Bumi, air, udara dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang merupakan karunia tuhan untuk kesejahteraan manusia di muka bumi ini. Lebih terangnya lagi, bahwa seluruh kekayaan alam baik yang ada di permukaan bumi, di dasar lautan dan di atas udara kita sepenuhnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sepenuh-penuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
UUD pasal 33 ayat 3 tersebut yang semestinya diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten Karawang, justru di remeh temehkannya. PT. Atlasindo Utama, adalah salah satu diantara sederet nama perusahaan-perusahaan tambang di Karawang yang diberikan izin kuasa penambangan batu jenis andesit yang beroperasi di kawasan gunung Cengkik Sirnalanggeng desa Cintalanggeng kecamatan Tegalwaru. Selain usaha penambangan yang eksploitatif dan tak banyak memberikan signifikansi keuntungan bagi keuangan daerah dan pemberdayaan tenaga kerja yang manusiawi, keberadaan perusahaan Eksploitir batu andesit tersebut justru telah mengetengahkan dampak-dampak yang luar biasa buruk bagi kelangsungan lingkungan hidup karena penambangan diselenggarakan oleh swasta (kapitalis/pemodal).
Sebenarnya sedari awal sebelum perusahaan tersebut mendapat restu dari pemerintah Kabupaten Karawang melalui Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD), terlebih dahulu setiap perusahaan tambang diwajibkan membuat BRET/Buku Rencana Eksploitasi Tambang yang didalamnya memaktubkan banyak hal yang berkaitan dengan segala rencana usaha penambangannya. Salah satunya adalah kesanggupan yang diwajibkan yakni UKL dan UPL. Dalam BRET yang diajukan oleh PT. Atlasindo Utama kepada pemerintah daerah kabupaten Karawang memuat klausul-klausul yang berkelindanan dengan usaha pelestarian lingkungan. Sebagaimana disebutkan BAB V bahwa kegiatan penambangan tersebut akan mengakibatkan kerusakan-kerusakan alam antara lain (1) perubahan Topografi. Sistem “open cut” yang digunakan oleh PT. Astlasindo Utama sangat jelas akan merubah bentang alam (memangkas bukit secara keseluruhan dari arah level puncak (321 m dpl sampai level terendah 140 m dpl). (2) Perubahan Hidrologis. Sebagai mana hukum alam bahwa air hujan akan diserap tanah secara efektif, dengan penambangan ini air limpahan akan meningkat secara bertahap sebagai akibat dari berubahnya nilai kosfisien “run up”. Air limpahan yang cukup besar tersebut akan terjadi pada jenjang yang ditinggalkan, terutama pada jenjang yang memiliki kemiringan “overall slop” 450. (3) Perubahan kesuburan tanah karena pengupasan “overburden” akan menghilangkan unsur hara oleh pencucian air hujan dan erosi. (4) Perubahan Persediaan Bahan Galian karena gunung tersebut terus di bongkari (dengan volume 314.600 BCM per tahun)
Selain dampak terhadap alam, penambangan tersebut juga berdampak terhadap kenyamanan sosial masyarakat sekitar diantaranya (1) Dampak dari peledakan (antara lain : vibrating, flying rock, air blast) (2) Sebaran debu pada lokasi penambangan dari kegiatan pemboran dan unit pemecahan batu/crusher (3) Sebaran debu sepanjang jalan pengangkutan yang diakibatkan oleh kendaraan pengangkut bahan galian. (4) Kebisingan yang diakibatkan oleh crushing dan yang ditimbulkan oleh lalu lintas dump truck (5) kemacetan lalu lintas dan kerusakan jalan yang dilalui truk dan terutama dump truck pengangkut.
Satu hal yang tak pernah dimuat dalam BRET yaitu terganggunya kegiatan ekonomi petani yang menggarap lahan disekitar areal penambangan karena lahan garapan mereka telah banyak tertutup bebatuan (flying rock) dan lahan garapan milik beberapa orang petani yang sebagian lahannya telah berubah menjadi areal tambang dan peruntukan jalan bagi lalu lintas dump truck pengangkut bahan galian. Realitas inilah yang telah nyata-nyata merugikan para petani penggarap yang semula mengais rizqi dari hasil panen tanaman yang mereka agungkan.
