905” (“The War and The International”, hal. 63).

Dalam satu kuliah Lenin menegaskan, “…bahwa revolusi rusia 1905, dikarenakan watak proletariatnya, merupakan prolog (pendahuluan), bagi kedatangan revolusi Eropa” (Lenin, Selected Works, Vol. 23, hal. 252). Pandangan tersebut jernih dan tajam—ketika itu, diakui juga oleh kautsky. Namun, pandangan itu tidak dominan di kalangan pemimpin-pemimpin Internasional-II, sehingga tak pernah digunakan sebagai sebuah panduan strategi (terutama pada tahun 1904-1914). Para pemimpin Internasional-II tersebut bekerja dengan menggunakan cara pandang dan analisis yang berbeda. Walau tidak di akui secara terbuka, sesungguhnya cara pandang mereka adalah cara pandang kaum reformis. 

Apa sajakah premis-premis (landasan argumen) mereka? Kini mereka percaya bahwa kapitalisme akan tetap bertahan sampai dengan masa depan yang tak terbatas. Seperti juga saat kapitalisme dapat tetap bertahan di bawah kondisi kolonial: keuntungan luar biasa, yang ditumpuk dan diakumulasi oleh penguasa-penguasa kapitalis semasa ‘naik daunnya’ kapitalisme global, memungkinkan negeri-negeri besar tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan lapisan buruh sedikit remah-remah (sisa-sisa makanan) yang tercecer dari meja makan majikan besar mereka yang rakus. Lapisan buruh yang menikmati hal-hak istimewa itulah yang merupakan aristokrat-aristokrat buruh mereka. Lazimnya, mereka kemudian membentuk partai buruh yang besar dan mapan, ataupun juga serikat-serikat buruh yang birokratis.

Pimpinan-pimpinan partai buruh mapan maupun serikat buruh birokratis tersebut biasanya memilih jalan parlementer, dan menjadi penganjur-penganjur utama bagi kampanye pengambilalihan jalan damai, tak susah-susah dan hidup berdampingan secara ‘berbudaya’ dengan kapitalisme. Mereka tidak bertindak, berpikir dan merasakan—sebagaimana selayaknya perwakilan kelas yang tertindas—namun, lebih mirip penjaga-penjaga toko borjuis kecil, majikan-majikan kecil, atau guru-guru sekolahan. Bersamaan dengan semakin kentalnya kecendrungan borjuis mereka, orang-orang mapan tersebut juga menjadi semakin terisolasi (terasing)—dari penderitaan, kesukaran-kesukaran hidup maupun aspirasi massa rakyat. Mereka juga sudah tidak merasa penting untuk menuntut pertanggungjawaban majikan mereka, apalagi melawannya.

Kaum borjuis kecil bersikap sama terhadap rakyat tanah jajahan (daerah-daerah kolonial), sungguh pun mereka tahu betul bahwa hasil-hasil bumi, kenyamanan penghidupan, standar penghidupan yang lebih tinggi, hak-hak istimewa yang mereka kecap, sebagian besar dihasilkan dari penghisapan atas rakyat-rakyat tanah jajahan. Dengan dinginnya mereka membiarkan begitu saja pengambilalihan daerah-daerah koloni, mereka juga tak mempedulikan kekerasan, penindasan, maupun kemorosotan penghidupan yang menimpa rakyat tanah jajahan. Sekali lagi, mereka memilih bungkam terhadap proses perbudakan yang berlangsung bersamaan dengan kebijaksanaan dan praktek-praktek kolonial maupun imperialis. Sama sekali tak terlintas dalam pikiran mereka: perihal keharusan untuk memblejeti praktek-praktek tersebut di atas, dalam rangka mendidik kelas buruh—dengan membangkitkan kesadaran kelasnya dan membangun ikatan solidaritas/persaudaraan antar kelas buruh dari negeri-negeri yang paling terinjak-injak.

