BAB I
Indonesia Dalam Sistem Kapitalis Dunia
Umat manusia mempunyai sejarah yang panjang selama ribuan tahun. Dari sejarah yang panjang tersebut terdapat ciri-ciri pokok dan pola-pola umum untuk memahami dan melihat perkembangan manusia dan moif-motif yang menyebabkan kemajuan peradaban manusia. Setiap tahap dan pola masyarakat yang ada di bumi ini, termasuk masyarakat Indonesia harus dilihat dari perkembangan cara-cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagaimana manusia menghidupi dirinya akan menentukan posisi dan kepentingannya dalam masyarakat, karena itu dapat ditentukan bahwa kepemilikan dari alat-alat/sarana-sarana produksi merupakan akar, sebab, asal muasal dari motif-motif penindasan atau pembebasan umat manusia. Sejarah manusia berkembang melalui tahap-tahap perkembangan sejarah masyarakatnya. Kapitalisme merupakan suatu tahap masyarakat produksi komoditi (barang dagangan) yang maju dan melimpah. Dan, dalam masyarakat kapitalisme, pemegang modal menentukan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Kekayaan sumber daya alam, teknologi dan sumber daya manusia yang ada dibumi sebetulnya cukup menghidupi seluruh umat manusia. Tapi, dibawah hubungan masyarakat kapitalisme, semua syarat-syarat kehidupan yang adil dan sejahtera bagi umat manusia di bumi dirampas untuk kenikmatan sekelompok golongan yang minoritas. Sejarah ekspansi (perluasan) kapitalisme di Indonesia masuk berbarengan dengan kolonialisme dan imperialisme. Perkembangan tersebut menyebakan tidak tuntasnya proses penaklukan feodalisme (lokal) ke dalam sistem masyarakat yang lebih maju. Sisa-sisa kultur feodalisme tetap bertahan dan hidup untuk dimanfaatkan oleh kepentingan kelas dominan masyarakat yang lebih maju. Proses penetrasi, akumulasi dan penyerapan masyarakat Indonesia dalam kapitalisme dunia, secara ekstrim, dilakukan melalui pemaksaan-pemaksaan dan persekongkolan dengan penguasa elit Indonesia di lingkungan militer dan birokrasi. Proses integrasi masyarakat Indonesia yang kaya sumber tenaga kerja dan sumber-sumber alam ke dalam sistem kapitalisme dunia diawali dengan tumbangnya pemerintahan koalisi konstitusional dibawah pemerintahan presiden Sukarno. Tumbangnya suatu koalisi pimpinan Sukarno merupakan suatu syarat-syarat politik yang tidak terhindarkan dari strategi imperialisme untuk memusnahkan kekuatan-kekuatan politik masyarakat Indonesia yang menolak corak masyarakat kapitalis sebagai dasar dalam hubungan sosial masyarakat. Dengan tumbangnya pemerintahan koalisi pimpinan Sukarno, dipasangkanlah rantai kapitalisme keleher masyarakat Indonesia. Babak eksploitasi (penghisapan) kapitalisme tersebut dilakukan dengan memanipulasi dan mengebiri alat-alat politik demokrasi yang ada seperti Parlemen, pemilu dan lima paket UU politik. Tapi, pada substansinya, ABRI/TNI lah yang mengontrol semua ruang politik masyarakat dengan menciptakan suatu negara yang berwatak militeris-kapitalis. Militeris dalam mekanisme kontrol dan mempertahankan kekuasaan politik. Kapitalis dalam arti kepentingan-kepentingan yang dibelanya. Dengan syarat-syarat ekonomi politik tersebut dimulai lah suatu akumulasi modal dengan cara-cara primitif atas masyarakat Indonesia. Kaum buruh dan kekayaan alam diekploitasi sehabis-habisnya dengan brutal untuk mengembang biakkan induk-induk imperialis Jepang, Amerika, Korea Selatan, Inggris, Taiwan, Hongkong, Jerman, dll.
Konspirasi-konspirasi antar imperialis seperti APEC, NAFTA, AFTA, European Union (EU) diciptakan untuk semakin merangsang penghisapan dan mengoptimalkan perbudakan sebuah masyarakat di suatu bangsa untuk kepentingan perusahaan multi-nasional. Masyarakat Indonesia di bawah rejim orde baru, kaum buruh khususnya, terserap kedalam arus bah globalisasi kapital. Semua kongsi-kongsi perdagangan antar bangsa tersebut pada prinsipnya adalah salah satu jalan sistem Kapitalisme untuk membagi-bagikan pasar buruh murah dan sumberdaya alam agar terhindar dari krisis dan tetap mempertahankan hegemoni politik mereka. Kompromi-kompromi di antara pemegang kapital multi nasional dalam berbagai kongsi perdagangan regional adalah salah satu cara agar rivalitas akumulasi modal tidak meledak menjadi perang fisik terbuka dengan menggunakan operasi perang seperti PD I dan PD II. Desakan-desakan imperialis pun tidak kuasa ditahan oleh banyak bangsa-bangsa Dunia Ketiga. Kebijakan perdagangan pemerintah di manapun termasuk Indonesia lalu disesuaikan dengan paket deregulasi ekonomi sebagaimana tampak dengan dikeluarkannya peraturan yang membolehkan modal asing melakukan investasi 100% pada tahun 1994. Paket-paket deregulasi dan perundangan merupakan mega proyek dari Bank Dunia untuk mengintegrasikan dunia dalam hegemoni neoliberalisme. Jumlah investasi asing yang masuk ke Indonesia terus meningkat, seperti yang tergambar dari tabel di bawah ini:
JUMLAH INVESTASI ASING DI INDONESIA
(MILIAR $)
Negara 1990 1991 1992
Inggris 58 536 966
Hongkong 993 278 1.054
Jepang 2.241 929 1.390
Singapura 264 346 439
Korea Selatan 723 301 617
Taiwan 618 1.057 559
Negara lain 3.853 5.331 5.155
Total 8.750 8.778 10.180
BAB II
Asal-usul Kapitalisme di Indonesia
Indonesia adalah negeri yang strategis, yang memiliki syarat‑syarat untuk menjadi negeri yang makmur dan sejahtera; luas tanah dan laut, kekayaan alam, serta jumlah tenaga kerjanya melimpah (86.000.000 tenaga kerja). Letak geografisnya menguntungkan; terletak di antara dua benua (Asia dan Australia), serta diapit dua samudera, (Samudra Hindia dan Pasifik, pusat pertumbuhan ekonomi menjelang dan di abad ke 21 nantinya). Kebudayaannya kaya, beragam, dan bila berpapasan dengan kebudayaan rakyat negeri lain, bisa memberi syarat‑syarat bagi tumbuhnya masyarakat yang dinamik dan kuat. Indonesia berpotensi membentuk kebudayaan rakyat dunia, satu‑satunya kebudayaan yang layak dikembangkan. Tiada alasan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang miskin, tidak adil, dan berkebudayaan cupet (parokial).
