NAWAL el Saadawi bukanlah nama yang asing lagi bagi masyarakat sastra di Indonesia. Wanita kelahiran Kafr Tahla-tepi Sungai Nil-Mesir, 72 tahun yang lalu ini selalu membangkitkan emosi pembaca dengan bahasa emotif (emotife language) di dalam setiap karyanya. Sejauh pengamatan sastra Arab yang telah dikaji, dalam setiap karya Nawal el Saadawi selalu menampilkan dan menonjolkan kritik yang cukup pedas sekaligus penggambaran realitas sosial politik dengan menggunakan colloquaialism atau gaya bahasa harian dalam penceritaannya, natural, dan tanpa embel-embel analitik. Nawal el Saadawi tidak mengikuti aliran al-fanna al-kamil (keindahan) yang kebanyakan digunakan sastrawan Arab.
Bahasa sarkatis yang sering digunakan Nawal ini cukup membuat geram para intelektual dan Pemerintah Mesir. Hal itu harus dibayar mahal olehnya. Pada 6 September 1981 ia dijebloskan ke dalam penjara Barrages di Mesir pada masa pemerintahan Anwar Sadat atas tuduhan perbuatan kriminal melawan pemerintahan yang sah. Namun, di dalam sel Saadawi terus berkarya. Meski dengan kertas toilet dan pensil alis, Saadawi diam-diam tetap menulis. Sekeluarnya dari penjara, tulisan itu menghasilkan esai berjudul Memoar dari Penjara Perempuan. Dalam buku itu, dia mengisahkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi dan jender merupakan penyebab masuknya perempuan ke dalam sel penjara tersebut.
Penjara Mesir tampaknya memang unggul dalam menghasilkan karya tulis. Tafsir Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Quthb disebut-sebut sebagai the most remarkable works of prison literature ever produced. Quthb menghasilkan magnum opus itu sebelum akhirnya dia syahid di tiang gantungan Pemerintah Gamal Abdul Nasser tahun 1966 -- sebagai bandingan, Hamka juga menulis Tafsir Al-Azhar di dalam penjara Orde Lama. Quthb ditangkap setelah organisasinya, Ikhwanul Muslimun, dinyatakan terlarang oleh Nasser. Selain kitab Fi Zhilal, dalam bui ini Quthb juga menghasilkan buku Ma'alim fith Thariq dan risalah kecil Mengapa Saya Dihukum Mati? (pernah diterbitkan oleh Mizan).
Fi Zhilalil Quran adalah suatu masterwork, demikian menurut Paul Berman yang menulis buku tentang Quthb. Kitab tafsir ini adalah karya raksasa yang ditulis hanya dengan mengandalkan daya hafal. Kondisi buruk dan penyiksaan dalam penjara tak menghalangi Quthb untuk menulis. Pernah pada suatu saat, Quthb disekap dalam sebuah sel bersama 40 orang yang sebagian besar para kriminal. Tapi, dengan menyelundupkan kertas masuk dan keluar penjara, Quthb terus menulis.
Penulis yang tetap berkarya meskipun badan terpenjara tentulah karena dia bisa membawa pikirannya beyond realitas yang dia hadapi. Viktor Frankl berteori bahwa sesungguhnya seseorang dapat memutuskan bagaimana suatu keadaan akan mempengaruhi dirinya. Kita tak mesti pasrah pada keadaan. Dan penjara bisa jadi memang tempat yang kondusif bagi seorang penulis. Marguerite Duras mengatakan bahwa berani menyendiri, berada dalam kesepian dan keterasingan, adalah hal yang harus terjadi dalam kepenulisan.
Menulis adalah suatu laku asketik, matiraga, suatu kebertapaan di tengah keramaian. Kesepian itu bahkan harus dialami bukan hanya secara rohani, tapi juga secara badani, demikian pendapat Sindhunata. Orang yang tidak berani sepi tak mungkin menjadi penulis yang baik. Jadi, seorang penulis yang dijatuhi hukuman penjara bagaikan mendapat sebuah hadiah.