Judul Buku : Muhammad SAW dan Karl Marx tentang Masyarakat tanpa Kelas
Penulis: Munir Che Anam
Penerbit: Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Cetakan: Maret 2008
Tebal: xx + 289 Halaman
Penulis: Munir Che Anam
Penerbit: Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Cetakan: Maret 2008
Tebal: xx + 289 Halaman
Ludwig Wittgenstein melihat hubungan realitas dan bahasa ini menjadi dua macam, yaitu proposisi dan proposisi elementer. Proposisi elementer ini adalah nama-nama yang menunjuk pada objek tertentu dalam realitas. Ia tidak memiliki makna apa pun. Tidak menunjukkan apa pun, sehingga ia tidak bisa berbicara benar atau salah. Yang memiliki makna hanyalah proposisi karena ia merupakan gambaran dari realitas, model dari kenyataan yang dibayangkan.
Bahasa sebagai salah satu alat dan medium transformatif bisa dimasukkan dalam bagian dari contoh bagaimana proposisi elementer tidak punya kuasa memberikan makna terhadap realitas. Sebab, bahasa hanya menjadi medium untuk menunjukkan adanya sebuah objek dalam realitas. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan konsep ide Plato dalam pemikiran filsafatnya. Dalam konteks ini, Plato mengatakan, yang hakikat tidak terletak pada realitas. Tetapi, ada dalam dunia ide.
Pada persoalan hakikat inilah sebenarnya nilai-nilai universalitas itu bertengger, apa pun bentuk bahasa yang digunakan untuk mewakilinya. Maka, menjadi sesuatu yang patut diapresiasi secara positif ketika Munir Che Anam melakukan penelitian yang kemudian tersaji dalam bentuk buku berjudul Muhammad SAW dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa Kelas ini. Munir melihat ada kesamaan antara konsep yang diidealkan Marx dengan ajaran yang dibawa Muhammad SAW, yaitu pada sisi perjuangan untuk menghilangkan ketidakadilan di masyarakat. Yang mesti dilihat adalah hakikat apa yang diperjuangkan, bukan bahasa, atau media lain untuk menamakan konsep dan ajaran tersebut, yang dipakai dalam sebuah perjuangan.
Kesamaan keduanya terletak pada konsep dan ajaran yang dibawa, yaitu perjuangan untuk menegakkan keadilan menuju tatanan masyarakat egaliter dan tanpa diskriminasi.
Karl Marx (1818-1883 M) melihat ketimpangan dan ketidakadilan sosial, terutama pada ranah ekonomi, di wilayah Eropa secara umum dan Prancis secara khusus, merasa terenyuh. Sampai akhirnya ketidakadilan itu mencapai titik klimaksnya pada revolusi besar yang berlangsung pada 1779 di Prancis.
Berangkat dari realitas kehidupan sosial yang demikian, ia kemudian membagi masyarakat menjadi dua kelompok, kelas borjuis sebagai pemilik modal dan cenderung menindas kelas proletar sebagai kelas kedua yang senantiasa tereksploitasi. Kondisi ketidakberdayaan kaum proletar tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi kelas borjuis untuk mempertahankan statusnya dalam strata sosial. Oleh karena itu, kelas borjuis akan terus berupaya mengendalikan status quo itu, dengan segala cara. Ketergantungan kelas proletar merupakan kondisi yang memang diharapkan oleh kelas borjuis.
Sosialisme yang dilontarkan Karl Marx merupakan pengejawantahan dari perlawanannya terhadap kondisi realitas masyarakat. Ia menginginkan kesengsaraan kaum proletar meningkat dan menumbuhkan ketidakpuasan serta rasa kebencian. Kesadaran kaum proletar terhadap ketidakadilan seluruh sistem kapitalistik ini, akan mendorong mereka untuk mulai mengorganisasi dan membangun kelas (hlm.196). Di sinilah titik tolak kemenangan proletariat. Ini adalah kondisi yang didambakan Karl Marx, di mana masyarakat terbangun di atas tatanan tanpa kelas (classes society). Sebuah idealisme yang sampai detik ini tak pernah terwujud dalam dunia realitas.