Masyarakat Feodal yang Lebih Mirip Masyarakat Penyakap (Tenancy)
Dalam sejarahnya, masyarakat Indonesia, pernah hidup dalam sistem feodal yang unik. Kami menyebutnya masyarakat penyakap. Masyarakat tersebut berkembang sebelum kapitalisme dicangkokkan oleh kolonialisme ke negeri ini. Karenanya belum dikenal pula industri modern, kapital finans, bank‑bank, organisasi administrasi modern, jaringan jalan tranportasi, komunikasi modern dan sebagainya. Ciri‑ciri masyarakat Nusantara saat itu: perekonomian penyakapan, yang berbasis pada produksi pertanian, diorganisir dengan alat‑alat produksi sederhana, sehingga hasilnya terbatas untuk keperluan sendiri, sedikit untuk dipertukarkan, dan sebagian untuk upeti penguasa pusat (raja) melalui administratornya (lurah, wedana dan bupati), yang memperoleh tunjangan berupa sepetak tanah tak lebih dari 3 ha. Selain upeti, rakyat juga dikenakan penghisapan tambahan berupa kerja bagi negara-kerajaan dan bagi administratornya.
Tanah adalah milik Dewa/Tuhan, dan raja adalah utusan Dewa/Tuhan yang berhak atas penguasaan dan pemilikan tanah tersebut, dan dibagi‑bagi berupa petak-petak kepada sikep‑sikep, dan digilir pada kerik-kerik (calon sikep‑sikep), bujang‑bujang (belum berkeluarga) dan numpang-numpang (penduduk dari desa lain) (istilahnya beragam di beberapa tempat). Karenanya, penggarap tak dapat menggarap tanah secara luas. Teknologi rendah dengan tanpa mobilisasi pekerja besar‑besaran di tanah garapan, merupakan penyebab rendahnya hasil produksi. Hingga kini, sisanya masih ada: untuk menggarap tanah 0,5 ha saja diperlukan tenaga tambahan selain dirinya atau keluarganya.
Sistim giliran ini tidaklah bermakna ada keadilan dalam pemilikan tanah. Prakteknya, tanah dibagi secara diskriminatif: banyak yang hanya digilir pada keluarga dan kerabat dekat. Pemuda dan kaum perempuan mendapat giliran yang lambat atau tanah yang tidak subur serta irigasinya buruk. (Sistim giliran inilah basis bagi terbentuknya budaya n'jilat ke atas, nginjek ke bawah.)
Tekanan jumlah penduduk dibarengi dengan pemetakan-pemetakan tanah kecil menyulitkan adanya pemilikan tanah secara luas baik oleh penggarap maupun segelintir bangsawan. Jika pun ada mobilisasi tenaga kerja besar‑besaran, tujuannya hanya kerja paksa untuk proyek mercusuar negara‑kerajaan, layaknya di Mesir. Dengan begitu, kata bangsawan di sini bukanlah dalam pengertian bangsawan Eropa, Tiongkok, atau para‑pemilik hacienda (koloni perkebunan feodal) seperti di Amerika Latin atau Filipina.
Teknologi rendah, hubungan sosial yang menindas‑‑pemilikan petak‑petak tanah sempit, dan ketiadaan bangsawan yang memiliki tanah luas‑‑dan tekanan penduduk menyebabkan sulitnya para bangsawan bertransformasi menjadi borjuis/kapitalis di landasan teknologi maju. Karenanya, gagal merangsang berkembangnya industri. Pembukaan bandar‑bandar dan pertukaran luar negeri adalah basis bagi tumbuhnya cikal bakal borjuis pesisir dengan syah bandar dan saudagar, calo-calo, serta tengkulak‑tengkulaknya. Namun melalui pajak pelabuhan yang disentralisir ketat oleh negara/kerajaan, kemudahan itu malah diarahkan bagi pertumbuhan teknologi‑demi‑kerajaan demi proyek-proyek mercusuar dan peperangan.
Kepentingan kekuasaan itu yang kemudian menumpas cikal bakal masyarakat borjuis pantai yang pioner. Penghisapan ekonomi dan penindasan politik ini telah membuat kaum tani memberontak melawan kekuasaan raja dan para bangsawan. Baik di masa kerajaan Mataram I (abad VIII‑IX), dan jauh sebelumnya, yakni masa Kerajaan Kediri (awal abad XI‑XIII)‑‑pemberontakan kaum tani yang dimanipulir Ken Arok‑‑serta pemberontakan‑pemberontakan kaum tani lainnya.
Kemunculan gerakan‑gerakan perlawanan pada setiap jaman harus dipandang sebagai lompatan kualitatif dari tenaga‑tenaga produktif yang terus berkembang maju (progressive) berhadapan dengan hubungan‑hubungan sosial yang dimapankan (conservative).
Merkantilisme, Kolonialisme/Imperialisme dan Pencangkokan Kapitalisme
Embrio kapitalisme mulai bersentuhan dengan masyarakat di Nusantara di awal abad ke‑15 melalui merkantilisme Eropa. Perkembangan teknologi perkapalan di Eropa Selatan, memberi basis bagi embrio kolonialisme/imperialisme dan kapitalisme, terlebih seusai berhasil menjatuhkan monarki absolut. Tapi, pertumbuhan ini dimulai dalam bentuk paling primitif dan sederhana. Daerah operasinya terbatas di daerah pesisir dan kota besar, seperti Malaka dan Banten. Bentuk komoditinya bertumpu pada komoditi pertanian dan perkebunan, seperti tanaman keras atau rempah-rempah. Komoditi ini adalah kebutuhan pokok utama untuk industri farmasi di Eropa.
Tahun 1469 adalah tahun kedatangan ekspedisi mencari daerah baru yang dipimpin Vasco da Gama (Portugis). Tujuannya mencari rempah‑rempah yang akan dijual kembali di Eropa. Kemudian menyusul penjelajah Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512. Penjelajah Belanda baru datang ke Nusantara tahun 1596, dengan mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten. Selanjutnya didirikanlah kongsi dagang VOC (Verenidge Oost Indische Compagnie) tahun 1602.
Dalam waktu singkat, kapital dagang Belanda menguasai Nusantara. Banten dikuasai, sehingga Belanda dapat mengontrol pintu barat Nusantara, dan Makasar dikuasai agar mereka bisa mengontrol wilayah timurnya. Di Jawa, kekuasaan raja‑raja feodal dapat mereka runtuhkan, dan menjadikan mereka antek kolonialisnya, dan keharusan membayar contingent (pajak natura).
Kekuasaan Belanda ini terinterupsi 4 tahun dengan berkuasanya kolonialisme Inggris sampai tahun 1813. Kolonialisme Inggris masa Raffles, adalah tonggak penting hilangnya konsep pemilikan tanah oleh kerajaan. Dalam konsep Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang diwakilkan pada raja, tapi milik negara. Karenanya, pemilik dan penggarap tanah harus membayar landrente (pajak tanah)‑‑pajak ini mengharuskan sistim monetasi (keuangan) dalam masyarakat yang masih terkebelakang sistim monetasinya, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya renten dan ijon.
Pengganti Raffles, Daendles, Gubernur Kolonial Belanda, meneruskan kebijaksanaan itu. Wilayah Nusantara jatuh lagi ke tangan Belanda. Politik mereka dijalankan dengan tetap mempertahankan kapitalisme kolonial yang primitif; bahkan tahun 1830-1870 pemerintah Belanda menyelenggarakan tanam paksa (cultuurstelsel). Hal ini dikarenakan kebangkrutan kas mereka, yang selama ini dihabiskan untuk menumpas perlawanan‑pelawanan rakyat di Nusantara dan perang pemisahan Belgia, dan korupsi. Ciri‑ciri tanam paksa tersebut berupa:
- Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa, seperti tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela, dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh Pemerintah Belanda;
- Perubahan (baca:penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija,
- Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengangkutan,
- Optimalisasi pelabuhan, termasuk pelabuhan alam,
- Pendirian pabrik‑pabrik di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni,
- Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah,
- Pembebanan berbagai macam pajak.
