Besok, 7 Mei 2011, kalau tidak ada halangan, Jakarta akan menjadi tuan-rumah pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN. Rencananya, pertemuan ini akan diikuti oleh kepala negara atau kepala pemerintahan negara-negara ASEAN.
Selain membahas situasi terkini di negara-negara ASEAN, khususnya konflik Thailand-Kamboja, pertemuan itu juga akan membahas soal piagam ASEAN dan ASEAN connectivity. Terkait masalah piagam ASEAN ini, sejumlah pihak sudah mengendus agenda perdagangan bebas dan agenda neoliberal lainnya.
Salah satu point dari piagam ASEAN itu adalah pembentukan pasar tunggal. Ide pasar tunggal ini mengidealkan adanya perdagangan bebas (free trade) yang akan terlaksana paling lambat tahun 2015. Dengan begitu, tidak ada lagi hambatan-hambatan dalam perdagangan dan lalu-lintas barang dan jasa, termasuk penghapusan tarif hingga nol persen.
Ide pasar tunggal bukanlah ide baru, tetapi sudah lama bergulir di kalangan negara-negara ASEAN. Indonesia, misalnya, sedikit dan banyaknya sudah menjalankan pasar tunggal ini dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Menteri Perdagangan RI Maria Elka Pangestu, ide pasar tunggal sudah berjalan di Indonesia sejak tahun 2002.
Ada masalah yang akan muncul di sini: Pertama, Indonesia akan dibanjiri oleh berbagai produk barang dan jasa dari luar, yang sangat berpotensi akan menghancurkan daya kompetitif barang dan jasa di dalam negeri. Kedua, ketika pasar domestik mulai dikuasai asing, maka industri dalam negeri pun terancam gulung-tikar. Ketiga, indonesia akan tergadai kedaulatan politik dan ekonominya karena tersubordinasi oleh dominasi negara-negara imperialis.
Situasi ini akan diperparah dengan dibuatnya fakta perdagangan bebas dengan sejumlah kawasan lain atau negara lain: CAFTA (Tiongkok), Australia dan Selandia Baru (AANZFTA), Uni-eropa dan Amerika Serikat. CAFTA, misalnya, yang berada di bawah naungan piagam ASEAN, dianggap telah menyebabkan 145 ribu buruh ter-PHK dan 1600 pabrik nasional mengalami gulung tikar.
Sejarah kelahiran ASEAN tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negeri-negeri imperialis. Selain untuk menangkal pengaruh komunisme, ASEAN juga dipergunakan untuk memastikan dan mempertahankan kontrol negeri-negeri imperialis terhadap kawasan yang kaya sumber daya dan pusat perdagangan ini.
Sampai saat ini, negeri-negeri imperialis masih memandang ASEAN sangat penting secara ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Ketika negeri-negeri imperialis seperti Amerika Serikat dihantam oleh krisis ekonomi, ASEAN-lah yang menjadi “pintu keluarnya”. Dari keseluruhan impor negara-negara ASEAN, Amerika Serikatlah salah satu pemasoknya, selain Jepang dan Uni-Eropa.
Sebaliknya, sasaran utama ekspor ASEAN adalah asia timur, kawasan yang berpenduduk kira-kira tiga miliar, barulah AS dan Eropa. Sebagian besar ekspor negara-negara ASEAN pun masih berupa bahan mentah dan setengah jadi.
Prinsip kerjasama ekonomi negara-negara ASEAN pun masih berkiblat kepada washington consensus. Karena begitu, prinsip kerjasama ekonomi antara negara atau bangsa-bangsa ASEAN pun dilandaskan pada kompetisi dan eksploitasi. Kita tidak mungkin membayangkan masyarakat ASEAN yang hidup damai dan sejahtera, jikalau prinsip kerjasamanya didasarkan pada kompetisi, eksploitasi, dan menggali keuntungan sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, ASEAN harus keluar dari ketiak imperialisme AS dan sekaligus membatalkan semua agenda neoliberal yang sudah pernah diputuskan, termasuk piagam ASEAN. Sudah saatnya ASEAN menggagas integrasi regional yang berbasiskan kepada kerjasama setara, solidaritas, dan bukan sekedar untuk menggali profit (keuntungan).
