Usaha untuk menguasai tanah ditandai oleh kekerasan panjang dalam untaian sejarah. Mulai dari perang suku komunal untuk penguasaan tanah buruan, penaklukkan kerajaan-kerajaan kecil oleh kerajaan besar, penjajahan/pendudukan Negara-negara terbelakang oleh Negara industry maju, hingga kini penguasaan atas tanah melalui kekuatan capital dan regulasi.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah yang memaktubkan 11 bab dan 73 pasal masih berlangsung di DPR. Walaupun beberapa orang anggota DPR ada yang menyatakan penolakannya atas RUU tersebut seperti Abdul Malik Haramain, tapi bukan dalam makna sejati bagi rakyat dalam segi-segi kepentingan hidup dan pri kehidupannya saat ini dan masa mendatang. Karena penolakan oleh DPR terbatas pada hal-hal pasal perpasalnya saja tidak sampai kepada bagaimana sebuah Undang-Undang terkait dengan tanah tercipta baik dengan meletakan dasar-dasar Hak kerakyatan, keadilan produksi, kolektifitas, demokrasi dan keadilan ekologi.
Di luar parlemen, cukup banyak kalangan (terutama Ormas Tani dan LSM) yang secara tegas menolak disahkannya RUU Pengadaan Tanah karena RUU itu dinilai hanya akan menjadikan instrument bagi pengusaha swasta baik asing maupun domestic untuk mendapatkan legitimasi hukum dalam upaya melucuti hak penguasaan tanah rakyat atau adat untuk kemudian bisa diambilnya untuk operasional bisnis/usahanya. Perdebatan pembahasan RUU tersebut di tubuh DPR sendiri akan mengemuka terutama dalam mekanisme formal dewan seperti pansus. Akan tetapi bagi pemerintah sebagai pemangku pesan dari pengusaha senantiasa terus mendesakkan RUU ini kepada DPR agar segera merampungkan pembahasannya, sehingga pembahasan lanjutannya akan sangat dimungkinkan berlangsung secara gerilya di luar mekanisme pansus dan sejenisnya dengan segenap harapannya segala hambatan akan dapat ditepis dan RRU tersebut akan segera menjadi salah satu konstitusi baru yang codificated.
Seandainya menarik filosofi hukum, semua unsur masyarakat mempunyai hak yang sama dan sejajar, tanpa mengecualikan mana si miskin mana si kaya, antara si pemilik dengan si buruh, antara pemilik lahan kecil dengan pemodal besar dan seterusnya. Dengan demikian mesti dicapai keseimbangan hak diantara unsur-unsur tadi dalam kaitannya sebagai warga Negara dan bahkan logika paling sahih pemerintah yang mengharuskan Investor masuk ke Indonesia dalam usaha menanamkan modalnya bagi keterbukaan lapangan kerja tanpa mempedulikan lagi keadilan-keadilan di lapangan produksi dan kelestarian alam.
Dengan dalil pembangunan sebagaimana yang dikehendaki Asian Development Bank/Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia dan Japan Bank for International Cooperation/ JBIC, pemerintah telah menelan bulat-bulat segala yang diperintahkan oleh lembaga lembaga-lembaga donor tersebut. Jikapun RUU Pengadaan Tanah nanti berhasil diundangkan maka itu adalah capaian obyektif dari kemelut antagonis hukum yang berlangsung.
Kepentingan Neoliberalisme sepenuh-penuhnya
Setiap hal-hal yang sekiranya dapat menghambat berkembangnya modal, maka saat itu pula liberalisasi harus merasuk ke dalam regulasi sebagai alat pemaksa. Bea impor telah lebih dahulu diserangnya agar produk luar baik itu hasil produksi manufaktur maupun produksi pertanian secara bebas menggelontor membanjiri pasar domestik kita. Begitu pula dalam hal investasi yang tanpa tedeng aling-aling kini telah leluasanya berkembang di negeri kita dengan membabi buta sehingga menyebabkan kerusakan parah atas bangunan ekonomi nasional.
Sebagaimana yang kita ketahui, belumlah sempurna kedigjayaan neoliberalisme di negeri dunia ke tiga jika belum dipungkas dengan liberalisasi tenaga kerja dan liberalisasi tanah. Mungkin untuk saat ini belum terlalu nampak bagi upaya liberalisasi tenaga produktif, namun kini telah tiba saat-saat genting bagi rakyat karena tengah menerima terror ancaman penjarahan atas tanah rakyat yang dilegalisasi oleh perangkat Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi kepentingan umum yang saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR untuk segera disahkannya. Sungguh menjadi momok memang, namun itulah takdir historis kapitalisme-neoliberal sebagai penggenggam kendali ekonomi politik dunia pada sebuah era.
Skema modal neoliberal dalam kerangka pemusatan/monopoli usaha pangan (sebagaimana food estate di pulau cendrawasih bekerja), pembangunan infrastruktur jalur distribusi barang produksi, pendirian pabrik manufaktur, pembukaan pertambangan, eksploitasi laut, pembangunan pelabuhan dan sebagainya tidak akan terbentuk rapi apabila kemudahan menguasai tanah belum mendapat jaminan hukum dari Negara.
Jika yang telah dilakukan neoliberalisme di negeri ini kita katakan sebagai sebuah kezaliman terhadap mayoritas umat manusia, maka sejarah pun monorehkan fakta dari segala akibat yang dihasilkan system paling reaksioner ini. Adalah belenggu kemiskinan mayoritas rakyat Indonesia berikut porak porandanya alam kita yang sepanjang masa dieksploitasi terus menerus tanpa henti hingga sekarang. Tak heran jika ada prediksi dimasa mendatang akan terjadi kekacauan hebat di negeri ini karena rakyat lapar, dimana rakyat tak lagi memiliki kesempatan berproduksi di tanah halamannya dan pabrik-pabrik dijejali oleh tenaga kerja luar (yang mungkin dimobilisasi dari dunia ketiga tanah afrika sana).
