Sejarah Gerakan Buruh Indonesia, sebuah tinjauan ringkas Ken Budha Kusumandaru Anggota Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja
Pengantar Pembuatan sebuah tulisan mengenai Sejarah Gerakan merupakan sebuah tugas besar yang luar biasa berat. Dinamika yang terjadi di dalam sebuah masyarakat selalu jauh lebih kompleks dan rumit daripada yang dapat diuraikan oleh satu atau beberapa orang penulis. Dalam tulisan ini penulis hanya berkeinginan untuk memaparkan pembabakan yang telah ditempuh oleh gerakan buruh Indonesia, situasi ekonomi-politik yang sedang berkembang, metode-metode yang dipakainya dalam tiap babak, dan akibat yang dirasakan oleh kaum buruh Indonesia dalam tiap babak pergerakan. Tentu saja, tidak semua orang akan sepakat dengan pembabakan yang dibuat di sini. Pembabakan ini semata ditujukan untuk membedakan keterorganisiran, unsur-unsur yang berfungsi sebagai tulang punggung gerakan dan manfaat/mudharat yang dirasakan kaum buruh Indonesia ketika babak tertentu berlangsung. Diharapkan tulisan ini dapat membantu untuk membangkitkan ilham tentang bagaimana gerakan buruh harus dibangun untuk menghadapi tantangan dalam sebuah situasi tertentu yang berada di depan mata gerakan buruh. Sumber data untuk tulisan ini dapat dilihat pada bagian “Bahan Bacaan”. Latar Belakang Upaya memahami sejarah gerakan buruh Indonesia tidak akan lengkap tanpa memahami perkembangan industri dan kapitalisme di negeri ini. Dari sejarah industrialisasi inilah kita akan memahami perubahan-perubahan yang terjadi di masa lalu, dan mencari pola yang cenderung berulang dalam sejarah. Karena tanpa mempelajari sejarah, kita cenderung akan mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam sejarah tersebut. Masuknya Liberalisme di Indonesia dapat ditelusur pada penunjukan Herman Wilhelm Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels adalah seorang pemikir liberal radikal yang berniat membangun imperium Hindia Belanda sebagai benteng Liberalisme di Asia, yang kelak akan menggusur feudalisme dan mendirikan kapitalisme secara mengurat-mengakar. Daendels memulai upayanya dengan meneguhkan kekuasaan Hindia Belanda di hadapan raja-raja Nusantara, membongkar dinding benteng Batavia dan mempropagandakan manfaat tenaga kerja bebas. Namun, perang yang segera pecah dengan Inggris membuat Daendels terpaksa mengubah rencananya. Blokade armada Inggris di selat Malaka dan ancaman invasi Inggris membuat Daendels berbalik pada cara-cara lama untuk mempertahankan kekuasaan Hindia Belanda. Dari seorang pengajur “kerja bebas”, dia berbalik menjadi pemimpin salah satu era kerja paksa paling brutal dalam sejarah Nusantara: pembangunan jalan raya militer dari Anyer ke Panarukan. Serbuan Inggris dilancarkan setelah masa jabatan Daendels habis. Penguasa Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles merasa jijik dengan adaptasi liberalisme yang setengah hati dari Daendels dan berangkat untuk mereformasi perekonomian Hindia Belanda. Terutama, Raffles memperkenalkan penghapusan perbudakan dan pajak yang dibayar dengan uang. Raffles tidak sempat menyelesaikan reformasinya karena kekalahan Napoleon di Eropa, dan perjanjian damai yang ditandatangi kemudian, memaksanya untuk menyerahkan lagi kekuasaan atas Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanda. Kembalinya kekuasaan Hindia Belanda memang tidak lantas menghapuskan pencapaian Raffles. Setidaknya, di kota-kota di mana terdapat garnisun tentara Belanda, perbudakan merupakan hal ilegal. Patroli Belanda juga sangat berhasil dalam pencegatan atas operasi perampasan budak (slave raid) yang dilakukan para pedagang budak, yang terutama berasal dari keturunan