Hindia Belanda, Ajang Kolonialisme/Imperialis
Pada pertengahan abad 19, terjadi perubahan di Negeri Belanda, yaitu menguatnya kaum kapital dagang swasta‑‑seusai mentransformasikan monarki absolut menjadi monarki parlementer dalam sistim kapitalisme‑‑dan terjadi pula perubahan di Nusantara/ Hindia Belanda. Akumulasi kapital yang dimiliki kapitalis dagang ini memberi basis perluasan ekspansi modalnya di Hindia Belanda, menuntut peran kekuasaan modalnya lebih besar daripada negara.
Logika modal seperti itu wajar, agar bisa mulus bertransformasi menjadi kapitalis industri‑‑swasta, mengerosi monopoli negara lebih cepat. Namun, monopoli negara ini tidak berarti state qua state, negara demi negara, atau negara menciptakan kelas, karena logika modal menyatakan bahwa negara adalah alat kaum modal‑-cepat atau lambat, kaum kapital akan mengerosi campur tangan negara, terutama untuk monopoli produksi, perdagangan dan keuangan.
Perubahan syarat‑syarat kapitalisme ini pun menuntut perubahan dalam metode penghisapan dan sistem politiknya: dari politik dagang kolonial yang monopolistik ke politik kapital dagang‑industri yang bersifat persaingan bebas, sebagai akibat tuntutan swastanisasi oleh kelas borjuis yang baru berkembang. Metode penghisapan baru yang lebih modern ini, menuntut tersedianya tenaga produktif yang lebih modern‑‑tanah jarahan yang lebih luas (yaitu Sumatera), perubahan dan pembangunan sistim irigasi yang lebih modern, tenaga kerja yang lebih banyak, terampil, dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan hubungan produksi pengupahan; bahkan perubahan dalam suprastruktur, seperti hukum poenale sanctie (Sangsi penjara bagi buruh yang kabur atau melepas kontraknya sebelum masa kontrknya selesai), birokrasi, bahasa, pendidikan, bacaan dan terbitan Di sinilah awal kelahiran kaum buruh di Hindia Belanda yang berkesadaran baru pula. Ciri‑cirinya:
- Munculnya kaum buruh upahan dengan sistem kerja industri kapitalis di tanah jajahan,
- Bertebarannya pabrik‑pabrik, terutama pabrik gula, karung goni tekstil, kelapa sawit dan tembakau‑‑yang dimiliki kapitalis swasta Belanda dan bangsa Eropa lainnya‑‑dan belakangan minyak serta barang galian;
- Perubahan dan pembangunan sistim pengairan baru;
- Mobilisasi tenaga kerja dalam selubung transmigrasi;
- Dikikisnya basis produksi feodal (penyakapan);
- Lahirnya lembaga‑lembaga pendidikan modern;
- Lahirnya sistim yuridis baru yang belum sepenuhnya mengemban ideologi liberal;
- Alat propagandanya‑‑manipulasi humanisme kaum sosial‑demokrat kanan‑‑politik etis (politik balas budi).
Di masa kapitalisme, kaum buruh upahan dengan produksi yang dihasilkannya‑‑pengolahan tanah, perubahan sistim irigasi, penggunaan kerbau, sapi dan kuda sebagai alat bajak dan alat angkut tambahan, mesin, pabrik, kapal laut, roda, kereta api, bangunan pabrik, jembatan dll., yang bermuara menjadi barang dagangan‑‑plus kesadaran dan tindakan politiknya‑‑kesadaran membaca, berorganisasi, kursus, rapat, demonstrasi, pertemuan umum, persatuan, forum, debat, polemik, perpecahan, pengrahasiaan, dan akhirnya pemberontakan, revolusi‑‑adalah tenaga‑tenaga produktif yang terus melimpah.
Itulah wajah cara produksi kapitalis yang bersifat menghisap/menindas di Hindia Belanda, dan sedang mengalami perlawanan. Kemudian‑‑setelah sukses mengikis monopoli negara atau memperlancar swastanisasi, ekspor kapital‑‑kapitalisme berkembang lebih jauh ke tahap imperialisme. Artinya, kapitalisme dalam momen tertentu telah menghilangkan kontradiksi di negeri asalnya, namun kontradiksi kelas kemudian jadi meluas‑‑ke tanah jajahan‑‑dan kompleks. Itulah tanda dari konsekuensi hubungan sosial produksi kapitalis yang memiliki potensi mendapatkan perlawanan dari rakyat tanah jajahan dan rakyat yang sadar di negeri asalnya. Tanda‑tanda berkembangnya kapitalisme ke imperialisme di tanah jajahan yaitu:
- Pemusatan produksi dan modal berkembang pesat, hingga menciptakan monopoli-monopoli yang berperan menentukan dalam kehidupan ekonomi;
- Paduan kapital bank dan industri. Di atas kapital finans ini dikembangkan oligarki finans;
- Ekspor kapital memperoleh arti penting yang luar biasa‑‑berbeda dengan ekspor barang dagangan (komoditi);
- Pembentukan serikat‑serikat kapitalis monopoli internasional yang membagi dunia di kalangan mereka sendir;,
- Pembagian wilayah atas seluruh dunia di antara negara‑negara kapitalis dalam tahap tertentu sudah diselesaikan.
Di atas syarat‑syarat tersebut, justru gerakan rakyat menunjukkan elannya dalam praktek revolusi sejak akhir abad 19 hingga saat ini. Artinya, terbukti bagaimana gerakan rakyat, sebagai lompatan kualitatif dari tenaga‑tenaga produktif, terjadi pada tahap imperialisme. Perkembangan kapitalisme, persaingan bebas ke kapitalisme monopoli akhirnya menunjukan bahwa kaum borjuasi selain berhadapan dengan kaum buruh dalam negeri, juga berhadapan dengan seluruh rakyat di tanah‑tanah jajahannya. Ia pun menunjukkan tentang perjuangan yang dipimpin kaum buruh pada masa imperialisme.
BAB III
Zaman Pergerakan dan Perjuangan Pemebebasan Nasional
Realitas obyektif di atas merupakan syarat material bagi sistim kapitalis dapat berkembang dalam masyarakat Hindia Belanda, sehingga memungkinkan munculnya kesadaran rakyat. Revolusi di Cina di bawah Sun Yat Sen, kebangkitan kaum terpelajar Turki, dan Revolusi Rusia (Oktober 1917) memberi pengaruh pada kesadaran kaum terpelajar negeri jajahan.
Pergerakan nasional modern Indonesia diawali dengan kemunculan serikat buruh. Salah satunya, yaitu ISDV yang didirikan pada tahun 1914, secara sistematis mengajarkan pengetahuan progresif kepada para aktivis buruh dan menjadi senjata material dalam perjuangan pembebasan. Sementara organisasi‑organisasi lain semacam SI (Sarekat Islam), BO (Boedi Oetomo) dan lain‑lain, juga turut meramaikan perkembangan kesadaran baru rakyat.