Sumber : Berdikari Online
Selain membahas situasi terkini di negara-negara ASEAN, khususnya konflik Thailand-Kamboja, pertemuan itu juga akan membahas soal piagam ASEAN dan ASEAN connectivity. Terkait masalah piagam ASEAN ini, sejumlah pihak sudah mengendus agenda perdagangan bebas dan agenda neoliberal lainnya.
Salah satu point dari piagam ASEAN itu adalah pembentukan pasar tunggal. Ide pasar tunggal ini mengidealkan adanya perdagangan bebas (free trade) yang akan terlaksana paling lambat tahun 2015. Dengan begitu, tidak ada lagi hambatan-hambatan dalam perdagangan dan lalu-lintas barang dan jasa, termasuk penghapusan tarif hingga nol persen.
Ide pasar tunggal bukanlah ide baru, tetapi sudah lama bergulir di kalangan negara-negara ASEAN. Indonesia, misalnya, sedikit dan banyaknya sudah menjalankan pasar tunggal ini dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Menteri Perdagangan RI Maria Elka Pangestu, ide pasar tunggal sudah berjalan di Indonesia sejak tahun 2002.
Ada masalah yang akan muncul di sini: Pertama, Indonesia akan dibanjiri oleh berbagai produk barang dan jasa dari luar, yang sangat berpotensi akan menghancurkan daya kompetitif barang dan jasa di dalam negeri. Kedua, ketika pasar domestik mulai dikuasai asing, maka industri dalam negeri pun terancam gulung-tikar. Ketiga, indonesia akan tergadai kedaulatan politik dan ekonominya karena tersubordinasi oleh dominasi negara-negara imperialis.
Situasi ini akan diperparah dengan dibuatnya fakta perdagangan bebas dengan sejumlah kawasan lain atau negara lain: CAFTA (Tiongkok), Australia dan Selandia Baru (AANZFTA), Uni-eropa dan Amerika Serikat. CAFTA, misalnya, yang berada di bawah naungan piagam ASEAN, dianggap telah menyebabkan 145 ribu buruh ter-PHK dan 1600 pabrik nasional mengalami gulung tikar.
Sejarah kelahiran ASEAN tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negeri-negeri imperialis. Selain untuk menangkal pengaruh komunisme, ASEAN juga dipergunakan untuk memastikan dan mempertahankan kontrol negeri-negeri imperialis terhadap kawasan yang kaya sumber daya dan pusat perdagangan ini.
Sampai saat ini, negeri-negeri imperialis masih memandang ASEAN sangat penting secara ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Ketika negeri-negeri imperialis seperti Amerika Serikat dihantam oleh krisis ekonomi, ASEAN-lah yang menjadi “pintu keluarnya”. Dari keseluruhan impor negara-negara ASEAN, Amerika Serikatlah salah satu pemasoknya, selain Jepang dan Uni-Eropa.
Sebaliknya, sasaran utama ekspor ASEAN adalah asia timur, kawasan yang berpenduduk kira-kira tiga miliar, barulah AS dan Eropa. Sebagian besar ekspor negara-negara ASEAN pun masih berupa bahan mentah dan setengah jadi.
Prinsip kerjasama ekonomi negara-negara ASEAN pun masih berkiblat kepada washington consensus. Karena begitu, prinsip kerjasama ekonomi antara negara atau bangsa-bangsa ASEAN pun dilandaskan pada kompetisi dan eksploitasi. Kita tidak mungkin membayangkan masyarakat ASEAN yang hidup damai dan sejahtera, jikalau prinsip kerjasamanya didasarkan pada kompetisi, eksploitasi, dan menggali keuntungan sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, ASEAN harus keluar dari ketiak imperialisme AS dan sekaligus membatalkan semua agenda neoliberal yang sudah pernah diputuskan, termasuk piagam ASEAN. Sudah saatnya ASEAN menggagas integrasi regional yang berbasiskan kepada kerjasama setara, solidaritas, dan bukan sekedar untuk menggali profit (keuntungan).
Sumber : Berdikari Online