SBY-Boediono memang bukan aktor tunggal dari pelaku kejahatan neoliberalisme yang maha dahsyat ini. Akan tetapi dia telah mengantongi peran kunci bagi terbukanya gerbang liberalisasi/perampasan tanah-tanah milik rakyat yang didalamya terkandung kekayaan yang sungguh menakjubkan tak terkira besarnya. Padahal isi dalam daripada RUU Pengadaan Tanah tersebut sangatlah bertentangan dengan UUD 45 pasl 33 dimana tanah dengan segenap isinya hanya dikuasai Negara bagi kemakmuran rakyatnya. Dalam konstitusi lain (baca : UUPA no 5 tahun 1960) dijelaskan lebih lanjut tentang pentingnya keadilan atas tanah walau dalam skala tertentu UUPA belum menunjukan secara terang benderang tentang keadilan dalam kerja produksi, namun Land reform sebagai intisari UU Keagrariaan tersebut menegaskan bahwa swasta dalam pengertian modal jangan sesekali diberikan ruang berspekulasi atas tanah. Berkaitan dengan itu RUU Pengadaan Tanah yang secara esensial telah benar-benar melanggar larangan bagi swasta untuk menguasai sumber-sumber agraria, maka dengan demikian SBY-Boediyono yang bersikukuh mewakili majikannya (ADB, JBIC dan WB) untuk meng-gol-kan RUU Pengadaan tanah artinya rejim ini benar-benar telah menginjak-injak konstitusi Negara kita yang sah.
Bersamaan dengan itu, walau ada beberapa orang anggota DPR tidak setuju dengan RUU Pengadaan Tanah sebagaimana yang tertulis diawal, namun pada kenyataannya tidaklah menjadi hambatan berarti bagi proses kodifikasi RUU yang controversial tersebut. Dalam Rapat Dengar Pendapat antara pemerintah yang diwakili oleh kementerian PU bersama Pansus RUU Pengadaan Tanah DPR, pernyataan menteri PU Djoko Krismanto perihal rasionalisasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan tidak mendapatkan sanggahan dari pihak Pansus. Justru Nurul Arifin seorang anggota pansus dari partai Golkar yang juga seorang artis cantik yang keblinger malah menyodorkan usulan buta tentang tata cara proses ganti rugi lahan tanpa sedikit pun menyajikan analisa dampak domino dari alih fungsi lahannya. Dalam arti yang sesungguhnya, bagi ADB mengeluarkan hingga 5 miliar untuk pembiayaan pembahasan RUU Pengadaan Tanah tidaklah menjadi hal sia-sia karena begitu mudah membungkam suara kritis DPR.
Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa DPR pun senyatanya sesat dan telah menekukkan lutut dihadapan ADB yang kita yakini sepenuhnya sebagai salah satu mesin operasionalnya neoliberalisme.
Posisi kaum tani dan gerakan
Boleh dibilang, RUU Pengadaan Tanah merupakan reinkarnasi dari perpres 36 yang berhasil dipukul mundur oleh gerakan rakyat (terutama gerakan tani) pada masa-masa awal kekuasaan SBY, Karena RUU Pengadaan Tanah dan Perpres 36 memiliki semangat yang sama, yakni, menggusur, merampas serta menyingkirkan rakyat. Apabila kita cermati, dengan dianulirnya Perpress 36 dulu bukan semata-mata ketakuatan pemerintah menderita kekalahan dalam uji materi di MK atau pengaruh para spekulan tanah, melainkan Perpres 36 yang secara eksplisit dijadikan alat bagi praktek penggusuran yang menyertakan jatuh korban dari pihak rakyat, bergerak simultan dengan terbakarnya kemarahan/semangat perlawanan rakyat dalam bentuk gelombang aksi massa bagitu massif dan bergelora sehingga berkesanggupan mendelegitimasi kekuasaan politik SBY kala itu.
Ada 2 hal yang menjadi alasan rejim ini untuk membuka kembali lembaran kelam kekuasaannya. (i) Dalam upaya melakukan penggusuran bertameng perpres 36 setidaknya masih terdapat anggapan ketidak demokratisan dalam pembuatan konstitusi karena meniadakan peran serta/partisifasi rakyat walau banyak kalangan yang menilai representasinya adalah kelembagaan DPR (ii) Keberhasilan SBY membohongi rakyat dengan program-program populisnya seperti BLT, PNPM, KUR dsb yang banyak di set up Bank Dunia, bisa saja dimungkinkan mayoritas rakyat bahwa pengadaan tanah bagi kepentingan umum cukup akseptabel.
Namun, tidaklah demikian bagi kita, rakyat terorganisir, tenaga produktif dan kaum pergerakan. Jikapun SBY telah mampu mendaur ulang kekuasaannya kemudian dianggap saat ini cukup material bagi operasional neoliberalisme, dan, serangkaian agenda liberalisasi (tanah dan tenaga kerja) siap dilancarkan, kebekuan gerakan kaum tani dan rakyat miskin lainnya yang senasib menjadi korban neoliberalisme perlahan akan mencair lalu bersedia melepas belenggu kemiskinannya walau harus ditebus mahal dengan darah, keangkaramurkaan RUU Pengadaan Tanah harus di tumpas demi terwujudnya keadilan.
Pengantar untuk diskusi DPTD - SEPETAK dalam menolak RUU Pengadaan Tanah