Pada tanggal 23 Mei, 1920, berdirilah untuk pertama kalinya di Asia, sebuah partai kaum radikal, yakni Perserikatan Komunist Hindia (PKI). Partai ini lahir, ketika mperialisme di tanah jajahannya telah melahirkan kaum buruh, dan sekaligus di dalam masyarakat yang masih mempertahankan sisa‑sisa feodal.
Perjuangan pembebasan dalam menentang imperialisme mencapai puncaknya pada pemberontakan nasional 1926/1927 yang berakhir dengan kekalahan. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah ketidakmampuan kaum radikal dalam mengkonsolidasikan kekuatan‑kekuatan potensial rakyat, yaitu kaum buruh, kaum tani, dan kaum tertindas lainnya. Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial.
Dengan demikian, kekalahan perlawanan 1926/1927, adalah kekalahan gerakan pada umumnya. Namun, sejarah perjuangan ternyata bergerak maju. Kekalahan gerakan pembebasan nasional tidak serta‑merta menyurutkan perjuangan.
Pada tahun 1927-929 berdiri Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI berwatak kerakyatan dan garis massa. Sisa‑sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme. Dukungan yang luas atas PNI membuat penguasa harus mengirim para aktivis PNI ke penjara, termasuk Sukarno. Aktivitas revolusioner yang dilakukan oleh kaum radikal tetap dilanjutkan dengan gerakan bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif, terbitan dan pertemuan gelap lainnya terus dijalankan.
Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, konsistensi perjuangan pembebasan tetap terjaga terus-menerus. Kaum radikal kembali mengkonsolidasikan kekuatan‑kekuatan rakyat dengan membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di bawah pimpinan Amir Sjarifudin. Pada tahun 1939 Gerindo bersama-sama Parindra dan PSII membangun suatu front bersama untuk menghadapi fasisme. Front tersebut bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Dengan GAPI kaum radikal berharap dapat menggunakan perjuangan anti‑fasisme sekaligus perjuangan anti‑ kolonialisme.
Perang Dunia Kedua Adalah Perang Kaum Imperialis. Pada tahun 1939, Perang Dunia II meletus ketika Jerman di bawah Hitler menyerbu Polandia. Jepang lalu menyerbu Hindia Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda, digantikan dengan pemerintahan administrasi militer. Kerja paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang, seperti pelabuhan, jalan raya, dan lapangan udara tanpa diupah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya organisasi boneka buatan pemerintah militer Jepang seperti Peta, Keibodan dan lain sebaginya.
Sebab‑sebab dari timbulnya PD II adalah persaingan di antara negara‑negara imperialis untuk memperebutkan pasar dan sumber bahan baku. Siapapun yang menang maka kemenangannya adalah tetap atas nama imperialisme. Walaupun kaum radikal mengalami jatuh-bangun dalam perjuangannya, namun garis perjuangan anti fasis tetap dipertahankan. Kaum radikal dengan melalui organisasi‑organisasi pergerakan bawah tanah mulai membentuk Gerakan Anti‑fasis (Geraf), Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), dan sebagainya.
Amir Sjarifudin, sebagai orang yang paling konsisten anti‑fasisme ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1943. Di lain pihak, sebagian besar kaum priyayi justru tidak mengambil praktek politik konfrontatif terhadap fasisme Jepang. Kompromi, konsesi, dan kolaborasi terhadap fasis Jepang menjadi bagian dari politik elit kaum feodal. Sementara kaum demokrat‑liberal terpaksa harus menjalankan taktik politik kooperasi dengan pemerintahan militer Jepang.
Revolusi Agustus 1945
Pada tanggal 17 Agustus, 1945, Sukarno‑Hatta, yang masih ragu‑ragu, berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan. Kevakuman kekuasaan tersebut disebabkan kekalahan Jepang dalam PD II, sementara pasukan sekutu belum datang. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat dibacakan, berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda.
Proklamasi pada tahun 1945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia. Revolusi pembebasan nasional tahun 1945 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Situasi revolusioner mencapai anti‑klimaksnya. Hal ini hanya melicinkan jalan menuju persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar) pada 2 November, 1949. Dengan adanya persetujuan KMB, imperialisme Belanda memperoleh konsesi di lapangan ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan. Revolusi Agustus '45 yang adalah berwatak revolusi borjuis demokratik, hanya berhasil sebagai revolusi pembebasan nasional (yakni berhasil mendirikan Republik Indonesia), namun gagal mendirikan pemerintahan kerakyatan.
Bab IV
Penumpulan Kekuatan Rakyat
Ketidakmampuan gerakan rakyat‑progresif untuk memanfaatkan parlemen dan eksekutif serta kegagalan untuk mengkonsolidasikan kekuatannya (dalam hal strategi-taktik dan organisasi) guna memanfaatkan momentum politik, merupakan pertanyaan paling prinsipil tentang fungsi dari mesin‑mesin politik progresif. Di Indonesia, fungsi parlemen berhenti ketika dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli, 1959. Namun, pada hakekatnya, ia hanya sebagai pertanda saja dari kegagalan mesin‑mesin politik borjuis di hadapan aparat kemiliteran dan birokrasi warisan kolonial yang bernama tentara. Ia merupakan puncak dari akumulasi kekuatan militer. Militer Indonesia, yang cikal bakalnya adalah rakyat, berhasil dikooptasi oleh para pimpinan tentara regular yang berlatarbelakang KNIL (bentukan Belanda) dan PETA (bentukan Jepang), setelah melewati beberapa tahap. Untuk itu ada baiknya kita memperhatikan peringatan di bawah ini.
Militerisme tidaklah spesifik milik kapitalisme. Militerisme sangatlah lazim di dalam masyarakat yang tatanan sosialnya terbagi ke dalam kelas‑kelas, dan kapitalisme adalah tatanan sosial yang terakhir, pada saat ini. Kapitalisme, sebagaimana layaknya tatanan sosial yang membagi masyarakat ke dalam kelas‑kelas, membangun secara khusus berbagai macam militerismenya. Tahap perkembangan kapitalis sangat sesuai dengan bentuk tentara yang memberikan pelayanan secara menyeluruh, yakni tentara, yang walaupun basisnya dari rakyat, bukan lah tentara rakyat tapi tentara yang memusuhi rakyat, atau paling tidak sedang dikembangkan ke arah itu. Dalam dirinya, anti‑militerisme tidaklah harus berwatak kerakyatan dan progresif, sebagaimana juga militerisme itu tidak lah spesifik borjuis atau kapitalis. Tapi, dalam hal ini, kita harus meyakinkan diri kita bahwa anti‑militerisme kita ada dalam negara kapitalis. Permasalahan dalam perjuangan menentang militerisme di dalam negeri lebih sederhana dan jauh lebih menjanjikan. Tujuannya yang jelas adalah pelucutan senjata, pelucutan senjata kekuasaan negara secara efektif dan tanpa syarat, dan metodenya tergantung pada kondisi politik masing‑masing negeri. Perjuangan tersebut, dan kebutuhan untuk mengkongkretkan perjuangan tersebut, haruslah ditekankan kepada rakyat setiap harinya‑‑terutama di negeri‑negeri di mana sangat terbiasa bahwa tentara menindas kaum buruh ketika mereka mogok atau melancarkan demonstrasi politik. Akan tetapi, seluruh agitasi kita menentang kapitalisme diarahkan untuk menentang segala manifestasi kapitalisme, yang jelas bentuk kongkretnya. Kita mampu, dalam tingkatan tertentu, menentukan ruang perjuangan anti‑militerisme sebagai sesuatu yang khusus, bersamaan dengan perjuangan politik secara umum, bersamaan dengan perjuangan serikat buruh, untuk maksud tersebut bahkan bersamaan dengan perjuangan dalam bidang pendidikan dan koperasi sekali pun. Bila disederhanakan: kita anti‑militaris sejauh kita anti‑ kapitalis.