Arab. Para budak yang dibebaskan, serta para pedagangnya tentu, kehilangan penghidupannya berkat keberhasilan ini. Merekalah “pekerja-pekerja bebas” pertama di Nusantara. Namun, sistem ekonomi Nusantara, terutama Jawa, tidaklah siap untuk menyerap tenaga kerja bebas ini. Feudalisme masih terlalu kuat. Sebagai gantinya Pemerintahan pendudukan Inggris dan Hindia Belanda mengintrodusir usahawan keturunan Cina sebagai penyangga agar para pekerja bebas ini dapat menjadi kekuatan produktif yang baru. Sebagai reaksi atas perubahan tata cara perekonomian ini, termasuk perubahan dalam komposisi aktor-aktornya, muncullah berbagai perlawanan yang bertujuan mengembalikan supremasi cara-cara feudal dalam mengelola perekonomian. Salah satu perlawanan reaksioner terhadap menguatnya liberalisme ini adalah yang dilancarkan oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830). Untuk mengatasi perlawanan Diponegoro ini, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan “strategi benteng” (benteng-stelsel) di mana mereka membangun jaringan benteng untuk mengunci gerakan pasukan-pasukan Diponegoro. Perlawanan Diponegoro memang berhasil dipatahkan, tapi Pemerintah Hindia Belanda kehilangan banyak sekali uang untuk membiayai pembangunan benteng-benteng itu. Oleh karenanya, sekali lagi, pasang naik liberalisme dihambat oleh keperluan untuk selekas mungkin mengerahkan sebanyak-banyaknya tenaga kerja, dengan biaya sekecil-kecilnya. Pada masa itu, satu-satunya industri yang dimungkinkan di Nusantara, adalah industri tanaman komersial. Oleh karena itu, pilihan yang diambil oleh pemerintahan Hindia Belanda adalah penerapan cultuure stelsel, yang dalam sejarah Indonesia lebih dikenal sebagai “Tanam Paksa”. Tanam Paksa sesungguhnya bukan satu hal baru bagi petani, terutama di Jawa. Sistem feudal mengharuskan petani menyerahkan sebagian dari hasil panennya untuk dinikmati para pangeran dan raja-raja. Bahkan, pada puncaknya, hanya 190 orang kulit putih yang terlibat dalam pelaksanaan Tanam Paksa (90 penyelia tanaman, 100 supervisor). Pemerintah Hindia Belanda hanya membuat sistem ini berjalan lebih efisien dengan dua cara: diperkenalkannya sistem administrasi modern (dalam ukuran masa itu) dan sistem sub-kontrak. Babak I: Masa Gerakan Tak Teroganisir Diterapkannya sistem Tanam Paksa oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch (1830-1870) adalah satu masa penting dalam sejarah gerakan buruh. Pada masa inilah para petani di Nusantara, utamanya di Jawa (sebagai pusat kekuasaan Hindia Belanda), mulai dihancurkan prikehidupannya sebagai petani dan diubah paksa menjadi buruh tani. Tentu saja, di bawah akumulasi primitif yang diterapkan dalam sistem tanam paksa, para buruh tani ini tidak memperoleh upah. Kondisi kerjanya lebih mirip corvee labor atau pekerja paksa. Para petani Jawa diperkenankan memiliki tanah, namun harus membayar pajak natura berupa keharusan untuk menyerahkan sebidang tanahnya untuk tanaman komersial yang laku di Eropa. Pilihan lain adalah menyerahkan 66 hari dalam setahun untuk bekerja pada perkebunan milik Gubernemen. Tepatlah jika istilah koeli dipakai pada jaman itu. Dalam masa ini, dimulailah proses di mana prikehidupan tani feudal mulai digantikan oleh sebuah prikehidupan di mana kerja tidak lagi dikaitkan dengan tanah milik, melainkan dengan sebuah lembaga pencetak profit—dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan-perusahaan perkebunan milik Kerajaan Belanda. Era Liberal yang menyusul tahun-tahun Tanam Paksa menyebabkan tumbuh suburnya perkebunan swasta menggantikan perkebunan milik Kerajaan Belanda. Struktur pedesaan Jawa pun digerus oleh struktur industrial, sekalipun