Jika kita singkap tabir gelap ini, tentu akan ditemukan tentang apa yang sebenarnya tersembunyi dibalik fenomena ketidak adilan ini. Satu pihak, PT. Atlasindo Utama terus mengeruk keuntungan (profitabilitas) dan di pihak yang berseberangan banyak masyarakat yang dirugikan seperti (para petani yang kehilangan lahan garapanya dan artinya hilang sumber ekonominya; banyak rumah-rumah milik warga disepanjang jalan yang dilalui armada angkutan (dump truck), dindingnya mengalami retak-retak akibat getaran yang ditimbulkan dump truck pengangkut bahan galian; banyak masyarakat yang mengalami gangguan pernafasan (ISPA) karena disebabkan oleh polusi udara yang juga ditimbulkan oleh lalu lintas dump truk pengangkut bahan galian; puluhan warga di Cikelak dirugikan karena sebagian lahan mereka yang berbatasan dengan jalan terpaksa diberikan Cuma-Cuma untuk pelebaran jalan bagi kepentingan lalu lintas dump truk pengangkut bahan galian. Parahnya lagi dengan alasan tanah memiliki fungsi sosial. Kalau saja tanah tersebut secara suka rela dipersembahkan oleh masyarakat tapi ada pihak yang memanfaatkan bagi kepentingan bisnis, apakah itu fungsi sosial? YANG BENER AJA...!!!
Konflik sosial
Kegiatan penambangan ini telah memicu reaksi kuat dari masyarakat. Perundingan pun kerap kali digelar oleh kedua belah pihak yakni masyarakat dengan PT. Atlasindo Utama. Pada tanggal 6 agustus 2009 terjadi pertemuan antara kedua belah pihak yang berkonflik, di sana BPLHD Jabar sebagai mediator dan Camat Tegalwaru selaku pihak kesatu (mewakili warga), menghasilkan 12 kesepakatan yang tertuang dalam SURAT KESEPAKATAN no : 800.05/2619/BPLHD/2009. Namun hingga berakhirnya kesepakatan tersebut pada 6 Februari 2010 masih ada satu (1) poin pokok yang dilanggar oleh pihak PT. Atlasindo Utama yaitu GANTI RUGI LAHAN GARAPAN sebagaimana Pasal 4 ayat 9 Surat Kesepakatan.
Walaupun dari beberapa kesepakatan tersebut dapat dipenuhui oleh pihak kedua dalam hal ini PT. Atlasindo, tapi itu bukan dengan secara sadar pihak kedua menjalankan kesepakatan tersebut, melainkan karena adanya tekanan dari warga melalui aksi massa ke DPRD Karawang berikut aksi ekstrim yang ditunjukan warga dengan melakukan pemagaran batas lahan mereka yang terkena pelebaran jalan sehingga jalan yang biasa dilalui dump truk pengangkut bahan galian menjadi sempit dan tidak dapat dilalui oleh dump truk. Setelah kemudian Polsek Pangkalan membabi buta merusak pagar yang baru di pasang warga––padahal pemagaran tersebut buah kesepakatan dari perundingan yang digelar di DPRD Karawang––Barulah beberapa hari kemudian jalan diaspal dengan kualitas hot mix yang sangat buruk, karena terbukti saat ini jalan sudah kembali rusak.
Banyak kalangan yang mengetahui konflik ini, tak kurang pula yang mengetahui kesepakatan tersebut dihianati PT. Atlasindo Utama (wan prestasi) sebagai pihak kedua, dan lagi-lagi masayarakat dipaksa menelan pil pahit.
Lalu siapa yang semestinya bertanggumng jawab??? Atlasindo Utama kah? DPRD Karawang kah? Atau kah mungkin Bupati Karawang? Tentunya tak hanya tuhan yang tahu. Yang mesti bertanggung jawab atas masalah ini ialah DPRD Karawang, Camat Tegalwaru dan Bupati Karawang. Karena ketiga unsur tersebut merupakan pemegang kebijakan yang menentukan perusahaan tersebut masih layak beroperasi atau harus segera diakhiri kegiatannya. Faktanya, ditengah masyarakat menunggu ketidakpastian berakhirnya kesepakatan, Camat Tegalwaru seakan cuci tangan dalam masalah ini dengan melempar tanggung jawab kepada DPRD Karawang padahal Camat tersebut merupakan pemegang kuasa masyarakatnya di empat (4) desa dalam kesepakatan dengan sang perusak, Atlasindo. Lalu bagaimana dengan DPRD Karawang? Lembaga yang katanya perwakilan rakyat itu hanya bisa pejam mata saat Atlasindo mulai mengintensifkan kembali peledakan, menggencarkan lagi crusher dan dump truck pengangkut bahan galian dibiarkan bebas gentayangan lalu lalang mengangkut bahan galian paska berakhirnya kesepakatan. Pemerintah kabupaten sendiri tidak pernah menindak pelanggaran-pelanggaran ini, alih-alih menutup perusahaan itu. Anehnya lagi, disaat masyarakat merengkuh harapan besar, pemerintah kabupaten Karawang melalui Asda I Saleh Efendi justru memanfaatkan situasi tersebut dengan meminta sejumlah uang kepada Atlasindo Utama dengan dalih mekanisme pembangunan dan perawatan jalan secara konsorsium, artinya jika ada kebijakan konsorsium, pentingkah memposting APBD untuk pembangunan jalan yang dimaksud??? Tidak tanggung-tanggung 2, 5 miliar dibebankan kepada PT. Atlasindo (sebagaimana dilansir antara), sementara hingga hari ini pelanggaran yang dilakukan Atlasindo tak pernah disinggung-singgung dihadapan publik.
