Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

Pemikiran sosialis

Sabtu, 14 Mei 2011 | Mei 14, 2011 WIB Last Updated 2012-01-08T04:06:45Z
Pemikiran sosialis diinspirasi dari ajaran teori klasik, terutama oleh ajaran nilai kerja dari David Richardo. Marx mencoba menyempurnakan ajaran nilai kerja David Ricardo dengan menggunakan pengertian kerja kemasyarakatan / perusahaan tingkat menengah yang perlu (“gemiddeld maatschappelijk nood-zakelijke arbeid“) di mana dikatakan bahwa nilai barang-barang dibayar dari kerja buruh yang mempunyai tenaga kerja dan semangat kerja menengah dengan menggunakan alat produksi yang diperlukan dalam zaman dia hidup. Dengan membuat berlaku ajaran nilai ini bagi faktor produksi tenaga kerja sampailah Marx pada “ajaran nilai lebih”, suatu ajaran yang sangat banyak mempunyai arti psikologis bagi perjuangan kaum sosialis. Selanjutnya Marx membuat ramalan bahwa kapitalis akan runtuh dengan sendirinya, meskipun demikian Marx menganjurkan untuk mendirikan organisasi politik untuk mempercepat kedatangan Chiliasme.

Di lain pihak John Stuart Mill dalam bukunya “Principles of Political Economy” mengatakan keuntungan disebabkan karena buruh memproduksi lebih dari yang dibutuhkan untuk mendukungnya. Alasan kenapa modal menghasilkan keuntungan adalah karena makanan, pakian, material dan alat dapat lebih awet dari waktu yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Sehingga keuntungan muncul bukan dari pertukaran, akan tetapi dari kekuatan produktif buruh, bila buruh pada sebuah negara secara kolektif memproduksi 20 persen lebih dari upahnya, maka keuntungan akan menjadi 20 persen. Kaum klasik mempercayai bahwa keuntungan diperoleh bukan dari pemerasan kaum buruh tetapi dari peran pengetahuan, kerja kapitalis dan entrepreneur yang menyediakan hal teknik, pengambilan resiko, kapital yang dibutuhkan serta keahlian manajemen yang diperlukan untuk mengoperasikan usaha yang menguntungkan.

Perbedaan pemikiran antara kedua kubu ini sangat mempengaruhi sistem perekonomian di dunia. Sampai dengan resesi besar pada awal pada tahun 1930-an, teori klasik masih diunggulkan oleh sebagian besar ilmuwan ekonomi. Semenjak terjadinya resesi besar, ternyata mekanisme pasar tidak dapat mengangkat perekonomian dari krisis ekonomi. Selanjutnya muncul aliran pemikiran baru yang dipelopori oleh John Maynard Keynes, yang mencoba memperbaiki pemikiran ekonomi dengan mengambil ide dari pemikiran kaum klasik dan pemikiran kaum sosialis. Sampai di sini pemikiran ekonomi terbagi menjadi tiga aliran besar, yaitu aliran klasik dengan pemikiran kebebasan pasar, aliran sosialis yang meyakini bahwa mekanisme pasar adalah suatu kejahatan kaum kapitalis, dan aliran keynes yang menggabungkan kedua pemikiran kaum klasik dan sosialis.

Pergelutan pemikiran ekonomi masih belum selesai sampai pada saat ini. Sebelum sampai pada pembahasan mengenai pemikiran Keynes, dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai perbedaan pemikiran antara kaum klasik dan kaum sosialis.

Sosialisme terbagi menjadi 2 aliran yaitu aliran Sosialis Utopis dan aliran “Scientific Socialism.” Engels menjelaskan bahwa kaum Sosialis Utopis menentang organisasi masyarakat yang sudah ada, tetapi tidak dapat menerangkannya, kaum Sosialis Utopis hanya dapat menolaknya sebagai sesuatu yang immoral. Sedangkan Sosialisme yang dikembangkan oleh Marx dan Engels dikenal sebagai “Scientific Socialism.”
Kaum Utopis menggambarkan masyarakat yang diidam-idamkan atau dengan menciptakan suatu masyarakat percontohan dengan mendirikan perkampungan. Kaum Utopis percaya bahwa keadaan masyarakat pada umumnya dapat diperbaiki.

