Untuk memahami teologi pembebasan yang memberi kaitan antara Marx dengan teologi Katolik maka ucapan Marx dalam “The Holy Family” bisa dijadikan rujukan. Marx mengatakan : “Radikal berarti menangani sesuatu sampai ke akar-akarnya. Tetapi bagi manusia akar itu adalah dirinya sendiri…..Kritik atas agama berakhir pada doktrin bahwa manusia adalah mahluk tertinggi bagi manusia. Karenanya, hal ini berakhir dengan kategori imperatif untuk mencampakkan semua unsur yang menjadikan manusia sebagai mahluk yang tertindas, diperbudak, dicampakkan dan keji…….”
Dalam tataran ini Marx berbicara tentang eksistensi kemanusiaan, wilayah perhatian Marx tidak saja melulu pada problem kapital tapi sebelum masuk ke problem Kapital, Marx menganatomi lebih dulu problem-problem Eksistensi manusia. Maka Marxisme juga mengarahkan bagaimana “Manusia sebagai kebaikan tertinggi dan perjuangan untuk mengubah hubungan-hubungan sosial yang menindasnya”
Pada titik ini bertemunya antara kekuatan pemikiran Marx dengan dasar-dasar teologi keagamaan. Semua agama selalu memberikan jawaban atas kemanusiaan dari sudut dasar spiritualitas, kewajiban-kewajiban luhur manusia di muka bumi. Marx sendiri memang membatasi dirinya pada sisi Materialisme. Disini bukan berarti Marx tidak paham masalah metafisika dan hubungannya dengan Ketuhanan, tapi Marx memang sengaja berhenti pada tapal batas antara Materialisme dengan Immaterialisme untuk memfokuskan diri pada “Bagaimana terbentuknya sejarah masjarakat, guna menganatomi bagaimana penindasan manusia atas manusia lainnya bisa terjadi”
Setiap filsuf memiliki imajinasinya sendiri atas manusia ideal. Plato misalnya mengidealkan seorang manusia tertinggi pada “Manusia yang berbakat sebagai pemimpin namun berpikiran filsuf dan berjiwa halus”. Pada Aristoteles “Kemanusiaan ditempatkan sebagai individu yang mencari terus menerus kebenaran” dalam konsepsi Islam sendiri “manusia sempurna digambarkan dalam Insanul Kamil, sebuah kemanusiaan yang terbentuk dalam pengalaman spiritual dan pengalaman material, Kemanusiaan yang tahu akan jalan Tuhan namun juga tahu jalan dunia yang benar, Dimana kemanusiaan bisa terbentuk dari sepanjang surah Al Fatihah, manusia yang sadar sejarah dan berjalan di jalan yang lurus”. Nietszche, menggambarkan kemanusiaan yang sempurna, ialah kemanusiaan yang super. Uebermensch adalah manusia yang menjalani semua cobaan-cobaan hidup sehingga ia sadar akan batas eksistensinya dan ketika eksistensi itu menyatu dalam kesadaran maka kemanusiaan akan mendapatkan esensinya. Marx sendiri memiliki gambaran kemanusiaan yang lebih realistis dan berkembang pada dasar-dasar psikologis individu yang kemudian ditarik ke dalam analisanya atas terbentuknya sejarah masjarakat, terbentuknya anatomi atas penindasan dan sumber dari segala sumber masalah atas manusia. Bagi Marx : Manusia ideal adalah manusia yang bebas dan dibebaskan oleh segala bentuk keterasingan, manusia ini akan membangun kreativitasnya tanpa beban apa-apa. Manusia yang berjalan di dunia dengan bakatnya, dengan talentanya dan tidak ada struktur yang menindas. Awal mula keterasingan manusia, menurut Marx adalah ketika manusia menciptakan benda dan benda itu kemudian mengantarkan manusia pada keterasingan-keterasingan yang disetiap dimensinya membentuk keterasingan lain, seperti Keterasingan ekonomi, keterasingan religius, keterasingan spiritual dan keterasingan kemanusiaan atau humanisme. Jalan utama dari pemecahan problem-problem keterasingan itu adalah dimulai dengan memecah keterasingan ekonomi. Marx melihat masalah ‘hak milik’ menjadi akar dari penyebab keterasingan manusia. “untuk menemukan kembali kemanusiaannya yang terasing, Marx mencoba menganatomi bagaimana hak milik bisa menjadi manusia terasing dari dirinya”.