Kemenangan tentara‑kapitalis diawali dengan program rasionalisasi angkatan bersenjata. Program tersebut pada hakekatnya adalah untuk menjadikan militer Indonesia (ABRI) sebagai satu‑satunya pemegang otoritas dari kekuatan bersenjata, tak boleh ada tandingan tentara rakyat yang populer di hadapan rakyat. Inilah kemenangan pertama mereka. Kemudian pada 1957, mereka mengumpulkan kemenangan lain di lapangan ekonomi, ketika mereka menguasai perusahaan‑perusahaan imperialis dengan merebutnya dari kekuasaan kaum buruh Indonesia. Periode ini penting untut dicatat, karena dengan demikian kita bisa mengetahui perkembangan struktur penindasan di Indonesia. Para jendral yang bertanggung jawab terhadap perusahaan‑perusahaan yang dinasionalisasi ternyata kemudian memanfaatkannya untuk membangun basis ekonomi bagi kalangan mereka sendiri. Selain itu, kelompok borjuis lain, di kalangan tentara, klik Suharto, yang menjalin kerjasama dengan borjuis seperti Sudono Salim dan Bob Hasan, dibiarkan membangun kekuatan ekonomi dan politiknya. Dalam situasi di mana imperiallisme sudah mempunyai agen‑ agen politiknya dan membaur dengan sisa‑sasa feodal dan kaum borjuasi‑komprador, masih terdapat ilusi tentang tentara yang konstitusional dan pro‑rakyat. Salah tafsir ini mengingkari bahwa ABRI, yang cikal‑ bakalnya rakyat, telah dikooptasi oleh kaum reaksioner. Percobaan kudeta militer (17 Oktober 1952), dan perampasan perusahaan‑perusahaan asing yang telah dikuasai oleh kelas buruh (program nasionalisasi), serta pemberontakan Permesta pada tahun 1957 membuktikan bahwa Angkatan Darat mulai mempunyai tendensi‑tendensi akan kekuasaan politik. Tendensi tersebut makin nampak jelas ketika mereka membuat Badan Kerjasama Buruh‑Militer, Pemuda‑Militer dan dimasukannya ABRI sebagai golongan fungsional, jadi dapat dipilih tanpa pemilu. Ini semua merupakan bentuk kongkret dari penjabaran konsep Jalan Tengah dari Nasution, bahwa ABRI harus menjadi kekuatan sosial‑politik. Konsep ini yang kemudian dikembangkan oleh Jendral Suharto menjadi Dwi Fungsi ABRI. Dalam kondisi yang semacam itu, sudah seharusnya kaum radikal memprioritaskan kerja‑kerja politik untuk lebih mempertajam kontradiksi antara rakyat versus kaum borjuis reaksioner yang menguasai negara. Namun dalam prakteknya, kaum radikal justru mencari musuh lain yaitu, tentang tugas penggulingan imperialisme. Apakah keberadaan imperialisme itu nyata, kami pikir kita harus setuju bila ada yang berpendapat:
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Indonesia telah dan merupakan subyek dari kungkungan kekuasaan ekonomi imperialis pada tingkat yang umum atau makro. Perlu kiranya aku nyatakan kembali argumen yang lebih memiliki konteks historis : Indonesia, yang ditinggalkan oleh penjajah Belanda (dan pendudukan Jepang), adalah Indonesia yang terbelakang dan ekonominya belum terindustrialisasi, serta yang tidak sanggup bersaing dengan negeri‑negeri kapitalis besar. Ekonominya hanya sanggup berkembang di sekitar ruang yang telah dimiliki sebelumnya. Imperialisme tidak mencampurinya secara langsung, akan tetapi memanfaatkan keterbelakangan ekonominya.
Sehubungan dengan campur tangan imperialis, sejarah Indonesia memiliki aspek yang unik. Perang Dunia II menghancurkan signifikansi posisi Belanda sebagai negeri imperialis. Jepang tidak hanya sekadar menduduki Indonesia, tapi juga menghancurkan basis modal ekonomi dan hegemoni politik Belanda, terlebih-lebih negeri Belanda sendiri diduki Jerman dan dijadikan ajang peperangan. Belanda tidak bisa memulihkan martabat politiknya di Indonesia, walalupun ia turut serta dalam peperangan melawan Jepang. Sebagaimana juga Inggris dan Amerika, yang sebelumnya telah terkalahkan. Walhasil, walaupun Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, dan kehadiran serta kepentingan ekonomi Belanda bisa dipulihkan, namun tidak terdapat dominasi mutlak ekonomi neo‑kolonial Belanda terhadap Indonesia. Apalagi pada tahun 1957‑58, kehadiran ekonomi Belanda mutlak amblas.
Dan, apa pun penyebabnya, kehancuran ekonomi Belanda di Indonesia tidak digantikan oleh dominasi ekonomi neo‑kolonial Inggris atau pun Amerika. Sementara itu, karena ketidakmampuannya untuk bersaing, Indonesia sendiri tidak bisa memanfaatkan ruang yang tersedia baginya.
Sebagai negeri yang baru merdeka, Indonesia hanya memiliki kelas kapitalis (atau tuan tanah) yang, secara ekonomi dan politik, lemah. Di samping itu tidak ada kelas kapitalis asing yang, secara ekonomi dan politik, dominan. Indonesia tidak lain merupakan bagian yang dikuasai dan diperas oleh sistim imperialis, sebagaimana juga negeri‑negeri Dunia Ketiga lainnya. Akan tetapi IMPERIALIS TIDAK PUNYA AGEN‑‑apakah itu boneka atau pun sekutu‑‑YANG EFEKTIF, AKU ULANGI, YANG EFEKTIF di negeri ini.
Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa memang benar kelas kapitalis dan pemilik tanah lah yang, secara ekonomi keseluruhan, tidak sifinifikan seperti di Eropa (termasuk Rusia sekali pun), Cina, Amerika Latin, dan Filipina pada zamannya‑‑ yang berkuasa. Aku sepenuhnya yakin bahwa tradisi pergerakan nasional adalah radikalisasi hegemoni ideologi pra‑borjuis, sehingga sanggup memojokkan kekuatan borjuis, tapi menguntungkan kaum radikal. Hal tersebut bisa terjadi karena kepemimpinan politik, baik yang progresif atau pun yang patron‑‑ telah berhasil mengangkat gagasan klien kolektif (kebersamaan‑persaudaraan) sebagai dasar bagi kejayaan Marhaen dan Rakyat (pakai huruf besar M dan R).
