Tiga orang tewas itu, menurut AFP, adalah seorang polisi, yakni Ahmed Aziz, dan dua warga sipil, Ahmed Soliman Gaber dan Mustafa Ragap. Polisi tewas akibat terkena lemparan batu dalam aksi massa di Kairo. Dua warga sipil tewas akibat terkena tembakan peluru karet dalam aksi di Suez. Televisi Al-Jazeera menambahkan, ada puluhan orang terluka, termasuk 18 polisi.
Ribuan orang turun ke jalan pada hari Selasa di Kairo. Setelah berkumpul dan berorasi di Tahrir Square, massa menyebar ke jalan-jalan kota. Unjuk rasa serupa juga terjadi di kota Ismailia dan Suez di timur Kairo, juga di Delta Nil seperti Mansoura dan Tanta, serta di Sinai utara, Alexandria.
Emosi massa meledak-ledak, mereka marah, karena masalah kemiskinan yang tidak kunjung diatasi, penindasan, dan kekerasan. Demonstrasi ini terinspirasi gerakan rakyat Tunisia menggulingkan Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali pada 14 Januari lalu. Oposisi Mesir hari Rabu mendorong massa agar melakukan aksi susulan lebih besar.
Dalam unjuk rasa di Kairo ada 20.000-30.000 warga terlibat. Aksi ini yang terbesar dan pertama dalam era Hosni Mubarak. Massa berteriak, ”Turun, Hosni Mubarak turun.” Massa melempari polisi dengan batu. Sebagian lain naik ke kendaraan lapis baja dan menarik keluar polisi pengemudi. Polisi menghalau dengan tongkat, tembakan gas air mata, dan meriam air.
Beberapa demonstran wajahnya berlumuran darah segar. Salah seorang di antaranya jatuh pingsan. Polisi menyeret sejumlah demonstran, memukul salah satu wartawan, lalu menghancurkan kacamatanya dan menyita kameranya.
”Pengganggu orang miskin (bullies)!” teriak pengunjuk rasa sambil melarikan diri. Sejumlah demonstran berteriak, ”Kau bukan manusia.” Sebagian massa bergerak ke kantor Partai Demokrasi Nasional, partai Mubarak. ”Di sinilah sarang para pencuri,” seru massa.
Polisi menghalau massa yang telah tersebar secara sporadis itu dengan melepaskan tembakan meriam air dan gas air mata. Massa terdesak ke titik kumpul di Tahrir Square. Di sini massa berkemah untuk melanjutkan aksinya pada Rabu pagi. Kaum oposisi juga menyerukan agar harus dilakukan aksi lanjutan yang lebih besar untuk menurunkan Mubarak.
Di Tahrir Square, massa mengibarkan bendera Mesir dan Tunisia, bernyanyi meniru lagu-lagu dalam aksi protes di jalan-jalan di Tunis. Menurut Kementerian Dalam Negeri Mesir, 10.000 demonstran berkumpul di alun-alun. Partai berkuasa mengatakan ada sekitar 30.000 demonstran.
Ada beberapa tokoh penting ikut dalam kerumunan massa di Kairo. Seorang di antaranya adalah Alaa al-Aswany, penulis buku terlaris Yacoubian Building yang berisi tentang politisi korup, kebrutalan polisi, dan terorisme di Mesir. Menurut dia, demonstrasi adalah kunci utama melawan pemerintah yang otokratik.
Aksi serupa juga digelar di kota lain, seperti Alexandria, Ismailia, Suez, Mansoura, dan Tanta. Seperti di Kairo, massa di kota-kota ini juga terlibat bentrokan dengan aparat. Dalam konfrontasi di Suez, dua demonstran tewas tertembak peluru karet polisi. Massa memprotes akibat kurangnya kebebasan politik di bawah rezim Mubarak.
Seperti protes rakyat Tunisia, seruan untuk demonstrasi di Mesir digerakkan melalui situs jejaring sosial Facebook dan Twitter. Sekitar 90.000 orang menyatakan mendukung aksi unjuk rasa untuk menumbangkan rezim Mubarak. Menjelang Selasa sore, akses ke Twitter telah ditutup, tetapi massa sudah bergerak.
Aksi di Mesir hampir serupa dengan di Tunisia, yang dipicu kematian penjual buah, setelah bakar diri, sebagai protes kepada polisi yang menyita jualannya. Aksi di Mesir akibat kematian pemuda miskin, Khaled Said, tahun lalu, setelah dipukul sepasang polisi di Alexandria. Pada 17 Januari ini, seorang warga miskin juga mencoba membakar dirinya karena tak tahan hidup miskin.
Menurut AP, hampir separuh dari 80 juta warga Mesir hidup miskin. Al-Jazeera menyebutkan, 16 juta warga Mesir berpenghasilan kurang dari dua dollar AS (Rp 18.000) per hari. Banyak warga berpendidikan rendah.