Nama Utopis diambil dari buku Thomas More, Kanselir Inggris di masa pemerintahan Raja Henry VIII yang diterbitkan pada tahun 1816 yang berjudul tentang keadaan negara yang terbaik dan tentang pulau yang baru Utopia. Di pulai Utopia tidak akan ada lagi milik perorangan, hari kerja ditetapkan sampai jam 6 dan baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan bekerja. Kewajiban belajar yang umum bagi anak laki-laki maupun perempuan serta kebebasan agama yang mutlak.
Francis Bacon menulis buku Nova Atlantis (1623). Francis Bacon berpendapat bahwa masyarakat yang diidam-idamkan adalah saat orang-orannya memiliki keinsyafan yang sempurna dalam hukum-hukum alam, segala kebodohan, kejahilan dan prasangka sudah ditaklukan.

Thomas Carpanella dalam bukunya berjudul negara Surya (Civitas Solis) mengetengahkan persoalan sosial. Seperti tulisan More yang menganjurkan pendidikan yang sama antara anak laki-laki dan perempuan sebagai salah satu syarat untuk mendirikan masyarakat yang lebih baik, akan tetapi menurut Carpanella, keluarga tidak menjadikan dasar pendidikan yang baik bagi masyarakat, oleh karena itu di dalam negara Surya, setelah anak berumur 3 tahun harus diserahkan kepada negara. Jika segalanya menjadi milik bersama, maka dalam 1 hari sudah cukup bekerja selama 4 jam saja setiap orang dan tidak perlu ada lagi budak belian.

James Harrington pada sekitar abad ke-17 menerbitkan buku “Oceana“. Harrington dianggap sebagai perintis materialisme historis, karena hendak menerangkan organisasi negara dari fakta-fakta materi (zat), yakni dari cara pembagian tanah. Jika tanah menjadi milik satu orang maka disebut monarchi, bila tanah terbagi di antara beberapa orang disebut aristokrasi (pemerintahan kaum ningrat). Sedangkan dalam demokrasi setiap orang mempunyai sebidang tanah. Vairasse d’Allais menggambarkan dalam Historie des Sevarambes (1680) suatu negara sebagai negara cita-cita yang semua tanah dan juga semua hak milik menjadi kepunyaan negara. Abbe Morelly memandang dalam bukunya Code de la Nature (1755) milik perseorangan itu sebagai sumber segala ketidak adilan kemasyarakatan.

Selama revolusi Perancis, Gracchus Babeuf dalam surat kabar Tribune du Peuple membela paham seperti dikemukakan Morelly. Dalam pendapatnya direncanakan penghapusan hak milik perseorangan. Dalam hal ini juga dihapuskan warisan dan selanjutnya orang-orang secara sukarela boleh menyerahkan milik mereka kepada negara. Pembagian yang tepat daripada kemakmuran atas semua golongan penduduk, akan mengakibatkan bahwa setiap orang hanya beberapa jam saja bekerja sehari.

Pieter Corneliszoon Plockhoy pada tahun 1659 mengeluarkan rencana pembaharuan sosial di Inggris. Dalam pokok pikirannya, Plockhoy menganjurkan mendirikan suatu masyarakat yang lebih baik di Amerika Utara. Pendapat Plochoy yang disambut oleh Marx adalah rencana mendirikan koloni-koloni yang di dalamnya orang bekerja sama untuk tujuan bersama dan hasilnya dibagi-bagi di antara penduduk koloni tersebut. Dalam hal ini, modal merupakan milik bersama.

R. Owen termasyur karena propagandanya untuk mendirikan koperasi konsumsi. Salah satu hasil nyata Owen adalah “Rochdale Society of Equitable Pioneers” pada tahun 1844. Koperasi ini didirikan oleh sekitar 40 orang buruh pabrik tenun. Mereka mengumpulkan modal sebesari £ 28, dan setiap minggu menyetor uang sebesar 2 pence. Koperasi konsumsi yang pertama berkembang menjadi badan usaha yang besar dan kuat dan memperoleh pengikut tidak hanya di Inggris tetapi juga di negara lain.

Usaha Owen untuk mempraktikkan ajaran nilai dengan mendirikan sebuah “National Equitable Labour Exchange” suatu gudang, di mana tiap orang boleh membawa hasil-hasil yang dibuatnya dan kemudian dipertukarkan atas dasar jumlah kerja yang dipergunakan masing-masing. Usaha ini gagal karena kecurangan dalam menaksir nilai barang. Koloni yang didirikan di Amerika yang disebut “New Harmony” kandas karena perselisihan penduduk di koloni yang bersangkutan. Selama Owen yang memimpin sendiri pabriknya, semua berjalan baik, tetapi setelah hendak melaksanakan cita-citanya dalam masyarakat timbul kesulitan-kesulitan.