Ketika Tentara mulai bicara soal kekuasan politik, mereka mulai terbagi dalam faksi‑faksi. Tentu saja faksi‑faksi di dalam tentara tersebut tidak sepenuhnya solid. Mereka sebenarnya terdiri dari tiga kelompok‑‑Faksi Dewan Jendral, Faksi Suharto, dan Faksi Nasution‑‑yang masing‑masing memiliki potensi dan penilaian sendiri terhadap kekuasaan Sukarno. Untuk menghadapi Sukarno dan para pendukungnya, mereka kemudian membentuk aliansi-aliansi tumpang‑tindih dengan kekuatan‑kekuatan sipil anti‑Sukarno. Pengambilalihan perusahaan‑ perusahaan asing pada tahun 1957 oleh tentara juga berarti kekalahan partai‑partai konservatif dan, dalam beberapa hal, kekalahan organisasi‑organisasi politik kaum borjuis dan kaum pemilik tanah Indonesia. Partai-partai tradisional kehilangan inisiatifnya dalam menghadapi Angkatan Bersenjata dan Sukarno. Terlebih-lebih, ruangan telah terbuka bagi perluasan kapitalis bersenjata karena mereka kini telah menguasai perusahaan‑perusahaan bekas milik Belanda. Dalam hal ini, pertanyaan yang harus diajukan: apakah PADA MASA INI tentara sesungguhnya sedang mempraktekkan kebebasan relatif mereka terhadap kelas yang dominan secara ekonomi? Dalam hal ini terdapat beberapa faktor yang harus diteliti:
Pertama, pada akhirnya, kaum borjuis Indonesia beserta para penghisap di pedesaan, yaitu para pemilik tanah dan birokrat, tergantung kepada tentara untuk mempertahankan dirinya dalam menentang kemajuan gerakan rakyat. Para tuan tanah dan borjuasi telalu lemah posisinya dalam menghadapi gelombang gerakan rakyat.
Kedua, Angkatan Bersenjata Indonesia sesungguhnya diciptakan oleh revolusi nasional, gerakan yang melibatkan multi‑kelas. Hal ini tidak saja tercermin dari komposisi dalam tubuh Angkatan Bersenjata, tetapi, yang terpenting, kurangnya identitasnya terhadap satu kelas di Indonesia.
Ketiga, dengan menggunakan senjatanya, banyak sekali seksi‑seksi di ketentaraan yang telah aktif sebagai kapitalis. Kita tahu jelas bahwa panglima‑panglima daerah banyak yang melibatkan dirinya dalam penyelundupan dan/atau bekerja sama dengan pengusaha‑pengusaha setempat. Kemenangan tentara dalam mengambilalih perusahaan‑perusahaan Belanda, yang tadinya telah dikuasai oleh kaum buruh, mengandung dua aspek penting. Pertama, menciptakan ketergantungan politik borjuis sipil kepada tentara, yang setuju dengan keterlibatan tentara dalam menghadapi gerakan kaum radikal. Dengan demikian memberikan peluang bagi Angkatan Bersenjata untuk melakukan serangan politik yang luas. Kedua, melapangkan jalan bagi fraksi kapitalis bersenjata dalam bekerjasama dengan borjuis pribumi yang telah ada, yang lemah secara politik, dan tidak bersenjata. Dengan kata lain, lebih mempercepat proses keterlibatan komersial perwira‑perwira tentara.
Di dalam kelas kapitalis itu sendiri, sudah lama terdapat pertentangan historis, yang tumbuh akibat kelemahan politik ketika menghadapi gerakan revolusioner pengusaha kecil sebelum kemerdekaan. Pertentangan tersebut adalah antara kapitalis yang BERSENJATA dengan yang TIDAK BERSENJATA. Di dalam Angkatan Bersenjata pun terjadi pemilahan antara jendral‑jendral yang berpolitik, yang satu mewakili kepentingan kapitalis bersenjata, dan yang lainnya mewakili kepentingan Angkatan Bersenjata sebagai suatu institusi. Sampai sekarang, kedua faktor tersebut masih ada. Inilah persoalan yang harus dihadapi oleh generasi kapitalis paska‑65, yakni menghadapi para kapitalis dari kalangan oligarki kerabat dekat Istana, dalam hal ini pemerintahan Suharto. Pertentangan tersebut akhirnya dapat diselesaikan, dengan kemenangan mereka yang paling dominan dalam penggulingan kekuasan Sukarno dan para pendukungnya di tahun 1965‑66. Penghancuran fisik gerakan rakyat yang sadar politik HANYALAH satu‑satunya jalan untuk memperoleh keunggulan politik. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk selalu mengintip setiap kebangkitan gerakan yang berbau kerakyatan. Hal yang pertama‑tama harus ditekankan adalah bahwa kapitalis bersenjata, sebagai suatu fraksi kelas, sesungguhnya belum banyak makan asam‑garam. Pada akhir tahun '50‑an, berlangsung dua proses:
Pertama, tumbuhnya kelompok kapitalis bersenjata yang, secara sosiologis, barisan depannya adalah Suharto. Menyebut Suharto, karena kelompoknya lah, sepanjang yang bisa ditemukan, yang pertama‑tama memiliki bank dan perusahaan ekspor‑impor sendiri, serta yang menjalin kontak‑kontak luar negerinya sendiri, seperti dengan Malaysia.
Kedua, semakin tersingkirnya kepemimpinan tentara yang cenderung ingin membebaskan diri dari kepemimpinan politik kelas borjuis yang lemah dan terpecah‑belah. Nasution dan lain‑lainnya mulai mengklaim KEPEMIMPINAN POLITIK atas negeri ini. Perwira tentara seperti Nasution tidaklah bermaksud membuat negara mandiri, akan tetapi ingin diterima sebagai pemimpin politik oleh kekuatan‑kekuatan sosial sejenis yang didukung oleh partai‑partai konservatif unggulan. Oleh karena itu, di masa Orde Baru, ia lebih dekat hubungannya dengan partai‑partai lama kapitalis tak bersenjata, ketimbang dengan para kapitalis yang berasal dari kerabat dekat pelaku‑pelaku utama yang telah mengambil alih kekuasaan konstitusional Sukarno sebagai Presiden pada tahun 1965‑66.
Pada masa itu, hal tersebut menciptakan tekanan kepada Angkatan Bersenjata agar mewakili kepentingan kekuatan-kekuatan tradisional konservatif. Semua itu artinya, anti‑partai tapi pro‑kapitalis, atau kebijakan‑kebijakan pro‑Barat: kebijakan‑kebijakan yang sesuai dengan kepentingan kelompok‑kelompok pengusaha yang ada, tapi menentang wakil‑wakil politik tradisional mereka dalam kekuasaan. Tapi, Angkatan Bersenjata berada dalam posisi yang tidak mampu berjuang sendiri dalam menghadapi oposisi kaum radikal. Mereka bersaing dengan kepemimpinan tradisional konservatif, yakni partai‑partai yang terpecah‑belah dan tak berkemampuan. Yang jelas, mereka juga tidak dapat bersekutu dengan gerakan buruh‑tani. Bagaimanapun juga, kebutuhan mendesak kampanye mereka dalam menentang partai‑partai, membawa mereka masuk ke dalam aliansi dengan Sukarno. Kita tahu bahwa kelompok Dewan Jendral (kecuali Soemitro) dan Nasution telah dipukul pada tanggal 1 Oktober, 1965, oleh Gerakan 30 September Efektif mereka berhasil dilumpuhkan oleh para perwira yang tergabung dalam gerakan itu. Kekuatan ABRI lainnya yang tersisa tinggal Soeharto. Faksi Soeharto, dengan kekuatan KOSTRAD‑nya, berhasil mengambilalih kepemimpinan dalam operasi kontra gerakan. Momentum yang berhasil diambil ini kemudian bisa dipertahankan oleh Soeharto, yakni dengan cara memainkan sekutu‑sekutu sipilnya dalam pembantaian 1,5 juta manusia dan demonstrasi‑demonstrasi mahasiswa pada 1966. (Informasi terakhir, dikutip dari makalah Permadi di seminar tentang napol/tapol, yang diselenggarakan YLBHI, menyebutkan bahwa Sarwo Edi Wibowo, yang memimpin operasi pembantaian tersebut pada tahun 1965‑1966, telah mengakui bahwa jumlah korban jiwa dari peristiwa tersebut mencapai angka sekitar 2-3 juta). Hal tersebut akhirnya bisa diakumulasikannya hingga ia mendapatkan dan memanipulasi Supersemar di tahun 1966 serta, akhirnya, menjadi presiden melalui Sidang MPRS di tahun 1967.