masih berupa industri ekstraktif. Perkebunan-perkebunan swasta pun dibuka di Sumatra, dengan sumber tenaga kerja para koeli kontrak—yang didatangkan dari Jawa atau Semenangjung Melayu. Kontrak-kontrak ini disertai ancaman poenale sanctie yang kejam. Kondisi kerja yang demikian buruk memicu munculnya bentuk perlawanan yang khas sebuah gerakan buruh: pemogokan. Salah satu pemogokan pertama dalam sejarah Indonesia tercatat di tahun 1882 di Yogyakarta, di mana pada puncak gelombang pemogokan ini 21 pabrik gula terpaksa menghentikan produksinya karena pemogokan. Isu yang diangkat adalah 1) Upah; 2) kerja gugur-gunung (kerja rodi wajib) yang terlalu berat; 3) kerja jaga 1 hari tiap 7 hari; 4) kerja moorgan yang tetap dijalankan padahal tidak lazim lagi; 5) upah tanam sering tidak dibayar; 6) banyak pekerjaan tidak dibayar padahal bukan kerja wajib; 7) harga yang dibayar pengawas terlalu murah dibandingkan harga pasar; 8) pengawas Belanda sering memukul petani. Apakah Anda merasa akrab dengan tuntutan-tuntutan ini? Tiadanya pengorganisasian modern untuk mendukung pemogokan-pemogokan ini menyebabkan terjadinya kekalahan demi kekalahan di pihak kaum buruh. Para sejarawan juga enggan melakukan pencatatan terhadap pergerakan ini terutama karena tiadanya keteraturan dalam pemogokan-pemogokan tersebut. Babak II: Terbentuknya Serikat-serikat Buruh Serikat-serikat buruh di Hindia Belanda mulai dibangun oleh buruh-buruh kulit putih. Perkembangan gerakan buruh di negeri Belanda sendiri membuat banyak buruh warga negara Belanda membentuk serikat buruh di negeri-negeri jajahan. Banyaknya buruh kulit putih di negeri jajahan ini juga bersangkutan dengan semakin berkembangnya industri, terutama industri perkebunan, yang kemudian menuntut dikembangkannya sarana transportasi yang menghubungkan lahan kebun, pabrik dan pasar-pasar, didirikannya sekolah-sekolah untuk mencetak tenaga perkebunan yang handal dari kalangan pribumi, maupun perluasan jajaran birokrasi yang diperlukan untuk mengatur perekonomian modern yang lebih kompleks tersebut. Berturut-turut lahirlah Nederlandsch-Indisch Onderwijzer Genootschap (1897), Statspoor Bond (serikat kereta api negeri, 1905), Suikerbond (serikat buruh gula, 1906), Cultuurbond Vereeniging v. Asistenten in Deli (serikat pengawas perkebunan Deli, 1907), Vereeniging von Spoor en Tramweg Personeel in Ned-Indie (serikat buruh kereta api dan trem, 1908), dll. Sekalipun pada awalnya serikat-serikat buruh ini dibangun oleh buruh-buruh kulit putih, namun semangat internasionalis dari gerakan buruh, yang saat itu sedang kuat di Eropa, meluber juga ke Hindia Belanda. Banyak serikat buruh yang tadinya eksklusif untuk kulit putih ini perlahan-lahan membuka pintu untuk bergabungnya buruh-buruh pribumi. Selain itu, persinggungan antara buruh-buruh pribumi dengan buruh-buruh kulit putih telah menularkan pula keinginan untuk membangun serikat buruh sendiri di kalangan pribumi. Di antara serikat-serikat buruh yang dibangun oleh pribumi, layak disebut Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (1911), Persatoean Goeroe Bantoe (1912) dan Personeel Fabriek Bond (1917). PFB adalah sebuah serikat buruh yang dibentuk oleh Soerjopranoto, yang kelak akan dikenal sebagai salah seorang “radja mogok” Hindia Belanda. Dari beberapa serikat buruh yang dibentuk oleh buruh-buruh kulit putih, salah satu yang terpenting adalah VSTP. VSTP, yang didirikan 14 November 1908 di Semarang, dengan cepat menyerap buruh-buruh pribumi ke dalam jajarannya. Pada tahun 1914, buruh-buruh pribumi ini telah mendapat tempat dalam jajaran pimpinan tertinggi VSTP—di mana 3 dari 7 anggota pimpinan pusatnya adalah pribumi. Tahun 