Di Israel berkembang Zionisme yang diambil dari Chiliasme dan berkembang di negara tersebut. Mereka mendirikan koloni yang berhasil baik dan mendasarkan atas koperasi yang sosialistik (Kibbutz).
Golongan Utopis sendiri digolongkan menjadi tiga kelompok
  1. Para penulis roman yang menggambarkan cita-cita dunia baru.
  2. Para pendiri koloni yang ingin mempraktekkan masyarakat sosialis.
  3. Para ahli ekonomi yang melalui analisis ekonominya mengusulkan perubahan radikan di dalam masyarakat. Tokohnya adalah Henri de Saint Simon, Charles Fourier, Louis Blanc, Piere Joseph Proudhon dan Edward Bellamy.
Saint Simon membela dalil, bahwa semua anggota masyarakat harus bekerja untuk perbaikan hidup kesusilaan dan jasmani orang miskin dan bahwa masyarakat harus menyusun diri untuk dapat mencapai maksud ini (Nouveau Christianisme, 1852). Menurut Saint Simon, mengupah buruh menurut kesanggupannya bukan menurut kebutuhannya.

Charles Fourier mengemukakan rencana agar orang dikumpulkan dalam rombongan yang ditempatkan dalam sebuah rumah perkumpulan dari kurang lebih 1500 orang yang disebut FALANX (Nouveau Monde Industriel et Socetaire, 1829). Mereka akan berdiam bersama dalam “Phalansteres” di mana mereka akan berproduksi dan berkonsumsi atas dasar koperasi. Dalam hal ini Fourier menilai bahwa masing-masing warga masyarakat mempunyai hak bekerja dan mereka harus dihindarkan dari kebosanannya (monotonie). Oleh karena itu di dalam Phalansteres pekerjaan sifatnya berubah-ubah. Dalam Phlansteres tiap orang akan mendapat sebagian, yang memungkinkan dia memenuhi kebutuhan hidupnya, yang lainnya akan dibagikan antara kerja, modal, dan keahlian (kecakapan) dengan cara berturut-turut 5/12, 4/12, 3/12.

Di Perancis didirikan Phalansteres tapi gagal karena kekurangan modal. Di Amerika Serikat antara tahun 1840-1850 tidak kurang 40 Phalansteres didirikan melalui propaganda Albert Brisbane, antara lain Brook Farm di Massachusetts. Tetapi percobaan ini gagal.

Louis Blanc dalam bukunya Organisation du Travail (1839) membela hak atas kerja. Louis Blanc mengusulkan mendirikan “Ateliers Socaiaux” yaitu pabrik-pabrik yang dipimpin oleh negara, para pekerja mendapat upah yang pantas dan bagian dalam keuntungan. Oleh karena produktifitas pekerja karena mendapatkan bagian keuntungan diharapkan Alterliers Sociaux ini menang dalam persaingan. Sehingga lambat laun perusahaan swasta akan sukarela minta diubah menjadi ateliers sociaux. Sewaktu Louis Blanc duduk dalam pemerintahan revolusioner Perancis pada tahun 1848, didirikanlah ateliers nationaux. Tetapi kegiatan ini gagal karena sabotase, para buruh disuruh mengerjakan pekerjaan yang tidak produktif.

Pendapat Piere Joseph Proudhon agak berbeda dengan tokoh sosialis lainnya, Piere Joseph Proudhon tidak berpendapat bahwa milik perseorangan adalah sumber segala kejahatan. Pemerasan dapat dihindarkan jikalau ada sebuah bank sirkulasi yang memberi kredit dengan cuma-cuma ini akan melenyapkan segala pembedaan pertetangan kelas dan membuat adanya negara tidak perlu. Proudhon ingin membentuk masyarakat kolektif yang bebas atas dasar pembagian kerja. Proudhon melahirkan salah satu paradox yakni “Anarchi“, tujuan kemajuan masyarakan bebas ialah membuat negara tidak perlu. Bentuk tertinggi daripada pemerintahan ialah “Harmoni Anarchi” dan ketertiban. Proudhon adalah yang pertama, yang menuju anarchi tidak sebagai tindakan revolusioner, tetapi sebagai bentuk tertinggi daripada organisasi sosial.