Sebagai konsekwensi logisnya, kaum sayap-kanan dalam gerakan buruh justru menjalin aliansi dengan borjuasi pribumi, untuk menindas rakyat di tanah jajahan (khusunya kelas buruh di perkotaan atau di pinggiran kota ). Ternyata praktek kolaborasi kelas (kerja sama antar kelas) itulah yang dipakai untuk menggantikan perjuangan kelas yang konsisten; itulah akar oportunisme. Lenin menggambarkan hal tersebut sebagai, ”…pengorbanan atas kepentingan fundamental massa kelas buruh, demi kepentingan-kepentingan sesaat minoritas kelas buruh (yang tak penting).” Atau, dengan kata lain, aliansi sebagian kecil kelas buruh dengan kelas borjuis, untuk menindas massa proletariat.

Ada empat yang persoalan yang menandai petumbuhan unsur-unsur kanan kaum oportunis dalam Internasional-II, terhitung sejak tahun 1906 sampai dengan tahun 1914. Yang pertama, dan paling utama, adalah dalam menghadapi persoalan kolonial.

Pada kongres di Stuttgart yang tahun 1907, kaum sayap-kiri menyerukan perjuangan yang prinsipil bagi kebijakan sosialis yang sejati. Dengan demikian, sebagai konsekwensinya, kaum kiri harus menentang setiap penaklukan, praktek-praktek perhambaan, pemerkosaan, panjarahan yang menjadi ciri khas dalam operasi-operasi kolonial oleh kekuatan-kekuatan imperialis.

Kaum oportunis, yang di pimpin oleh serikat-serikat buruh Jerman, menentang setiap upaya untuk melawan kekuatan-kekuatan imperialis. Mereka cenderung memilih beradaptasi/menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan imperialis tersebut. Seorang delegasi Jerman, Eduard David, berargumentasi: karena kebijakan dan penindasan kolonial adalah sesuatu yang tak terhindarkan di bawah kapitalisme, maka kaum sosial-demokrasi tak perlu melakukan perlawanan atasnya. Yang perlu dilakukan kaum sosial-demokrasi adalah berjuang bagi perbaikan-perbaikan kondisi kerja penduduk pribumi di tanah jajahan. Ringkasnya, Eduard David mau mengatakan bahwa perjuangan yang perlu dilakukan bukannya untuk mengakhiri perbudakan, namun sekadar memperbaiki kondisi-kondisi perbudakan.

Bernstein juga berpendapat, bahwa masyarakat memang dapat di bagi dalam dua kategori: kelas penguasa dan kelas yang di kuasai. Bagian tertentu dalam masyarakat memang sepeti kanak-kanak, yang selalu harus di bimbing, tak sanggup mengembangkan diri mereka sendiri. Sehingga kebijakan kolonial, menurutnya, adalah sesuatu yang tak bisa dielakan, bahkan di bawah tatanan sosialisme sekalipun. Bagi ideologi-ideologi (palsu) tersebut, bangsanya sendiri lah yang paling beradab, dan memang terlahirkan sebagai “bangsa yang di pertuan”—atau tak mungkin terjadi sebaliknya, sebagai bangsa yang di perbudak.

Kongres menyelenggarakan pemungutan suara sehubungan dengan ‘persoalan kolonial’ tersebut. Dan hasilnya adalah: kaum revolusionis memperoleh 127 suara, sedangkan kaum oportunis 108 suara, sisanya, 10 suara, menyatakan abstain (tidak memilih). Semua kaum sosialis Rusia yang yang hadir dalam kongres tersebut memilih dengan semangat revolusioner; sementara mayoritas pimpinan serikat-serikat buruh Jerman mendukung kaum oportunis. Pilihan-pilihan yang mereka ambil tersebut merupakan isarat tersendiri, yang akan terbukti nanti dalam sejarah.

Perdebatan kedua adalah mengenai kebijakan imigrasi. Seorang delegasi Amerika berpendapat bahwa Internasional-II seharusnya mengeluarkan tuntutan untuk memberlakukan Undang-undang yang membatasi masuknya kelas buruh-buruh berkulit kuning ke “negeri-negeri beradab”. Yang hakikatnya, usulan untuk membangun tembok pemisah antara kelas buruh di Asia dengan yang tinggal di Amerika /Eropa, lewat sebuah perundang-undangan kapitalis. Cara pandang semacam itu telah menjadi semacam tradisi dalam kebijakan buruh Amerika, yang masih berlaku sampai hari ini.