Keterasingan manusia pada hal religius yang disoroti oleh Engels dalam melihat Tuhan sebagai gambaran citra manusia, ini artinya Tuhan disepakati sebagai ciptaan pikiran manusia, tidak berasal dari Marx. Engels-lah yang benar-benar mengambil jarak antara pemikiran Marx yang abai terhadap Tuhan karena masalah Materialisme Historis menjadi Pemikiran yang menganggap “Tuhan Tidak Ada” hal ini kemudian diperkuat oleh Lenin dengan menyatukan anggapan bahwa Agama sama saja dengan Kapitalisme, adalah sumber dari keterasingan manusia atas ciptaannya. Gereja Katolik jelas sebagai institusi keagamaan berdiri di barisan paling depan dalam melawan Marxisme Leninis. Banyak perang terjadi untuk sekedar pertaruhan mana yang benar dan mana yang salah dalam teori yang amat bias ini. Bisa dikatakan bias karena Marx sendiri “Hanya membatasi masalah pemecahan kemanusiaan dengan membatasi pada persoalan-persoalan sejarah, dan persoalan sejarah adalah persoalan perkembangan masjarakat yang harus disepakati sebagai persoalan Materialisme Dialektika Historis jadi Marx tidak masuk ke dalam alam metafisika yang tidak berkenaan dengan alam material”. Pada tahun 1971 Paus Paulus VI menyatakan fatwanya dalam Octogesima Adveniens bahwa : “Marxisme adalah ideologi yang bertentangan dengan Iman” Namun keputusan gereja katolik ini justru mendapati arus balik dari para pastor yang memperhatikan bagaimana teori Marx seharusnya bekerja kemudian muncullah gagasan teori teologi pembebasan yang inspirasinya bersumber dari Marxisme. Di mana-mana muncul “Kiri Katolik” di Inggris Dennys Turner berkata “Bahwa seorang Katolik tak hanya dapat menjadi Marxis, tetapi seharusnya menjadi Marxis” Gerakan meminati Marx di kalangan Gereja juga berlangsung di Filipina, seorang pastor Filipina, Conrado Balweg berkata dalam sebuah wawancara “Marxisme bukan dogma; ia cuma perangkat ilmiah yang bisa dipakai untuk menganalisa masjarakat. Melalui Marxisme anda bisa memahami agama dengan lebih baik; dalam hubungannya dengan massa. Di sisi lain keduanya berbeda : yang satu sebagai alat analisa dan yang lainnya keadaan ideal yang dicita-citakan manusia. Lebih jauh lagi, apabila kepentingan Gereja ditujukan untuk membantu orang miskin dan rakyat tertindas, maka diantara Marxisme dan Kekristenan tak ada kontradiksi keduanya berada di pihak yang sama”.
Teori pembebasan juga bisa dikatakan berpengaruh di Indonesia terutama pada tahun 1980-an. Masuknya gagasan Pembebasan ini tak lepas dari dua hal. Pertama, terbongkarnya kesadaran palsu intelektual Indonesia yang dulu mendukung Orde Baru justru dari terjadinya Revolusi Mahasiswa di Perancis yang mengenalkan ‘Kesadaran Kiri Baru’ dan Kedua, adalah berkembangnya teologi pembebasan Katolik terutama di Timor-Timur yang menjadi sumber dari rembesnya ajaran Pembebasan Latin lalu justru dikembangkan oleh intelektual-intelektual Islam yang jauh lebih berani ketimbang intelektual Katolik di Indonesia yang masih terpengaruh ajaran Pater Beek. Di kalangan Islam saya membaca banyak tulisan-tulisan teologi pembebasan itu dengan membahas Marxisme secara rinci dan dalam, terutama bahasan dari Dawam Rahardjo, Fachry Ali dan Gus Dur di majalah Prisma. Gagasan pembebasan inilah yang kemudian berkembang menjadi pemikiran independen secara ekonomis dimana melahirkan pemikir ekonomi kerakyatan paling berpengaruh yaitu : Adi Sasono.