Bab V
Orde Baru dalam Kapitalisme
Konsolidasi kapitalisme di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari skenario lembaga‑lembaga sistem kapitalisme dunia seperti IMF (Dana Moneter Internasional) dan World Bank (Bank Dunia). Kapitalisme dengan syarat‑syarat kekuatan produktif yang rapuh di bidang teknologi serta kurangnya dana segar untuk modernisasi menjadikan penguasa Orde Baru harus tergantung sepenuh‑penuhnya pada kekuatan modal internasional dari Jepang, Amerika, Jerman, Inggris, Hong Kong, Taiwan dan lain-lain. Pengabdian Orde Baru atas modal semakin membuktikan bahwa pada prinsipnya negara Orde Baru di bawah kekuasaan yang dipimpin oleh Jendral Suharto adalah ALAT KEPENTINGAN‑ KEPENTINGAN MODAL. Artinya, setiap proses pergeseran kekuasaan dalam lingkaran Suharto dan sekutu‑ sekutunya akan berhubungan dengan jalur‑jalur dan konsesi-konsesi aset ekonomi, khususnya di sekitar oligarki Suharto dan modal internasional. Bisa jadi keretakanpun akan muncul karena ketidakpuasan akan oligarki dan konsesi yang keliwat banyak di sekitar pusat kekuasaan politik, dan makin meluasnya hegemoni imperialisme dari negara tertentu seperti Jepang, Eropa atau Amerika.
Pada tahap awal konsolidasi kekuasaannya, Soeharto berhasil memanfaatkan pinjaman‑pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing. Di lain pihak, dengan terjadinya oil boom panen limpahan minyak), Orde Baru cukup berhasil melahirkan orang kaya baru (OKB) dan tumbuhnya kapitalis. Sejak itu lah lisensi‑lisensi yang diberikan Soeharto kepada sekutu‑sekutu dan kerabatnya telah memungkinkan mereka memonopoli kegiatan ekspor‑impor. Di antaranya pemberian hak monopoli impor cengkeh kepada Probosutedjo, pemberian HPH (Hak Pengusahaan Hutan), dan penguasaan perkebunan-perkebunan oleh yayasan‑yayasan milik Angkatan Darat, dan lain sebagainya. Hal demikian mau tak mau melahirkan kelompok‑kelompok bisnis yang berdiri di sekeliling Angkatan Bersenjata (yakni para anggota dewan Komisaris Perusahaan Swasta maupun BUMN) maupun di kalangan kerabat (crony) Soeharto. Dua faksi ini lah yang kemudian mempermudah pembentukan faksi‑faksi kelas borjuasi Indonesia.
Namun, proses selanjutnya dalam perekonomian Indonesia, yang ditandai dengan jatuhnya harga minyak bumi pada pertengahan dekade 1980‑an, telah mempengaruhi proses kristalisasi di kalangan borjuasi. Pendapatan nasional Indonesia yang 70%‑nya didapat dari sektor migas ini mengalami pukulan dengan kejatuhan harga di pasaran internasional. Di lain pihak, hal ini pun semakin menjadikan Indonesia tergantung dari hutang luar negeri untuk membiayai pembangunan kapitalismenya. Di tahun 1995, hutang luar negeri Indonesia mencapai US$ 100 milyar, yang dipinjam dari berbagai lembaga moneter atau bank‑bank dengan bunga lunak maupun berat. Hal ini terutama berkaitan dengan keharusan Orde Baru untuk mengalihkan primadona ekspornya dari migas ke non-migas. Demi memacu ekspor non‑migas maka dibutuhkan liberalisasi perekonomian dan efisiensi dalam mengolah dan mengakumulasi kapital untuk ekspor. Faksi borjuis bersenjata yang selama periode oil boom menikmati kemudahan dan privilese/keistimewaan jabatannya, tak bisa lagi bertahan di tengah arus liberalisasi perekonomian ini. Hanya faksi borjuis kerabat, yang selama ini mempersatukan kehandalan bisnis plus kolusi dengan keluarga istana, dapat mentransformasikan dirinya sebagai kapitalis yang handal.
Hubungan bisnis yang sudah lama terjalin antara keluarga Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan telah menjadikan bisnis kerabat Istana berkembang hingga ke tingkat konglomerasi bisnis. Transformasi orientasi ekspor Indonesia dari mata dagangan migas menjadi ekspor non‑migas, kemudian bersambut dengan proses investasi kapital besar‑ besaran oleh kelompok bisnis kerabat Istana dalam cabang industri manufaktur‑‑selain investasi patungan atau investasi asing, terutama Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Jerman, Belanda, Australia, Amerika dan sebagainya. Transformasi ini pula yang mengakibatkan proses konsentrasi modal di pusat-pusat industri perkotaan. Ke mana modal bergerak, di situlah tenaga kerja, hasil proletariatisasi tersebut, terpusat. Dari sekitar 86 juta angkatan kerja di Indonesia, sekitar 10,5 jutanya terserap dalam industri manufaktur. Selebihnya, sekitar 30 juta orang terserap dalam industri jasa dan ekstraktif (pertambangan), sementara sektor pertanian menyerap sekitar 46 juta tenaga kerja‑‑namun bukan berarti ada dominasi kaum tani dalam formasinya. Menurut pidato Kenegaraan Presiden RI di depan Sidang MPR/DPR, 16 Agustus, 1994, disebutkan bahwa sektor non‑migas menyumbang 74% dari seluruh penerimaan devisa. Terhadap prosentase tersebut, sektor manufaktur menyumbangkan 63,4%. Sedangkan menurut statistik 1988-1993, pertumbuhan tenaga kerja menurut penyebaran daerahnya adalah sebagai berikut:
TABEL PERTUMBUHAN TENAGA KERJA
(PERJUTA ORANG)
Pulau 1988 1993 %
Sumatera 14.4 17.8 4.43
Jawa 45.6 50.9 2.23
Kalimantan 3.8 4.7 4.60
Sulawesi 4.6 5.6 4.00
Bali/Nusa Tenggara 4.5 5.3 3.40
Maluku/ Irian Jaya/Timtim 1.6 2.0 4.60
Perkembangan di atas harus benar-benar diperhatikan. Karena ia akan berpengaruh terhadap hari depan perjuangan kita. Perkembangan pada basis material masyarakat, akhirnya mengharuskan kita untuk merumuskan program, strategi-taktik perjuangan, bentuk-bentuk organisasi, dan slogan‑slogannya. Demikan lah, jika kita hendak meluaskan basis gerakan demokratik-progresif kerakyatan dengan segera, selamat, dan dapat mempertahankannya untuk jangka panjang secara militan. Karena, strategi-taktik adalah pelaksanaan paling praktis untuk melahirkan perlawanan. Perlawanan‑‑yang spontan sekalipun‑‑sungguh bernilai, karena ia adalah kontraksi‑kontraksi pada urat masyarakat yang sedang bergolak. Dalam masyarakat kapitalistik‑‑ia harus diletakkan pada basis perlawanan yang paling militan untuk meraih tujuan strategi-taktik perjuangan. Sepanjang tahun 1994, kaum buruh Indonesia telah melakukan demonstrasi (pemogokan) sebanyak 1130 kali. Jumlah jam kerja yang dihilangkan adalah 2,8 juta jam kerja‑‑bernilai sekitar 240 milyaran rupiah. Angka demonstrasi buruh yang paling tinggi terjadi di Jawa Barat (khususnya Jabotabek) dengan 581 kali, Jawa Timur 200 kali, Sumatera Utara 140 kali, Jakarta 126 kali, Jawa Tengah 54 kali, Riau 5 kali, Kalimantan Barat 3 kali, dan Sumatera Selatan 1 kali. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 350% dari tahun 1993, yang hanya berjumlah 312 demonstrasi (pemogokan); sedang perlawanan mahasiswa berjumlah 100‑an kali (82 kali di Jawa Tengah); dan kaum tani 50‑an kali.