Perdebatan ketiga, yang lebih penting, adalah menyangkut hubungan antar partai-partai sosialis dengan serikat-serikat buruh. Di satu pihak, ada kecenderungan bahwa para pimpinan serikat buruh merasa nyaman dengan hak-hak istimewa yang dimilinya—sambil ‘membina’ kelas buruh yang masih terbelakang. Mereka itulah yang menentang dan berusaha melepaskan diri dari segala bentuk kontrol/pengawasan politik—yang lazim bagi sebuah partai yang menggunalkan metode perjuangan kelas. Karenanya, orang-orang tersebut senantiasa menyerukan ‘netralitas’ serikat buruh bila dikaitkan dengan program-program ataupun aktifitas –aktifitas partai sosialis. Harap dicatat, bahwa lahan subur bagi pertumbuhan oportunisme dan arah gerak ke kanan dalam internasional-II justru di pelopori oleh serikat-serikat buruh.

Memang, kita pahami benar bahwa otonomi organisasional bagi serikat-serikat buruh adalah sebuah keharusan. Namun independensi total bagi serikat-serikat buruh bukanlah suatu keharusan. Independensi total bagi serikat-serikat buruh, dalam praktek dan kebijakannya, adalah sesuatu yang mustahil. Mengingat, bahwa dalam peta pertarungan kekuasaan politik, serikat-serikat buruh tersebut hanya punya dua pilihan: jatuh ke bawah cengkeraman kapitalis dan pemerintahannya, atau berjuang bersama kelas oposisi/penentang kelas kapitalis, yakni bersama massa proletariat. Sehingga kita tidak mengenal ‘jalan tengah’ dalam menghadapi persoalan di atas. Dengan melakukan pemisahan antara perjuangan politik dengan perjuangan ekonomi, kaum sayap kanan hanya ingin mendapatkan pengesahan atas oportunisme mereka.

Dalam kongres di Stuttgart tersebut, keinginan-keinginan atas ‘netralitas’ serikat-serikat buruh berhasil diselesaikan oleh kaum revolusionis, yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip fundamental Marxime. Mengenai hal ini Clara Zetkin menuliskan catatannya, sebagai berikut, “Kini, secara prinsipil, tak ada lagi suara-suara yang mempertanyakan kecenderungan historis (yang pokok) dalam perjuangan kelas proletar; untuk mempersatukan pengorganisasian kerja-kerja ekonomi dan politik seerat mungkin dalam suatu perjuangan kelas buruh sosialis.” (dikutip oleh Lenin dalam Colleceted Works, Volume 13, hal. 89).

Komentar Lenin sendiri atas perdebatan tersebut: “Sambil menjalani proses penahapan dan hubungan timbal-balik yang yang tak terelakan (antara partai revolusioner dengan serikat buruh—penj.), kita tak boleh mengambil langkah-langkah yang gegabah/tak bijaksana, kita harus bekerja secara konsisten dengan serikat-serikat buruh, dalam rangka memandu mereka ke arah yang lebih dekat dengan Partai Sosial-Demokratik” (Lenin, Collected Works, Volume 13, hal. 89).

Problem mengenai hubungan antara partai pelopor dengan proletriat, sebagaimana seharusnya, yang dikaitkan dengan hubungan kepada serikat buruh—yang mencerminkan proletariat sebagaimana seadanya (betapapun kurang maksimalnya)—merupakan salah satu persoalan penting dalam khasanah revolusioner Marxisme. Hal tersebut juga sekaligus merupakan problem yang paling sukar untuk ditangani di tingkat praktek.

Hubungan tersebut tidak saja memiliki perbedaan-perbedaan di negeri-negeri yang berlainan, namun memiliki perbedaan-perbedaan dalam tingkat perkembangannya bahkan di negeri yang sama. Pergerakan serikat buruh telah menjadi saksi bagi terjadinya dua macam hubungan yang mewakili dua kubu yang berbeda. Di Jerman dan Rusia pada umumnya, Partai Sosial-Demokrsi lah yang mengambil inisiatif dalam membentuk dan memipimpin organisasi serikat-serikat buruh. Bagi Inggris dan Amerika Serikat, dilain pihak, gerakan sosialis dan gerakan serikat buruh dilahirkan dan berkembang secara terpisah, bahkan saling bertentangan satu dengan lainnya.