Apa yang terjadi di Paraguay dan kemudian meluas ke seluruh penjuru dunia, sehingga mengepung Amerika Serikat sebagai biang masalah problem-problem kemanusiaan adalah ajaran Marx yang selalu relevan dalam konteks sejarah. Karena ajaran Marx itu memuat empat hal yang selalu relevan selama penindasan dan susunan masjarakat yang tidak adil terjadi.
Pertama, Marxisme adalah teori yang monistik yang memegang kunci penjelasan mengenai segala sesuatu yang penting dalam organisasi masjarakat dan mengenai segala sesuatu yang mungkin dalam sejarah. Orang-orang yang dibingungkan oleh berbagai peristiwa merasa menemukan suatu doktrin yang memegang kunci sejarah. Dari sinilah kita bisa memanfaatkan pengetahuan yang dikenalkan Marx yaitu : Metode Dialektika dalam memahami sejarah. Materialisme Historis Dialektika bukanlah dogma tapi alat analisa bagaimana sejarah bekerja bagaimana susunan masjarakat mengalami timbal baliknya.
Kedua, dalam Marxisme seluruh teori-teorinya terkandung suatu ekspresi harapan. Keadaan masjarakat yang seputus asa apapun, maka tetap terkandung harapan. Runtuhnya Orde Baru dan jatuhnya Suharto ke dalam lembah kehinaan adalah sebuah ekspresi harapan yang termaterialisasi oleh bangsa Indonesia untuk usahanya membebaskan dirinya dari struktur masjarakat tertindas menuju masjarakat yang dibebaskan. Perjuangan ini akan terus berlanjut selama susunan masjarakat tidak memberikan ruang bagi pembebasan manusia. Dan kunci dari semua itu adalah harapan.
Ketiga, Marxisme memberikan kepercayaan akan kebebasan. Di negara-negara yang diperintah oleh kaum Marxis, dimana represif terjadi terus menerus, rakyatnya pun masih percaya bahwa suatu hari kebebasan akan diberikan sesuai dengan cita-cita.
Keempat, terdapat unsur-unsur kebenaran dalam Marxisme, betapapun kaburbnya ia membeberkan beberapa peristiwa dan fakta sosial yang khususnya menyangkut hakikat masjarakat industri, Marxisme kerap menyodorkan analisis yang tajam terhadap masjarakat modern.
Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.
Dan menjadi manusia ideal dalam konteks Marx : Terwujudnya manusia ideal sosialis lebih merupakan proses dan bukan momen yang tiba-tiba. Demikian juga terwujudnya masjarakat yang tidak menindas satu sama lain, disini merupakan proses terus menerus dari kerja sejarah.
Dalam tataran ini Marx berbicara tentang eksistensi kemanusiaan, wilayah perhatian Marx tidak saja melulu pada problem kapital tapi sebelum masuk ke problem Kapital, Marx menganatomi lebih dulu problem-problem Eksistensi manusia. Maka Marxisme juga mengarahkan bagaimana “Manusia sebagai kebaikan tertinggi dan perjuangan untuk mengubah hubungan-hubungan sosial yang menindasnya”
Pada titik ini bertemunya antara kekuatan pemikiran Marx dengan dasar-dasar teologi keagamaan. Semua agama selalu memberikan jawaban atas kemanusiaan dari sudut dasar spiritualitas, kewajiban-kewajiban luhur manusia di muka bumi. Marx sendiri memang membatasi dirinya pada sisi Materialisme. Disini bukan berarti Marx tidak paham masalah metafisika dan hubungannya dengan Ketuhanan, tapi Marx memang sengaja berhenti pada tapal batas antara Materialisme dengan Immaterialisme untuk memfokuskan diri pada “Bagaimana terbentuknya sejarah masjarakat, guna menganatomi bagaimana penindasan manusia atas manusia lainnya bisa terjadi”
Setiap filsuf memiliki imajinasinya sendiri atas manusia ideal. Plato misalnya mengidealkan seorang manusia tertinggi pada “Manusia yang berbakat sebagai pemimpin namun berpikiran filsuf dan berjiwa halus”. Pada Aristoteles “Kemanusiaan ditempatkan sebagai individu yang mencari terus menerus kebenaran” dalam konsepsi Islam sendiri “manusia sempurna digambarkan dalam Insanul Kamil, sebuah kemanusiaan yang terbentuk dalam pengalaman spiritual dan pengalaman material, Kemanusiaan yang tahu akan jalan Tuhan namun juga tahu jalan dunia yang benar, Dimana kemanusiaan bisa terbentuk dari sepanjang surah Al