1915, VSTP telah menerbitkan sebuah koran dalam bahasa Melayu, bertajuk Si Tetap. Salah satu dari tiga orang pribumi yang terpilih dalam pimpinan pusat VSTP ini adalah seorang pemuda berusia 16 tahun bernama Semaoen. Semaoen adalah seorang organiser yang sangat giat dan, semenjak bergabung dengan VSTP di tahun 1914, sampai tahun 1920 dia telah mendirikan 93 cabang VSTP di Jawa dan Sumatera. Pada tahun 1923, anggota VSTP tercatat berjumlah 13.000 orang atau ¼ dari total buruh industri kereta api di Hindia Belanda. Semaoen dan Soerjopranoto kemudian menyatukan kekuatan dan berdirilah PPKB (Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh) di tahun 1919. Semaoen menjadi ketua sedang Soerjopranoto menjadi wakilnya. Sejak berdirinya PPKB ini dimulailah era pemogokan di mana kedua pimpinan PPKB ini lantas dikenal sebagai “si radja-radja mogok”. Pemogokan menjadi senjata utama PPKB menimbang metode perjuangan yang dipilihnya: “PPKB akan memasakkan itu dengan 3 djalan yang ada, jaitu: ‘Berichtiar mendapat kuasa dalam pemerintahan negeri supaja negeri terperintah—oleh—rakyat—sendiri mengurus djalannya redjeki.’ (sosial demokratisch politiek), ‘mengeratkan kaum buruh dalam pekerdjaannya guna merobah nasibnja’ (vakstrijd), ‘mengadakan perdagangan oleh—dan—buat—rakjat (koperasi).” Berhadapan dengan gelombang pemogokan yang terutama ditulangpunggungi oleh PFB dan VSTP, pemerintah Hindia Belanda awalnya berupaya mendorong terjadinya hubungan industrial yang harmonis lewat “Dewan Perdamaian untuk Spoor dan Tram di Djawa dan Madura”. Namun, karena keterlibatan banyak aktivis buruh dalam ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia) dan kedekatan dengan isu-isu hak menentukan nasib sendiri, pemerintah Kolonial lantas mengambil tindakan yang lebih keras. Ditetapkanlah UU Larangan Mogok (161 bis), UU Penghasutan dan Penghinaan pada Pemerintah (151 bis dan 151 TER)—UU Penghasutan dan Penghinaan ini di kemudian hari diadopsi oleh pemerintah Indonesia dalam KUHP dan dikenal sebagai “pasal-pasal karet.” Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa gerakan buruh di seputar tahun 1920-an adalah gerakan teroganisir pertama di Indonesia yang menempatkan penggulingan kekuasaan kolonial sebagai salah satu tujuan perjuangannya. Apalagi,di tahun 1920, Semaoen telah memimpin peralihan ISDV menjadi Partai Komunis Hindia, lalu tujuh bulan kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia—ini menjadikan PKI sebagai organisasi nasional pertama yang terang-terangan menggunakan kata “Indonesia”. Persoalan penggulingan kekuasaan kolonial inilah yang kemudian membuat pemerintah Kolonial bertindak keras. Para pimpinan buruh ditangkapi dan dibuang ke berbagai tempat. Semaoen sendiri dibuang ke Negeri Belanda. Pasca penangkapan terhadap para pimpinan buruh ini, generasi berikutnya ternyata bersikap lebih keras terhadap pemerintahan kolonial. Mereka ini, terutama yang tergabung dalam PKI, menganjurkan dilakukannya pemberontakan terbuka oleh buruh untuk menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda. Rencana untuk memberontak ini direalisasikan di tahun 1926. Tidak banyak yang diketahui mengenai rencana pemberontakan ini. Berbagai keterangan menggambarkan pemberontakan ini secara simpang-siur. Jika memoar Hatta dapat dipercaya, rencana ini sesungguhnya adalah sebuah rencana setengah matang, yang tidak dikoordinasikan dengan baik, tidak melibatkan front perjuangan yang luas dan dilancarkan secara prematur. Apapun yang sesungguhnya terjadi, pemberontakan 1926 ini adalah pemberontakan buruh yang sejati, yang direncanakan dan dilaksanakan sendiri oleh kaum buruh. Pemberontakan ini adalah juga pemberontakan