Kaum sindikalis, yang cukup berpengaruh di Prancis dan Spanyol, juga menentang segala kaitan/hubungan antara serikat buruh dengan partai politik kelas buruh.

Belakangan, di beberapa negeri imprealis utama, seperti di Inggris dan juga di Kanada, pergerakan politik di awali dengan kebangkitan serikat-serikat buruh. Dan, secara bertahap, melebur dengan partai pelopor, dalam bentuk partai-partai buruh—dengan ataupun tanpa program/idiologi sosialis yang dinyatakan secara terbuka.

Dengan variasi peluang/kemungkinan yang begitu beragam (dari dua kubu besar tadi), nampaknya tidak akan ada satu formula yang final/absolut untuk menentukan hubungan antara pergerakan ekonomi dan politik kelas buruh. Pilihan terbaik yang perlu diambil, dalam tahapan perkembangan tertentu, sangat tergantung pada keseluruhan faktor politis-historis yang kompleks.

Betapapun, ada satu pertimbangan yang akan tetap konsisten bagi kaum Marxis. Yakni, soal peranan politik yang dinilai lebih menentukan/lebih penting ketimbang peran ekonomi, yang secara organisasional tercerminkan dalam peranan partai atas urusan-urusan serikat-serikat buruh. “Politik”, demikian ungkap Trotsky, “Adalah pencerminan umum yang terfokus, yang berangkat dari persoalan-persoalan ekonomi”.

Trotsky menggambarkan tujuan ideal atas hubungan (partai dan serikat buruh), sebagai berikut: Partai—bila memang cukup berharga untuk disebut demikian—mencakup keseluruhan pelopor kelas buruh. Partai menggunakan pengaruh pengaruh idiologisnya untuk membangun tiap ‘cabang’ dari pergerakan buruh untuk menghasilkan panen (khusunya bagi gerakan serikat buruh). Namun bila serikat-serikat buruh juga hendak benar-benar dianggap cukup berharga, serikat-serikat buruh tersebut juga harus merangkul massa buruh yang sedang terus tumbuh-berkembang, dan meliputi juga elemen-elemen buruh yang belum maju. Sehingga serikat-serikat buruh tersebut baru lah menuntaskan tugas mereka bila berhasil memandu buruh-buruh (secara sadar) dengan prinsip-prinsip yang fundamental. Mereka hanya akan meraih kepemimpinannya bila elemen-elemen terbaik buruh-buruh tersebut telah dipersatukan di dalam partai proletariat yang revolusioner.” (Tulisan Leon Trotsky mengenai serikat buruh, hal. 12) Internasional-II memang sudah cukup baik dalam menyerukan hal tersebut namun, sayang sekali, masih kurang cukup mendalam meyadari sepenuh-penuhnya.

Sementara itu, kekuatan-kekuatan utama di Eropa telah terlibat dalam manuver-manuver diplomatik dan berpacu dalam perlombaan senjata, yang akan memuncak dalam perang tujuh tahun kemudia. Dengan demikian, dalam rangka mengantisipasi persiapan tersebut di atas, kaum sosialis memberikan porsi yang sentral dalam kongres Internasional-II di Stuttgart.

Ada tiga posisi klasik yang mengedepan dalam kongres Internasional-II di Stuttgart. Cara pandang oportunistik diwakili oleh Georg Vollmar (seorang pimpinan sayap-kanan Partai Sosial-Demokrasi Jerman). Vollmar secara terbuka menolak prinsip-prinsip revolusioner proletariat dan, malah, berkhotbah tentang petriotisme bagi ‘tanah air’ (baca: membela negeri Jerman yang kapitalistik). Bukan lah tanpa alasan bila kita menelusuri akar perkembangan teori sosialisme di satu negeri, misalnya, dalam pernyataannya, Vollmar Vollmar menyatakan: “Tidak benar kalau ada yang mengatakan bahwa kita tidak memiliki tanah-air. Segala kecintaan kita akan kemanusiaan, tidak dapat menghindarkan kita untuk menjadi orang-orang Jerman yang baik. Kami berpendapat, bahwa propaganda anti-militer bukan saja tidak benar dari sudut pandang teori, tapi juga sama sekali berbahaya secara prinsip.”