Fatihah, manusia yang sadar sejarah dan berjalan di jalan yang lurus”. Nietszche, menggambarkan kemanusiaan yang sempurna, ialah kemanusiaan yang super. Uebermensch adalah manusia yang menjalani semua cobaan-cobaan hidup sehingga ia sadar akan batas eksistensinya dan ketika eksistensi itu menyatu dalam kesadaran maka kemanusiaan akan mendapatkan esensinya. Marx sendiri memiliki gambaran kemanusiaan yang lebih realistis dan berkembang pada dasar-dasar psikologis individu yang kemudian ditarik ke dalam analisanya atas terbentuknya sejarah masjarakat, terbentuknya anatomi atas penindasan dan sumber dari segala sumber masalah atas manusia. Bagi Marx : Manusia ideal adalah manusia yang bebas dan dibebaskan oleh segala bentuk keterasingan, manusia ini akan membangun kreativitasnya tanpa beban apa-apa. Manusia yang berjalan di dunia dengan bakatnya, dengan talentanya dan tidak ada struktur yang menindas. Awal mula keterasingan manusia, menurut Marx adalah ketika manusia menciptakan benda dan benda itu kemudian mengantarkan manusia pada keterasingan-keterasingan yang disetiap dimensinya membentuk keterasingan lain, seperti Keterasingan ekonomi, keterasingan religius, keterasingan spiritual dan keterasingan kemanusiaan atau humanisme. Jalan utama dari pemecahan problem-problem keterasingan itu adalah dimulai dengan memecah keterasingan ekonomi. Marx melihat masalah ‘hak milik’ menjadi akar dari penyebab keterasingan manusia. “untuk menemukan kembali kemanusiaannya yang terasing, Marx mencoba menganatomi bagaimana hak milik bisa menjadi manusia terasing dari dirinya”.
Keterasingan manusia pada hal religius yang disoroti oleh Engels dalam melihat Tuhan sebagai gambaran citra manusia, ini artinya Tuhan disepakati sebagai ciptaan pikiran manusia, tidak berasal dari Marx. Engels-lah yang benar-benar mengambil jarak antara pemikiran Marx yang abai terhadap Tuhan karena masalah Materialisme Historis menjadi Pemikiran yang menganggap “Tuhan Tidak Ada” hal ini kemudian diperkuat oleh Lenin dengan menyatukan anggapan bahwa Agama sama saja dengan Kapitalisme, adalah sumber dari keterasingan manusia atas ciptaannya. Gereja Katolik jelas sebagai institusi keagamaan berdiri di barisan paling depan dalam melawan Marxisme Leninis. Banyak perang terjadi untuk sekedar pertaruhan mana yang benar dan mana yang salah dalam teori yang amat bias ini. Bisa dikatakan bias karena Marx sendiri “Hanya membatasi masalah pemecahan kemanusiaan dengan membatasi pada persoalan-persoalan sejarah, dan persoalan sejarah adalah persoalan perkembangan masjarakat yang harus disepakati sebagai persoalan Materialisme Dialektika Historis jadi Marx tidak masuk ke dalam alam metafisika yang tidak berkenaan dengan alam material”. Pada tahun 1971 Paus Paulus VI menyatakan fatwanya dalam Octogesima Adveniens bahwa : “Marxisme adalah ideologi yang bertentangan dengan Iman” Namun keputusan gereja katolik ini justru mendapati arus balik dari para pastor yang memperhatikan bagaimana teori Marx seharusnya bekerja kemudian muncullah gagasan teori teologi pembebasan yang inspirasinya bersumber dari Marxisme. Di mana-mana muncul “Kiri Katolik” di Inggris Dennys Turner berkata “Bahwa seorang Katolik tak hanya dapat menjadi Marxis, tetapi seharusnya menjadi Marxis” Gerakan meminati Marx di kalangan Gereja juga berlangsung di Filipina, seorang pastor Filipina, Conrado Balweg berkata dalam sebuah wawancara “Marxisme bukan dogma; ia cuma perangkat ilmiah yang bisa dipakai untuk menganalisa masjarakat. Melalui Marxisme anda bisa memahami agama dengan lebih baik; dalam hubungannya dengan massa. Di sisi lain keduanya berbeda : yang satu sebagai alat analisa dan yang lainnya keadaan ideal yang dicita-citakan manusia. Lebih jauh lagi, apabila kepentingan Gereja ditujukan untuk membantu orang miskin dan rakyat tertindas, maka diantara Marxisme dan Kekristenan tak ada kontradiksi keduanya berada di pihak yang sama”.