pertama yang dilancarkan secara terbuka untuk tujuan menggulingkan pemerintah kolonial Belanda. Pemberontakan yang gagal ini merugikan gerakan buruh. Tercatat 4500 orang pimpinan gerakan buruh dijebloskan ke penjara dan 1300 lainnya dibuang ke Boeven Digul (di Papua Barat sekarang). Praktis, gerakan buruh kehilangan sebagian besar pimpinannya, yang sudah terlatih membangun gerakan buruh selama belasan tahun. Babak III: Konservatisme Gerakan Buruh Kekalahan Pemberontakan 1926 melucuti gerakan buruh dari pimpinan-pimpinannya yang radikal dan berwatak revolusioner. Yang tersisa adalah para pimpinan yang konservatif, yang berwatak pasifis dan condong kepada ideologi keserasian antara buruh dan kapitalis. Salah satu bentuknya muncul dalam gagasan Dr. Soetomo, yang mengajukan bahwa buruh harus memisahkan dirinya dari partai politik, harus juga memusatkan perhatian pada upaya-upaya memperbaiki nasib dan tidak bersentuhan dengan aksi-aksi politis. Soetomo mendukung berdirinya Persatoean Serikat Sekerdja Indonesia di Surabaya, tahun 1930. Dia juga mendukung adanya asas tunggal untuk serikat-serikat sekerja semacam itu. Ide ini menyebar luas di kalangan gerakan buruh. Di tahun 1941, menjelang masuknya Jepang ke Indonesia, berdirilah Gabungan Serikat-serikat Sekerdja Partikelir Indonesia (GASPI) yang berideologi semangat damai dalam perusahaan dan “pemegang modal dan pemegang buruh adalah sama harga, karena sama arti.” Pada tahun itu juga Jepang masuk ke Indonesia, dan semua gerakan politik di Indonesia (termasuk gerakan buruh) dibungkam total oleh pemerintahan Fasis Jepang dan terpaksa bergerak di bawah tanah. Babak IV: Buruh Berpolitik Selepas penjajahan Jepang, gerakan buruh menggeliat bangkit dari kehidupan bawah tanahnya. Tidak sampai sebulan setelah Proklamasi Agustus 1945, didirikanlah Barisan Buruh Indonesia (BBI). Pada gilirannya, BBI melahirkan pula Partai Buruh, Lasjkar Buruh Indonesia sebagai sayap bersenjata, dan Barisan Buruh Wanita (BBW) sebagai sayap perempuan dari gerakan buruh. Di tahun 1946, BBI berubah nama menjadi Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI). Tahun itu juga, GASBI bergabung dengan Gabungan Serikat Buruh Vertikal (GSBV) membentuk SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Keterlibatan SOBSI dalam Proklamasi Madiun (1948), dan represi yang menyusulnya, menyebabkan gerakan buruh agak terseok-seok selama beberapa lama. Namun, di tahun 1950, ketika Soekarno memutuskan untuk mengundang unsur-unsur progresif dalam pembentukan kabinetnya, SOBSI telah kembali berdiri dan semakin menguat dalam dasawarsa tersebut. Pada dasawarsa tersebut, SOBSI adalah serikat buruh terbesar dan terkuat di Indonesia, dengan 2,5 juta anggota dan 34 serikat buruh anggota. Selain SOBSI, ada dua lagi serikat buruh beraliran progresif yang patut disebut. Yang pertama adalah GASBRI (Gabungan Serikat Buruh Revolusioner Indonesia) yang dekat dengan Partai Murba. Partai Murba sendiri adalah hasil pengembangan dari sekelompok orang yang di tahun 1946 memisahkan diri dari SOBSI. Dalam kongresnya tahun 1951, GASBRI berubah nama menjadi SOBRI (Sentral Organisasi Buruh Revolusioner Indonesia). Yang kedua adalah SARBUPRI (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) yang didirikan tahun 1947. SARBUPRI memiliki kedekatan dengan SOBSI dan ormas-ormas lain yang juga dekat dengan PKI. Ketiga serikat buruh ini kerap mengadakan pemogokan besar yang berujung pada kemenangan bagi buruh. Statistik menunjukkan bahwa antara tahun 1921-1955 terjadi 11.763 pemogokan yang melibatkan 918.739 buruh. Aksi-aksi nasionalisasi yang dilancarkan oleh serikat-serikat ini menghasilkan kemenangan besar