JAKARTA, KOMPAS.com - Semua pihak diminta jangan melupakan fakta sejarah bahwa imperialisme asing menjadi musuh bersama. "Penguasa dalam negeri seringkali menjadi agen atau antek kepentingan asing," kata pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Revrisond Baswir, Senin ( 17/1/2011 ) di Jakarta.
Revrisond menandaskan, gerakan revolusi harus mengajak rakyat, tapi jangan sampai mengulang malapetaka reformasi tahun 1998 . Setelah Presiden Suharto lengser, keberadaan IMF dan Bank Dunia masih eksis di Indonesia.
Sementara Haryadi, mantan Ketua Iluni (Ikatan Alumni Univeristas Indonesia) melihat koalisi elite saat ini memanfaatkan dana APBN untuk dibagi-bagikan ke partai-partai politik. "Dana APBN untuk menghidupi parpol-parpol ini lebih dari sekadar kebohongan, tapi sudah namanya penggarongan," tegas Haryadi.
Ia juga menuding para elit neoliberal telah membiarkan aset-aset negara dijual kepada asing. Mereka tidak menganggap lagi Pasal 33 UUD 1945 . "Jangan biarkan bentuk penggarongan dan pengkhianatan yang membuat rakyat jadi sengsara. Penggarongan ini akan jalan terus bila kita biarkan saja," imbuhnya.
Sementara itu, mantan Menko Perekenomian Rizal Ramli menegaskan reformasi jangan diartikan dengan penggantian pemimpin saja, tapi juga harus memastikan adanya kemandirian pada diri bangsa. "Kita bicara reformasi tak ada artinya. Harusnya adalah kemandirian bangsa yang tidak ada kepentingan asing lewat IMF-Bank Dunia," kata dia.