Munculnya perlawanan rakyat bisa mendorong perpecahan di kalangan rejim Suharto sendiri; apakah antara Golkar hijau dan sipil, ICMI (mewakili Islam) dan militer hijau atau merah‑putih. Amat masuk akal bila hal ini juga disebabkan semakin tersingkirnya kekuasaan klik birokrat‑‑semula dipegang oleh para perwira tinggi militer‑‑yang mencoba bertransformasi menjadi borjuis; gontok‑ gontokan antara pejabat pusat dan daerah; kecemburuan pengusaha pribumi terhadap pengusaha Cina; namun yang riel adalah pertentangan antara borjuis kerabat‑‑yang biasanya monopoli‑‑dan borjuis non‑kerabat; tak ada itu yang namanya pertentangan antara borjuis nasional dan borjuis komprador, karena pertentangan kapital, selain dengan tenaga kerja, adalah dengan kapital itu sendiri, yang tak berkebangsaan, walaupun di tempat dan pada saat tertentu bisa diisi sentimen rasial. Pihak rejim sendiri kebingungan tentang apa yang harus dilakukan.
Radikalisasi dan miltansi rakyat‑‑setelah tahun 1994‑‑dalam bentuk perlawanan massa telah lebih memberi gambaran yang sesuai dengan misi sejarahnya, misi obyektifnya, yang berguna bagi penentuan prioritas sektor, prioritas geografis, prioritas alat‑alat politik; api apa yang sedang berkobar, di mana api itu berkobar dan bagaimana membesarkan serta meluaskan api itu, api perjuangan yang akan membakar sampai ke ulu hati modal. Perkembangan ini lah yang menyadarkan kita bahwa kita hanya berperan kecil dalam pengorganisasian perjuangan massa tersebut.
Pulau 1988 1993 %
Sumatera 14.4 17.8 4.43
Jawa 45.6 50.9 2.23
Kalimantan 3.8 4.7 4.60
Sulawesi 4.6 5.6 4.00
Bali/Nusa Tenggara 4.5 5.3 3.40
Maluku/ Irian Jaya/Timtim 1.6 2.0 4.60
Perkembangan di atas harus benar-benar diperhatikan. Karena ia akan berpengaruh terhadap hari depan perjuangan kita. Perkembangan pada basis material masyarakat, akhirnya mengharuskan kita untuk merumuskan program, strategi-taktik perjuangan, bentuk-bentuk organisasi, dan slogan‑slogannya. Demikan lah, jika kita hendak meluaskan basis gerakan demokratik-progresif kerakyatan dengan segera, selamat, dan dapat mempertahankannya untuk jangka panjang secara militan. Karena, strategi-taktik adalah pelaksanaan paling praktis untuk melahirkan perlawanan. Perlawanan‑‑yang spontan sekalipun‑‑sungguh bernilai, karena ia adalah kontraksi‑kontraksi pada urat masyarakat yang sedang bergolak. Dalam masyarakat kapitalistik‑‑ia harus diletakkan pada basis perlawanan yang paling militan untuk meraih tujuan strategi-taktik perjuangan. Sepanjang tahun 1994, kaum buruh Indonesia telah melakukan demonstrasi (pemogokan) sebanyak 1130 kali. Jumlah jam kerja yang dihilangkan adalah 2,8 juta jam kerja‑‑bernilai sekitar 240 milyaran rupiah. Angka demonstrasi buruh yang paling tinggi terjadi di Jawa Barat (khususnya Jabotabek) dengan 581 kali, Jawa Timur 200 kali, Sumatera Utara 140 kali, Jakarta 126 kali, Jawa Tengah 54 kali, Riau 5 kali, Kalimantan Barat 3 kali, dan Sumatera Selatan 1 kali. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 350% dari tahun 1993, yang hanya berjumlah 312 demonstrasi (pemogokan); sedang perlawanan mahasiswa berjumlah 100‑an kali (82 kali di Jawa Tengah); dan kaum tani 50‑an kali.
Munculnya perlawanan rakyat bisa mendorong perpecahan di kalangan rejim Suharto sendiri; apakah antara Golkar hijau dan sipil, ICMI (mewakili Islam) dan militer hijau atau merah‑putih. Amat masuk akal bila hal ini juga disebabkan semakin tersingkirnya kekuasaan klik birokrat‑‑semula dipegang oleh para perwira tinggi militer‑‑yang mencoba bertransformasi menjadi borjuis; gontok‑ gontokan antara pejabat pusat dan daerah; kecemburuan pengusaha pribumi terhadap pengusaha Cina; namun yang riel adalah pertentangan antara borjuis kerabat‑‑yang biasanya monopoli‑‑dan borjuis non‑kerabat; tak ada itu yang namanya pertentangan antara borjuis nasional dan borjuis komprador, karena pertentangan kapital, selain dengan tenaga kerja, adalah dengan kapital itu sendiri, yang tak berkebangsaan, walaupun di tempat dan pada saat tertentu bisa diisi sentimen rasial. Pihak rejim sendiri kebingungan tentang apa yang harus dilakukan.
Radikalisasi dan miltansi rakyat‑‑setelah tahun 1994‑‑dalam bentuk perlawanan massa telah lebih memberi gambaran yang sesuai dengan misi sejarahnya, misi obyektifnya, yang berguna bagi penentuan prioritas sektor, prioritas geografis, prioritas alat‑alat politik; api apa yang sedang berkobar, di mana api itu berkobar dan bagaimana membesarkan serta meluaskan api itu, api perjuangan yang akan membakar sampai ke ulu hati modal. Perkembangan ini lah yang menyadarkan kita bahwa kita hanya berperan kecil dalam pengorganisasian perjuangan massa tersebut.
Oleh : Danial Indera Kusuma