Melulu soal PAD yang dijadikan alasan oleh pemerintah daerah (Pemerintah Karawang=Tidak Mandiri) juga serapan tenaga kerja bagi pengangguran. Tak perduli masyarakat mengeluh, tak peduli lingkungan rusak, kekeringan, kebanjiran yang kerap melanda beberapa kecamatan di Karawang tak pernah dicarikan jalan keluarnya hingga tuntas. Padahal Perda no 19 tahun 2004 yang dibuatnya, dengan tanpa malu-malu pemerintah sendiri yang melanggarnya. Ada apa dengan semua ni? Mungkin kali ini tak hanya tuhan, akan tetapi PT. Atlasindo Utama dan Bupati Karawang yang juga tahu sehingga RTRW yang telah dikodifikasi enam tahun lalu akan segera didepak dan diganti dengan RTRW baru yang sangat kapitalistik.
Lemahnya PAD serta sesasknya sudut-sudut kota dan pelosok desa oleh warga yang menyandang gelar pengangguran bahkan sebagian dipaksa dibuang ke luar negeri (menjadi TKI) dan Bantargebang (menjadi pemulung) masih menjadi masalah fundamental kabupaten ini. Padahal Karawang memiliki potensi kekayaan alam cukup besar baik agrarisnya, maritimnya juga industrialisasi di perkotaan. Kalau saja pemerintah kabupaten Karawang memiliki perspektif pembangunan yang kerakyatan, maka, dengan segala Suber Daya Alam yang tersedia akan dapat tercipta lapangan-lapangan kerja publik, tentunya dengan meletakan orientasi produksi secara massal, berinvestasi publik dan mendahulukan partisipasi rakyat dalam kerangka INDUSTRIALISASI kerakyatan. Jadi, terang. Ketika pemerintah menggalakan itu, perekonomian rakyat pun senantiasa bersegi masa depan. Akan tetapi, terus menerus mengundang investor untuk mengeruk kekayaan alam Karawang seperti Atlasindo yang berujung pada kerusakan lingkungan juga tidak menyerap tenaga kerja secara massal, adalah kebijakan yang ke”SALAH KAPRAH”annya terus menerus pula.
Bak api dalam sekam. Jika pemerintah masih kukuh dengan pendiriannya yang keliru, maka, ada atau pun tidak ada organisasi pendamping, ada atau pun tidak ada aktifis yang seringkali dituduh profokator, rakyat akan bergerak dengan sendirinya sebagaimana insting dan kesadaran rakyat yang menghendaki penjajah dalam bentuk apapun, harus dihancurkannya (baca : Pembukaan UUD 1945 alinea I). Pengalaman juang rakyat di empat (4) desa yang pernah diukirnya (2 Nopember 2009 silam) dengan cara mobilisasi masa/demonstrasi yang dilanjutkan aksi pemagaran lahan jalan yang memang hak mereka yang telah dilucutinya, senantiasa terulang kembali dan niscaya akan lebih besar kapasitasnya. Kendati upaya pemoderasian secara simultan dilakukan untuk menghentikan aksi mereka sebagaimana yang pernah dilakukan baik dengan cara dihadapkan dengan intimidasi aparat kepolisian setempat maupun melalui sogokan-sogokan uang kepada para tokoh dan aktifis yang bersamanya. Semua itu tak mungkin dapat menghentikan aksi-aksi rakyat. Tak lama lagi, dan pasti!!!
Pada 17 Februari 2010