Teori pembebasan juga bisa dikatakan berpengaruh di Indonesia terutama pada tahun 1980-an. Masuknya gagasan Pembebasan ini tak lepas dari dua hal. Pertama, terbongkarnya kesadaran palsu intelektual Indonesia yang dulu mendukung Orde Baru justru dari terjadinya Revolusi Mahasiswa di Perancis yang mengenalkan ‘Kesadaran Kiri Baru’ dan Kedua, adalah berkembangnya teologi pembebasan Katolik terutama di Timor-Timur yang menjadi sumber dari rembesnya ajaran Pembebasan Latin lalu justru dikembangkan oleh intelektual-intelektual Islam yang jauh lebih berani ketimbang intelektual Katolik di Indonesia yang masih terpengaruh ajaran Pater Beek. Di kalangan Islam saya membaca banyak tulisan-tulisan teologi pembebasan itu dengan membahas Marxisme secara rinci dan dalam, terutama bahasan dari Dawam Rahardjo, Fachry Ali dan Gus Dur di majalah Prisma. Gagasan pembebasan inilah yang kemudian berkembang menjadi pemikiran independen secara ekonomis dimana melahirkan pemikir ekonomi kerakyatan paling berpengaruh yaitu : Adi Sasono.
Apa yang terjadi di Paraguay dan kemudian meluas ke seluruh penjuru dunia, sehingga mengepung Amerika Serikat sebagai biang masalah problem-problem kemanusiaan adalah ajaran Marx yang selalu relevan dalam konteks sejarah. Karena ajaran Marx itu memuat empat hal yang selalu relevan selama penindasan dan susunan masjarakat yang tidak adil terjadi.
Pertama, Marxisme adalah teori yang monistik yang memegang kunci penjelasan mengenai segala sesuatu yang penting dalam organisasi masjarakat dan mengenai segala sesuatu yang mungkin dalam sejarah. Orang-orang yang dibingungkan oleh berbagai peristiwa merasa menemukan suatu doktrin yang memegang kunci sejarah. Dari sinilah kita bisa memanfaatkan pengetahuan yang dikenalkan Marx yaitu : Metode Dialektika dalam memahami sejarah. Materialisme Historis Dialektika bukanlah dogma tapi alat analisa bagaimana sejarah bekerja bagaimana susunan masjarakat mengalami timbal baliknya.
Kedua, dalam Marxisme seluruh teori-teorinya terkandung suatu ekspresi harapan. Keadaan masjarakat yang seputus asa apapun, maka tetap terkandung harapan. Runtuhnya Orde Baru dan jatuhnya Suharto ke dalam lembah kehinaan adalah sebuah ekspresi harapan yang termaterialisasi oleh bangsa Indonesia untuk usahanya membebaskan dirinya dari struktur masjarakat tertindas menuju masjarakat yang dibebaskan. Perjuangan ini akan terus berlanjut selama susunan masjarakat tidak memberikan ruang bagi pembebasan manusia. Dan kunci dari semua itu adalah harapan.
Ketiga, Marxisme memberikan kepercayaan akan kebebasan. Di negara-negara yang diperintah oleh kaum Marxis, dimana represif terjadi terus menerus, rakyatnya pun masih percaya bahwa suatu hari kebebasan akan diberikan sesuai dengan cita-cita.
Keempat, terdapat unsur-unsur kebenaran dalam Marxisme, betapapun kaburbnya ia membeberkan beberapa peristiwa dan fakta sosial yang khususnya menyangkut hakikat masjarakat industri, Marxisme kerap menyodorkan analisis yang tajam terhadap masjarakat modern.
Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.
Dan menjadi manusia ideal dalam konteks Marx : Terwujudnya manusia ideal sosialis lebih merupakan proses dan bukan momen yang tiba-tiba. Demikian juga terwujudnya masjarakat yang tidak menindas satu sama lain, disini merupakan proses terus menerus dari kerja sejarah.