di mana-mana, sekalipun kemudian kemenangan ini tidak banyak mereka nikmati—malah banyak perusahaan Belanda yang berhasil dinasionalisasi kemudian malah diambil-alih oleh Angkatan Darat. Tuntutan untuk dilibatkan dalam proses produksi juga berhasil dimenangkan. Presiden Soekarno mendukung program ini dan memerintahkan membentuk Dewan Perusahaan di tahun 1960, di mana buruh berkedudukan dalam Dewan Pertimbangan. Kehadiran tiga serikat buruh besar yang beraliran progresif ini menyebabkan partai-partai politik lainnya juga berusaha untuk membangun serikat buruhnya sendiri. PNI membangun Kesatuan Buruh Marhaen (KBM, berdiri 1952), NU membentuk Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi, berdiri 1956), PSII membentuk GOBSI di tahun 1959, orang-orang Katolik membangun Ikatan Buruh Pantjasila dan Masjumi mendirikan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII). SBII inilah yang kelak memainkan peranan penting dalam mengubah wajah gerakan serikat buruh, terutama memasuki era Orde Baru. SBII menganut ideologi harmoni. Bagi mereka, jangan sampai ada permusuhan antara buruh dengan majikan. Jadi, apabila ada perselisihan perburuhan, SBII akan mengusahakan bantuan materiil pada buruh yang menjadi korban, baik berupa uang ataupun bentuk lainnya. Ini supaya lambat-laun akan terjadi perdamaian dan harmoni di setiap pusat-pusat buruh. Pada tahun 1959, SBII terkena dampak dari pembubaran Masjumi atas perintah Soekarno—dengan alasan keterlibatan Masjumi dalam pemberontakan PRRI-Permesta. SBII kemudian bergabung dengan Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo). Jusuf Wibisono, salah satu pendiri Gasbiindo, menelurkan konsep Bahaya Merah di Indonesia. Untuk membendung “Bahaya Merah” ini, Wibisono kemudian bekerja sama dengan Angkatan Darat membangun Badan Kerdjasama Buruh-Militer (BKS BuMil) dan menjadi salah satu pendukung utamanya. Angkatan Darat juga mensponsori pembentukan SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia) di tahun 1961. Para perwira Angkatan Darat yang terlibat dalam PRRI-Permesta, seperti Zulkifli Lubis dan Sumual, ditempatkan sebagai pimpinan SOKSI. Ketua SOKSI, Jenderal Suhardiman, juga merangkap sebagai Presiden Direktur dari PT. PP Berdikari. Berhadapan dengan kebangkitan dan penguatan serikat-serikat buruh yang berorientasi pada ideologi “harmoni”, yang dekat dengan tentara dan yang jelas-jelas dipimpin oleh militer-pengusaha ini, serikat-serikat buruh beraliran progresif malah mengalami berbagai kemunduran. Tentu saja jumlah anggota mereka meningkat. SOBSI saja tercatat memiliki 3,3 juta anggota di tahun 1960-an, belum kedua serikat buruh progresif lainnya. Namun, di antara mereka sendiri sulit untuk bekerja sama. Perasaan saling curiga, yang sebagian di antaranya didorong oleh pertikaian di kalangan gerakan progresif internasional, menghambat kerjasama efektif antara SOBSI dan SARBUPRI dengan SOBRI. Di samping itu, ruang politik yang terbuka lebar, di antaranya adalah partisipasi dalam penyusunan UU Perburuhan no 22/57 dan 12/64, menyebabkan ketiga serikat buruh progresif ini menurunkan aktivitasnya di basis. Antara tahun 1955-59 hanya terjadi 631 kali pemogokan yang diikuti 441.900 orang buruh. Terjadi penurunan perlawanan nyaris sampai setengah dari apa yang kita lihat pada tahun-tahun sebelumnya. Jadi, ketika badai datang di pertengahan dasawarsa 1960-an, gerakan buruh progresif tidak siap untuk menghadangnya. Babak V: Pembungkaman Gerakan Buruh Peristiwa kelam yang terjadi di tahun 1965 membalikkan keadaan secara drastis. Tuduhan yang dilontarkan Angkatan Darat bahwa PKI mendalangi peristiwa penculikan jenderal-jenderal, dan pembantaian