Tetapi kalau mau menoleh jauh ke belakang sebelum Karl Mark, tatanan masyarakat tanpa kelas sebenarnya sudah pernah diperjuangkan oleh Muhammad SAW (570-632 M) ketika berhadapan dengan masyarakat Arab. Dalam memperjuangkan masyarakat tanpa kelas, Muhammad dengan gagah melawan sistem kapitalisme di Makkah dan Madinah, memperjuangkan upah buruh, membela orang-orang yang dieksploitasi, hamba sahaya, kaum lemah, kaum miskin, para budak, dan bentuk-bentuk diskriminatif lainnya (hlm. 209).
Perjuangan menuju masyarakat tanpa kelas yang diistilahkan sebagai masyarakat egaliter dalam pandangan Hasan Hanafi atau masyarakat tauhidi dalam istilah yang dipakai Asghar Ali Engineer adalah kehidupan masyarakat yang menempatkan semua anggotanya pada posisi setara. Tidak ada superior dan inferior, penindas, dan tertindas.
Perjuangan Muhammad SAW melawan ketidakadilan menuju terciptanya masyarakat tanpa kelas berangkat dari setting sosial masyarakat Arab pra-Islam yang diskriminatif. Ajaran Islam yang dibawanya mengajarkan kesederajatan di antara sesama, karena yang membedakan hanya nilai ketakwaan dari setiap individu.
Pada sisi perjuangan kelas itulah sebenarnya persamaan ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW dengan pemikiran Karl Marx. Sekalipun ”persamaan” itu masih harus diletakkan dalam tanda kurung. Dalam arti, sebagaimana diungkap oleh Abdurrahman Wahid dalam kata pengantar untuk buku ini, bagaimanapun ajaran Muhammad SAW tidak bisa disamakan dengan konsep Karl Marx. Karena ajaran Muhammad tidak hanya bersumber pada akal semata yang berupa sunnah (ijtihadi). Tetapi ia juga berlandaskan pada wahyu Allah dalam Alquran. Dua sumber epistemologis itulah yang disebut, meminjam istilah al-Jabiri, kolaborasi antara epistemologi bayani dan burhani.
Hal itu berbeda dengan konsep yang dilontarkan Karl Marx beberapa abad kemudian yang hanya berangkat dari epistemologi burhani. Asumsi ini didasarkan pada filsafat Karl Marx yang bermula dari konsep dialektika dalam dunia nyata (empiris). Dengan begitu, semua elemen meta-empiris dianggap tidak memiliki peranan sama sekali. Hal inilah mengapa kemudian filsafat Karl Marx disebut dengan Materialisme Dialektik (dialectical materialism). Tuhan sama sekali tidak memiliki tempat dalam ruang pemikiran Karl Marx.
Itulah perbedaan pijakan yang dipakai Muhammad SAW dengan Karl Marx, sekalipun tidak bisa dinegasikan bahwa masih juga terdapat sisi kesamaan. Yaitu, sekali lagi, sama-sama memperjuangkan terbentuknya tatanan masyarakat tanpa kelas. Sebuah konsep universal yang tidak memiliki perbedaan apa pun di antara keduanya. Yang berbeda adalah nama yang dipakai terhadap objek realitas itu.
Apa yang dilontarkan Munir dalam buku ini cukup baik untuk memberikan penyadaran dan tambahan khazanah pengetahuan kita semua. Apalagi, di situasi zaman saat ini yang sudah terkontaminasi oleh kapitalisme global. Hanya saja kekurangan buku ini, sekalipun pada sisi fisik dan editing, tapi cukup mengganggu, adalah pada penulisan ayat yang banyak terbalik.
Semoga bisa diperbaiki untuk edisi selanjutnya. (*)
*) Moh. Asy’ari Muthhar, peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta
Sumber: Jawapos, 8 Juni 2008
*) Moh. Asy’ari Muthhar, peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta
Sumber: Jawapos, 8 Juni 2008