Edward Bellamy, seorang ahli ekonomi utopis, menulis buku Looking Backward pada tahun 1887, dalam negara cita-citanya terdapat kewajiban bekerja dari 21 sampai 45 tahun. Pekerjaan-pekerjaan yang kurang enak dilakukan dalam waktu pendek dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menyenangkan. Dari hasil yang dibuat setiap orang akan dibagi sama rata. Sedangkan upah tidak tergantung dari jumlah barang yang dihasilkan, tetapi semata-mata ditetapkan oleh tenaga-tenaga yang dipergunakan di mana untuk tenaga yang sama diberi upah yang sama. Setiap penduduk pada permulaan tahun dikreditkan dalam buku besar nasional untuk bagiannya dalam pendapatan masyarakat. Pada akhir tahun dikurangkanlah dari sini apa yang diterimanya dari persediaan negara untuk memenuhi kebutuhannya.

Penyempurnaan ajaran nilai kerja oleh Richardo membuahkan ajaran nilai lebih oleh Marx. Menurut teori ini para kapitalis melakukan pencurian terhadap kaum buruh. Marx menjelaskan bahwa para kapitalis ingin memperlihatkan kepada para buruh yang tidak memiliki apa-apa selain dari tenaga kerjanya seakan-akan dibayar penuh sebanding dengan nilai tukarnya, sedangkan para kapitalis memegang nilai pakai. Sebagai ganti rugi atas penggunaan tenaga kerjanya, buruh memperoleh upah untuk memelihara kehidupan dan keluarganya. Tetapi dikarenakan kekuasaan hukum harga, para buruh tidak mungkin memperoleh ganti rugi penggunaan tenaga kerjanya secara penuh. Sehingga nilai pakai semakin naik daripada nilai tukar. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat Mill.

Nilai lebih (m = mehrwerte) dihitung dengan mengurangkan jam kerja menurut undang-undang dengan waktu kerja yang diperlukan untuk memberi kehidupan dirinya dan keluarganya. Sedangkan derajat pemerasan adalah pembagian antara nilai lebih dengan modal variabel (m/v). Tingkat keuntungan menurut Marx tergantung pada perbandingan antara nilai lebih di satu pihak dan jumlah modal variabel (v) dan konstan (c) di pihak lain (m/(v+c)).

Marx membedakan nilai lebih dengan nilai mutlak dan relatif, nilai mutlak dapat bertambah dengan perpanjangan waktu kerja. Nilai relatif diperbesar dengan menurunkan upah dengan pemakaian mesin yang mempergunakan tenaga kerja anak-anak.

Selanjutnya marx menyampaikan dalil, bahwa sekalipun nilai tergantung dari kerja, namun harga tidak ditentukan oleh nilai, tetapi oleh persaingan. Persaingan mengakibatkan modal mengalir kepada cabang usaha dengan tingkat keuntungan yang tinggi dan meninggalkan tingkat keuntungan yang rendah. Akibatnya di suatu tempat penjualan barang di atas nilai dan di tempat lain di bawah nilai di mana hal ini berjalan lama, sampai setiap modal mendapat untung sebanding dengan modal. Penukaran tidak lagi dilakukan dengan perbandingan nilai (c + v + m), tetapi menurut harga produksi (c + v + untung rata-rata). Dengan ini sebenarnya Marx sudah meninggalkan maksud seluruhnya daripada ajaran nilainya, bukan jumlah kerja lagi yang mengatur harga, tetapi biaya produksi. Marx tiba pada teori harga Anglo-Amerika, ialah teori yang dengan berbagai variasi, sekarang ini umum diterima orang. Dengan ini pula ajaran nilai lebih kehilangan dasar teoritisnya di mana tidak dapat mengubah pembagian penghasilan masyarakat.

Kaum “scientific socialism” terkenal bukan dari ajaran nilai lebih, akan tetapi pandangan mereka tentang perkembangan masyarakat, yang menurutnya serta merta menuju kepada masyarakat sosialistis. Di sini letak perbedaan antara kaum sosialis dan kaum physiokrat. Marx melihat kategori masyrakat sebagai satuan yang tergantung waktu, sedangkan kaum physiokrat melihat satu satuan yang tetap dan sesuai dengan alam dalam kategori teori ekonomi mereka.