Dari sudut pandang yang sama sekali bertolak belakang belakang dengan pandangan tersebut, seorang Prancis bernama Herve, mewakili posisi kelas ultra-kiri. Herve berpendapat bahwa tiap peperangan dapat diantisipasi dengan aksi pemogokan buruh besar-besaran, yang diikuti dengan pemberontakan. Menurut Lenin, Herve telah melupakan, “Bahwa penggunaan atas suatu alat/sarana (maupun sarana-sarana lainnya), dalam perjuangan ( menghadapi perang) sangat bergantung pada kondisi-kondisi obyektif krisis tersebut—secara ekonomi ataupun politik—yang dipercepat oleh perang tersebut. Sehingga, bukan lah bergantung pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum revolusioner .” (Lenin, “Collected Works”, Volume 13, hal. 91)

Pengalaman telah menunjukan, bahwa aksi pemogokan umum (di tingkat nasional) adalah sesuatu yang mustahil pada saat pecahnya perang, ketika chauvinisme dan persatuan nasional sedang begitu memuncak, ketika kaum pemodal begitu kuat serta kelas buruhnya masih sangat lemah. Menurut Lenin, formula yang diusulkan oleh Herve adalah salah, karena, “tidak sanggup mengaitkan perang dengan rejim kapitalis secara keseluruhan; dan juga tak sanggup menghubungkan agitasi anti-militer dengan kerja-kerja sosialisme secara keseluruhan.” (Lenin, “Collected Works”, Volume 13)

Kasus herve tersebut sangat penting (terutama) untuk menunjukkan bagaimana semua seruan kaum borjuis kecil bagi avonturisme (petualangan) ultra-kiri sebenarnya sedang berjudi atas persoalan-persoalan yang sedemikian pentingnya, yang merupakan kebalikan dari oportunisme ekstrim, atau justru merupakan sisi lain dari mata uang yang sama. (sejarah mencatat bahwa Herve—si anti-militer yang fanatik itu—justru menjadi patriot yang bebal pada tahun 1914.

Sayap Marxis dalam Internasional-II, yang dipimpin oleh Lenin, Rosa Luxemburg dan Clara Zetkin, memenangkan perdebatan (keempat) terakhir mengenai peperangan. Zetkin mengekspresikan momen tersebut sebagai berikut: ”… semangat keberanian dan energi revolusioner kelas buruh dalam kapasitas tempurnya, berhasil memukul mundur keyakinan mandul yang digenggam erat oleh orang-orang yang bersandar pada metode perjuangan parlementarian. Selain itu, juga berhasil mengatasi kedangkalan cara pandang anti-militeris kaum semi-anarkis Prancis yang di kampanyekan oleh orang-orang seperti Herve.” (Lenin, “Collected Works”, Volume 13, hal. 92)

