Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
hal itulah yang memberikan landasan bagi keinginan luhur Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Sungguh suatu penghormatan yang begitu tinggi bagi masyarakat Indonesia tanpa mengecualikan status social, ras, suku, gender, agama dst.
Kemudian Negara menegaskan guna tercapainya cita-cita luhur di atas, diterbitkanlah sebuah UU no 44 tahun 2009 tentang rumah sakit sebagai lembaga penyelenggara kesehatan masyarakat dalam kerangka mempertinggi martabat sosiologis dan humanis.
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang dibangun dari cucuran keringat dan genangan darah Rakyat Miskin. Namun sekarang, Orang miskin dilarang sakit!
Karena kalau sakit; Sinis, Kelas B, Generic, kalau bisa dipersulit kenapa tidak, itulah yang diperoleh pasien miskin di RSUD Karawang.
Walau pun sedemikian jelasnya, namun sungguh jauh api dari panggang dengan apa yang terjadi di RSUD Karawang. Teramat banyak jika disebutkan satu persatu kasus atau pasien berikut keluarganya yang mendapatkan pelayanan begitu buruk dari RSUD Karawang. Bukan tak sebab. Tentunya ada factor-faktor tertentu yang menggelanggangi kiprah RSUD Karawang menyimpang dari semangat kemanusiaan dan katakan saja menginjak-injak konstitusi Negara. Pertama, profit oriented telah mengkarakterisasi pada lembaga (yang sejatinya mengabdi kepada peran kemanusiaan) ini, sehingga terjadi disorientasi dari hak menjadi kewajiban. Hak dalam pengertian untuk mendapatkan pelayanan secara manusiawi menjadi kewajiban untuk memenuhi prasarat-prasarat administrative (procedural rigid) atau tingginya biaya pengobatan. Yang lebih sulit diterima oleh akal sehat kita adalah bukan saja sekedar absennya sejumlah unsur harapan akan kesehatan (baca : fisik dan mental) melainkan juga pengabaian atas keselamatan nyawa seseorang. Ujud pasien tak lebih dari konsumen/pasar yang berhak mendapatkan barang atau jasa bilamana tersedia kemampuan financialnya. Padahal dalam konteks diagnose penyakit, tuhan tak pernah memberikan klasterisasi terhadap si kaya dan si miskin; gakin atau berbayar (umum dalam istilah RSUD). Namun klasterisasi pasien antara pasien miskin dengan berbayar nampak eksplisit tanpa tedeng aling-aling atau memerlukan kaca pembesar untuk melihatnya. Dalam kalimat yang lebih tegas lagi, klasterisasi seperti ini merupakan pencampakan social terhadap rakyat miskin yang bukan hanya dibedakan dari segi kwalitas obat namun juga dari segi pelayanan moralitas pekerja RSUD baik dokter maupun paramedisnya yang berkecenderungan kaku dan bodoh.
Kedua, lemahnya pengetahuan masyarakat mengenai dunia farmasi. Banyak kalangan yang menyebutkan bahwa bisnis farmasi adalah salah satu bisnis yang menggiurkan. Hal ini lebih disebabkan oleh gelapnya pengetahuan konsumen terhadap harga-harga obat di pasaran. Belum lagi, obat-obat farmasi/pabrikan memiliki rekomendasi prerogative resep dokter yang nyaris tak dapat diintervensi di hadapan kesanggupan pengetahuan komunal masyarakat awam (pandir) karena menyangkut fatalitas kesehatan seseorang.
Ketiga, sejak dari Sekolah Dasar (dalam bidang studi pendidikan kesehatan jasmani) sudah di perkenalkan sebuah ajaran progresif dalam penyimpulan “preventif lebih baik dari pada kuratif” atau dalam bahasa yang lebih sederhananya “mencegah akan lebih baik dari pada mengobati”. Kredo ini sekarang tak lebih dari sebuah catatan-catatan hipokrit yang sungguh asing bagi masyarakat awam. Kalau pun masyarakat mulai memahami asas hidup sehat tersebut masih didapati persoalan pelik dalam mewujudkan pencegahan terhadap berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh banyak factor. Entah itu bersumber dari makanan berkimia dan polusi O2; waktu untuk berolah raga berikut biaya dalam mengakses pengetahuan-pengetahuan mengenai kesehatan. Dalam kondisi rendahnya tingkat pemahaman dan kesadaran rakyat terhadap kesehatan berhadapan secara langsung dengan lemahnya peran aktif pemerintah dalam membangun lingkungan masyarakat yang sehat dan higienis disertai dengan pendidikan-pendidikannya.
Keempat, dengan system swakelola/swadana yang berlaku di RSUD Karawang memberikan ruang lebar bagi usaha profitabilitas bisnis yang bisa saja dilakaukan oleh unsur-unsur tertentu di dalam RSUD (seperti kepemilikan apotek pribadi) dan sangat dimungkinkan terjadinya korupsi di jajaran menejemen RSUD. Benar, Satu sisi system seperti ini telah mendorong RSUD menjadi lebih mandiri, kreatif dan inovatif, namun di sisi yang berbeda diakui atau pun tidak, yang demikian itu telah menyertai lemahnya kontrol antar pihak baik dalam bidang menejemen keuangan, bisnis pribadi maupun pelayanan dalam makna misi kemanusiaannya.
Kompleksnya noda hitam yang disumbangkan RSUD terhadap rakyat miskin sudah berjalan lama seiring dengan berawalnya akses atas pelayanan RSUD secara gratis oleh rakyat miskin. Namun hingga saat ini pihak-pihak yang berkopeten terhadap kebijakan seakan enggan untuk mengubah haluan RSUD yang telah distorsif ini ke arah yang lebih baik lagi sebagaimana disebutkan di awal-awal tulisan ini. Dengan demikian, sebagai rangkuman dari complicated masalah RSUD yang berujung pencampakan harga diri manusia yang digelari “Masyarakat Miskin” harus ada langkah-langkah solutif yang sesegera mungkin dilakukan oleh pihak-pihak pemangku kebijakan. (i) Segera melakukan reshuffle jajaran pimpinan dan menejemen RSUD Karawang (ii) Menyelidiki dan kemudian menertibkan bisnis farmasi di lingkungan RSUD jika terdapat bukti (iii) Memberikan pelatihan atau training-training mental kepada seluruh jajaran pegawai RSUD secara berkala dan berkelanjutan agar para pekerja RSUD betul-betul memahami pentingnya masyarakat miskin dalam relasi sosial (iv) Membentuk Lembaga Pengawasan Independen yang komposisinya terdiri dari kalangan mahasiswa (akper dan kebidanan Karawang), organisasi masa dan LSM.