aktivis gerakan rakyat yang terjadi sesudahnya, praktis menghancurkan struktur dan sendi-sendi kekuatan gerakan buruh progresif. Orde Baru bergerak cepat merekonstruksi perekonomian Indonesia sementara para aktivis buruh progresif tengah meregang nyawa di tangan para pembunuh yang sampai sekarang tidak pernah diadili. Orde Baru membuka pintu lebar-lebar kepada perusahaan-perusahaan asing. Soeharto juga membuka pintu bagi mengalirnya pinjaman luar negeri untuk berbagai proyek yang kemudian dikelola oleh mitra-mitra dan kerabat dekatnya. Dengan bantuan Frederich Ebert Stiftung, sebuah yayasan milik Partai Sosial Demokrat Jerman yang pro pasar bebas, pemerintahan militer ini juga merekonstruksi gerakan buruh. Melalui sebuah seminar yang disponsori FES di tahun 1971, disusunlah konsep baru serikat buruh Indonesia yang akan didukung oleh Orde Baru: 1. Gerakan Buruh harus sama sekali lepas dari kekuatan politik manapun; 2. Keuangan organisasi tidak boleh tergantung dari pihak luar; 3. Kegiatan serikat buruh dititikberatkan pada soal-soal sosial ekonomis; 4. Penataan ulang serikat-serikat buruh yang mengarah pada penyatuan; 5. Perombakan pada struktur keserikatburuhan, mengarah pada serikat sekerja untuk masing-masing lapangan pekerjaan. Setidaknya, itulah prinsip yang dicanangkan secara teoritik. Kenyataannya, rekonstruksi serikat buruh dilaksanakan dalam bentuk FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) yang diketuai Agus Sudono, mantan ketua Gasbiindo, dan sekjennya adalah Suwarto, seorang mantan perwira Opsus (Operasi Khusus, pendahulu Kopkamtib). Di bawah komando dua orang petinggi Golkar ini, serikat buruh memang dilepaskan dari kekuatan politik manapun—dan jatuh ke dalam cengkeraman Golkar. Jajaran pengurus FBSI selalu diambil dari kader-kader Golkar. Sejak awal, jelas bahwa FBSI ditujukan untuk memberangus buruh dan menutup dunia politik bagi buruh. Ideologi yang dikenakan oleh FBSI adalah ideologi harmoni, yakni antara buruh dan pengusaha harus ada ketenangan, tidak boleh ada konflik. Para pengurus teras FBSI juga selalu merupakan tokoh-tokoh yang dekat atau tergabung dalam Golkar. Dengan komposisi kepengurusan semacam ini, FBSI juga berfungsi sebagai pendulang suara bagi Golkar dalam tiap pemilu, mirip dengan “organisasi-organisasi profesi” lainnya seperti HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) maupun HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Walau demikian, FBSI tetap tidak dapat sepenuhnya mengendalikan perselisihan perburuhan. Terlebih sejak Soeharto mengeluarkan Keputusan 15 Nopember 1978 (KNOP 15) yang mendevaluasi nilai rupiah terhadap dolar, dari Rp 415 per dolar menjadi Rp 625 per dolar. Devaluasi ini melambungkan harga-harga kebutuhan pokok—dan mereka yang upahnya tetap, seperti buruh, adalah yang paling terpukul oleh keadaan ini. Perlawanan buruh berlangsung di mana-mana. Di tahun 1985, FBSI diganti menjadi SPSI, keadaan menjadi bertambah parah karena SPSI dijadikan sebuah “wadah tunggal”—sebuah penghalusan istilah bagi dijalankannya sistem korporatisme negara oleh Orde Baru. Untuk memperhalus kenyataan bahwa pemberangusan gerakan buruh dilakukan secara lebih sistematis, Soeharto menunjuk Cosmas Batubara, seorang mantan aktivis ’66, menjadi Menteri Tenaga Kerja. Cosmas memperkenalkan konsep Upah Minimum dan Jamsostek sebagai sogokan bagi buruh yang sekarang tidak lagi memiliki kebebasan untuk berorganisasi. Babak VI: Kebangkitan Kembali Gerakan Buruh Progresif Biar bagaimanapun rejim Orde Baru berusaha—dengan segala represi, siksaan dan terornya—gelombang perlawanan buruh tetap tidak dapat diredam. Bahkan SPSI, yang dirancang sebagai satu alat