Kongres mengeluarkan kesimpulan, yang ditetapkan sebagai resolusi, yang menyatakan bahwa peperangan, “… adalah bagian yang tak terpisahkan dari Kapitalisme. Peperangan hanya bisa dihentikan ketika sistim kapitalisme itu sendiri di hapuskan…” Resolusi tersebut mengumandangkan seruan yang menolak segala pembiayaan untuk membeli senjata dan juga bagi propaganda militer. Dinyatakan pula bahwa, sementara belum ada ketentuan umum, “bentuk-bentuk baku aksi-aksi anti-militer yang perlu dilakukan oleh kelas buruh. Dalam mengantisipasi saat-saat ancaman perang, betapapun, adalah tugas Internasional-II untuk “… mengkordinasikan dan meningkatkan upaya-upaya kelas buruh yang paling maksimal dalam menghadapi peperangan.” Sebagai tambahan, resolusi tersebut juga mengutip sejumlah contoh mengenai aksi anti-perang yang cukup berhasil yang dilakukan oleh kelas buruh. Antara lain, disebutkan pula revolusi Rusia 1905, yang dipercepat oleh perang Rusia-Jepang. Bahaya ancaman (tak langsung) yang dapat mengarah ke revolusi, dijelaskan dalamn alinea penutup resolusi, yang di rancang bersama oleh Rosa Luxemburg, Lenin, dan Martov:
“Bila sebuah perang nampaknya akan meletus, adalah tugas kelas buruh dan perwakilan-perwakilannya di parlemen negeri-negeri yang bersangkutan untuk mencurahkan dukungan (dengan aktifitas-aktifitas yang di kordinasikan dari kantor pusat sosialis Internasional), dengan mengerahkan segala upaya, dalam rangka mencegah meletusnya perang. Juga, dengan sarana apapun, yang paling efektif, menurut mereka. Semua itu sangat bergantung pada penguatan perjuangan kelas dan juga penajaman situasi politik secara umum.


Jika peperangan tersebut nampaknya tidak dapat di cegah dengan cara apapun juga, maka adalah tugas kelas buruh untuk melakukan intervensi (campur tangan). Semuanya itu dalam rangka untuk mendorong terjadinya percepatan dan, bersamaan dengan segenap kkekuatannya, memanfaatkan krisis ekonomi dan politik (yang diciptakan oleh peperangan) demi membangkitkan massa rakyat, yang akan memacu kejatuhan kekuasaan kelas kapitalis.” (Untuk teks selengkapnya resolusi tersebut, lihat Braunthal, hal. 361-363)

Nampaknya, bahwa, dari ringkasan pertimbangan maupun ketetapan yang dibuat dalam kongres Internasional-II kedua di Stuttgart—yang merupakan ciri khas bagi kongres-kongres lainnya sampai dengan tahun 1914—walaupun ada gangguan-gangguan yang dipicu oleh kaum oportunis, gagasan Marxis tetap bertahan di dalam tubuh Internasional-II. Bila kita sekadar melihat dari luar, maka kita akan keliru dalam menilai posisi-posisi formal yang diambil oleh orang-orang tersebut ehubungan dengan situasi nyata yang melingkupi Internasional-II.

Penampilan kontradiktif Internasional-II menjadi semakin nyata setelah kongres di Copenhagen tahun 1910. Dari tahun 1910 sampai dengan 1913, pergolakan sosial dan konflik-konflik kelas yang tajam mengguncang hampir semua negeri, misalnya pergolakanara buruh tambang, buruh-buruh kereta rel api, buruh-buruh mesin dan buruh-buruh penambangan emas di Rusia, buruh-buruh perusahaan tekstil maupun penambangan di Amerika. Ternyata kondisi-kondisi sosial tersebut malah bermuara pada gerakan reformasi, yang nemotong kebangkitan elan revolusioner.

Perjuangan nasionalis juga menyebar di Turki, di Timur Dekat, di China. Semua perkembangan domestik tersebut berjalin erat dengan krisis-krisis di tingkat internasional—Insiden Agadir, yang memicu bentrokan antara Perancis-Jerman di Maroko pada tahun 1911; perang merebut Libya antara Turki-Italia; perang Balkan pertama tahun 1912; dan lain-lainnya.

Itulah goncangan-goncangan yang menggoyahkan Eropa pada tahun 1914. Namun,, sementara itu, sentimen-sentimen nasionalisme, kekuatiran akan perubahan-perubahan drastis, keraguan atas daya kekutan kelas buruh dan aliansi-aliansinya, mengakibatkan merebaknya kecenderungan-kecenderungan oportunis dan munafik, yang merupakan perpaduan pengecut dari oportunisme kelas menengah.

Wabah menular tersebut, dalam tubuh partai-partai sosialis utama, ternyata memang sangat berbahaya. Mengakibatkan mandul dan runtuhnya Internasional-II, sebagai sebuah kekuatan progresif , padahal gejolak konflik perang dunia sudah mulai pecah tepat di hadapan mukanya.


Dari PRM
×