Marx yakin akan kedatangan chiliasme sudah pasti menurut ilmu, tetapi dapat dipercepat oleh organisasi politik kaum proletar. Marx berpendapat bahwa negara tidak lain daripada suatu lembaga yang dipergunakan kelas yang berkuasa untuk memeras kaum tertindas, dalam hal ini sewaktu Marx menulis bukunya, kaum buruh hampir tidak dapat mempunyai pengaruh dalam pemerintahan. Marx yakin dalam negara sosialis tidak ada lagi penindasan. W. I. Lenin mempelajari perkembangan negara menjadi masyarakat yang sosialistis. Lenin berpendapat bahwa kaum proletar dalam taraf pertama sesudah revolusi terpaksa melakukan diktatur untuk membasmi kaum borjuis.

Semangat Marx akan kedatangan masyarakat sosialis dicoba diterangkan atas dasar-dasar ekonomi. Marx mengemukakan 4 hukum gerak:
  1. Teori Konsentrasi.
  2. Teori Akumulasi,
  3. Teori Verelendung
  4. Teori Krisis
Menurut teori konsentrasi, perusahaan semakin besar dikarenakan adanya akuisisi atau merger, sedang jumlahnya semakin sedikit. Perusahaan kecil dan menengah kalah dalam persaingan dan lenyap. Perngusaha menengah dan kecil akan jatuh miskin. Sebaliknya penghasilan dan laba menumpuk pada beberapa orang saja (teori akumulasi). Selebihnya menjadi proletar. Menurut teori Verelendung yang erat hubungannya dengan hukum quota upah yang menurun dari Robertus, maka taraf kemakmuran kaum proletar semakin mundur.

Kemiskinan dibedakan menjadi 3 yaitu teori kemiskinan yang mutlak, relatif dan fiktif relatif. Menurut teori kemiskinan mutlak, para buruh selama perkembangan kapitalisme menjadi mundur dalam arti yang mutlak di mana untuk kegiatan bekerja yang sama mereka selalu menerima jumlah barang yang mutlak lebih sedikit (diperkuat oleh temuan Juergen Kuczyunsky, seorang penulis komunis Jerman, dengan angka statistik yang membuktikan bahwa kehidupan para buruh semakin buruk, meskipun golongan buruh yang bersekolah kemakmurannya menjadi lebih baik). Teori kemiskinan relatif dinyatakan meskipun jumlah upah mutlak yang diterima bertambah tetapi prosentase jumlah upah dibandingkan dengan pendapatan nasional semakin menurun. Teori kemiskinan fiktif relatif menyatakan bahwa quota upah tidak akan menjadi kurang, bilamana tenaga produktif yang ada dapat dimanfaatkan, tetapi bila tidak demikian halnya maka justru upah akan turun. Mark menunjukkan adanya upaya kaum kapitalis untuk mengupayakan menggantikan sebagian tenaga buruh dengan sejumlah alat produksi mesin yang disebutnya “tentara cadangan industri.”

Dalam teori krisis, Marx mengemukakan adanya perkembangan konjuntur yang naik dan turun. Dalam hal ini seringkali terjadi kekurangan modal ataupun terjadi permintaan barang yang tidak seimbang (produksi melimpah, daya beli berkurang) dan berakibat terjadinya krisis. Bila terjadi krisis maka tiba saatnya untuk mengubah masyarakat kapitalis ke dalam masyarakat sosialis dengan revolusi.

Lawrence B. Klein (The Keynesian Revolution, 1947) menunjuk kepada anggapan Marx bahwa ada perbandingan yang tetap antara kelebihan nilai dengan jumlah upah seluruhnya dan selanjutnya mengemukakan contoh Marx lagi dalam suatu sistem lima perbandingan dengan lima faktor yang tidak diketahui.

Pemikiran Marx baru sampai pada pembuktian bahwa masyarakat kapitalis terpaksa harus berubah menjadi masyarakat yang sosialis. Bagaimana rupa masyarakat sosialis belum sempat dibicarakannya. Ada yang berpendapat bahwa Marx berhenti saat seharusnya dia memulai.
Setelah revolusi Bolsyewiki tahun 1917, Uni Sovyet mencoba melaksanakan sistem perencanaan terpusat. Von Mises (1920) membuat tulisan yang menyatakan bahwa produksi yang direncanakan, secara ekonomis adalah tidak mungkin dan tiap langkah yang dilakukan ke arah sosialisasi adalah juga langkah ke arah produksi irrational. Meskipun pengalaman Uni Sovyet selama lebih 6 dekade selalu berjalan mulus perekonomiannya, tetapi mulai dekade ke-8 ternyata tidak mampu bertahan.