yang secara sistematik akan menghabisi aspirasi politik buruh, ternyata kemudian dipakai oleh banyak buruh sebagai alat perlawanan. Kita tahu, Marsinah gugur di tahun 1993 ketika memperjuangkan pembentukan SPSI di pabriknya, di Sidoarjo. Kegagalan SPSI untuk berfungsi sebagai serikat buruh yang memperjuangkan nasib buruh ketika berhadapan dengan kerakusan pengusaha ini menyebabkan mulai bertumbuhnya serikat-serikat buruh alternatif. Beberapa yang patut disebut adalah SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), SBMSK (Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan) dan PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia). Perjuangan panjang gerakan buruh Indonesia akhirnya mendapatkan titik-terangnya ketika Soeharto dipaksa turun dari singgasananya. Sekalipun reformasi, yang menyusul lengsernya penguasa Orde Baru itu, tidaklah memberi buah seperti yang diimpikan sebelumnya, reformasi ini tetaplah memberi ruang bagi bertumbuhnya gerakan buruh baru yang lebih segar dan bersemangat. Banyak serikat-serikat independen (baca: berdiri di luar serikat buruh yang bersangkutan dengan SPSI) berdiri di mana-mana. Serikat-serikat yang tadinya dipaksa bergabung dengan SPSI-pun satu-persatu mulai melepaskan diri dari tubuh induknya. Aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi buruh besar-besaran mulai menjadi bagian dari berita sehari-hari di media massa. Salah satu bukti kebugaran gerakan buruh progresif kontemporer ini adalah kemampuannya untuk selama tiga tahun berturut-turut menyelenggarakan Mayday, yang terpimpin oleh ABM, dan diikuti puluhan (mungkin malah ratusan) ribu buruh di seluruh Indonesia. Penutup Dalam sejarah Indonesia, liberalisme tidak pernah berhasil menancapkan kukunya dengan kokoh dan mematangkan negeri ini sebagai benteng industrialisasi. Berkali-kali tata-kelola industri di Hindia Belanda, dan kemudian Indonesia, harus menyerah dan berkompromi dengan model penghisapan primitif yang bercirikan kerja paksa. Oleh karena itu pula sikap industri, dan juga pemerintah yang berdiri di belakang industri itu, hampir selalu bersikap reaksioner terhadap gerakan buruh yang muncul sebagai perlawanan terhadap metode industrial yang kejam itu. Industri, sepanjang sejarah Indonesia, hampir selalu dibangun dari atas, dan mengabdi pada kepentingan penguasa. Sebab itu pulalah sepanjang sejarahnya, gerakan buruh telah mengalami pasang-surut yang tiada hentinya, yang mencerminkan relasi gerakan buruh terhadap kekuasaan, bukan terhadap industri semata-mata. Setiap kali gerakan buruh mengalami pasang, itu pasti karena pengorganisiran yang militan di basis-basis, dan disertai dengan semangat berpolitik. Dan setiap kali gerakan buruh mengalami pukulan balik, itu niscaya disebabkan oleh ketergesa-gesaan, oleh mengendurnya militansi di basis-basis atau oleh keterlenaan akibat politik parlementarisme. Gerakan buruh berlandaskan pada kolektivisme, pada pengorganisiran, pada propaganda yang sabar dan pendidikan yang tidak kenal menyerah, dan penggabungan antara perlawanan sosial-ekonomi dengan perlawanan politik untuk berkuasa. Jika gerakan buruh mengingat ini, dan konsisten melaksanakannya, dia akan kuat dan bugar. Tapi, jika dilupakan, maka gerakan buruh akan letih-lesu, dan akan tercengkeram oleh politiknya kaum pemodal. Bahan Bacaan Cahyono, Edi. Gerakan Serikat Buruh dari Masa Ke Masa: Kolonial Hindia Belanda sampai Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra. tanpa tahun. Brown, Colin. A short history of Indonesia : the unlikely nation?. Crows Nest: Allen & Unwin. 2003 Taylor, Jean Gelman. Indonesia : Peoples And Histories. New Haven: Yale University Press. 2003.