Pak tua
dengan cangkul di pundaknya
berangkat dari ujung masa
walau tak seramah bahasa zaman menyapa
pak tua berjalan
dari sepanjang pematang kebijakan
yang mengurung dengan segala rujukan
lapar di dalam lumbungnya wajah keadilan
petani tua, sesampainya di sawah
dia hanya terduduk, dipeluk lelah
ucapnya yang tersendat dan terbata-bata
"selamat tinggal cangkulku yang setia"
lihatlah, lihatlah sendiri
hamparan ladang luas berubah menjadi industri
hijau sawah sawah akan menjadi sebuah mimpi
di mana anak cucu kita tak pernah tau lagi bertani
lihat, lihatlah sendiri
ke mana burung burung bangau akan pergi
di sana sini sudah tak ada tempat tuk bermain
di sini yang terdengar hanya bisingnya suara mesin
dengar, dengar apa itu Birokrat
yang datang seperti wujud malaikat
angin yang berhembus aroma sangat menyengat
mengapa kenyataan, berubah menjadi tali menjerat
pak tua berkata
dalam kesendiriannya rana meratap
sebenarnya apa yang dikehendaki sang penguasa
apakah aku sebuah batu yang menjadi penghalang saja
sang surya, mohonkan ampunan pada penguasa
bukankah kami memberi apa yang mereka minta
bukankah kami sudah menjadi apa yang mereka inginkan
mengapa selalu kami yang harus tersingkirkan
kami bayar pajak
seperti yang penguasa canangkan
kami bayar iuran dengan tunai
karena itu adalah kewajiban
di manakah? engkau yang menguasa
di saat kami membutuhkan pertolongan
di manakah saat sawah-sawah kami kekeringan
di manakah? atau kami harus mencari kemana
jangan sentuh dunia kami yang kecil dan damai
kami hanya penonton adegan perebutan kekuasaan
atau tiada beda masa lalu dengan masa depan
yang menulis cerita seribu penindasan.
*Syair: Tanu Umbara, ditulis tahun 2004. Saat itu berusia 34 tahun.