Rosa Luxemburg (1913) berpendapat bahwa kesimpulan teori Marx bahwa dalam sistem kapitalisme di mana hanya terdapat kaum kapitalis dan kaum buruh saja, maka kaum buruh tidak akan mungkin mengambil bagian yang cukup dari pendapatan masyarakat. Keadaan ini disebut sebagai “Reiner Kapitalismus” yang mengakibatkan “crisis en permanence.” Bentuk kapitalisme ini tidak akan ada, karena selalu ada sebagian hasil dari itu terjual pada pihak ketiga (masyarakat agraris dan ke wilayah-wilayah lain). Jika kegiatan ekonomi kapitalistik tadi semakin berkembang maka masalah penjualan produk menjadi masalah yang sangat mendesak. Untuk itu terjadilah dorongan untuk ekspor dan monopoli di pasaran luar negeri serta menuju penetrasi politik dan ekonomi di negara terbelakang. Pendudukan daerah ini dengan kekuatan militer dan ekonomi untuk menjamin kelangsungan penjualan. Imperialisme ini menurut teori Marx adalah syarat untuk mempertahankan apa yang disebut taraf kapitalis lambat. Menurut Marx, para buruh di negara imperalis tidak akan menikmati hasil imperialisme, dan bersamaan dengan pelenyapan pertentangan kelas akan hilang pula pertentangan antara negara yang diperas dengan negara pemeras. Ekspor kapital mengakibatkan pertumbuhan produksi dalam industri ekspor di negara penjajah, dan oleh karenanya imperalisme itu timbul sebagai outomatisme mengatasi krisis di negeri penjajah. Berkurangnya keuntungan di negeri penjajah berimplikasi pada mundurnya penanaman modal di negeri penjajah sehingga bertambahnya ekspor modal yang berimplikasi pada perluasan produksi dalam industri barang ekspor, selanjutnya menyebabkan bertambahnya keuntungan di negara penjajah, dan bertambah pula penanaman modal dalam negeri penjajah. Dari semuanya ini ternyata teori imperalisme meminta perhatian yang lebih banyak daripada yang lazim diperlihatkan oleh “ahli ekonomi borjuis.”

Pembahasan mengenai pemikiran kaum sosialis dan pemikiran kaum klasik menjelaskan bahwa ada persamaan dan perbedaan. Seorang tokoh klasik bernama David Ricardo (1772-1823) menyatakan bahwa pembagian pendapatan masyarakat merupakan soal terpenting daripada soal ilmu ekonomi. Adam Smith sendiri memfokuskan pemikirannya kepada kemakmuran. Marx sendiri mempunyai cita-cita untuk menciptakan suatu masyarakat yang makmur. Pemikiran kaum klasik dan kaum sosialis sama-sama bertujuan untuk mencapai kemakmuran. Akan tetapi ada perbedaan mendasar antara pemikiran kaum sosialis dan aliran klasik yaitu terletak pada cara untuk mencapai kemakmuran. Ada yang menyebutkan bahwa cara untuk mencapai kemakmuran menurut kaum klasik bersifat konservatif, sedangkan cara kaum sosialis bersifat radikal.

Kaum klasik mempercayai bahwa apabila setiap orang dibebaskan untuk bertindak mengejar keuntungan individu, maka tanpa disadarinya mereka akan memberikan kontribusi kepada masyarakat, sehingga kaum klasik percaya adanya “invisible hand” yang menuntun, sehingga tercapainya kemakmuran. Kemakmuran tercapai oleh mekanisme pasar yang harmonis secara alamiah sehingga menciptakan keuntungan diantara individu.

Kaum sosialis (“scientific socialism“) sendiri lebih percaya bahwa kemakmuran akan tercapai bila masing-masing individu tidak mengejar keuntungan pribadi akan tetapi memberikan seluruhnya kepada masyarakat sehingga diharapkan seluruh anggota masyarakat dapat menikmati hasil secara merata. Kaum sosialis mengutuk para kapitalis yang dianggap memeras kaum buruh, kaum sosialis menganggap pemerintah yang pro kapitalis tidak akan pernah memperhatikan kesejahteraan kaum proletar, sehingga satu-satunya cara untuk mencapai kemakmuran adalah dengan menumbangkan pemerintahan yang kapitalis dan digantikan oleh pemerintahan baru yang pro dengan buruh. Kaum sosialis tidak percaya bahwa distribusi kekayaan menurut sistem kapitalis dapat bersifat adil bagi masyarakat kebanyakan.

×