Notification

×

Kategori Berita

Tags

Iklan

Biografi Roestam Effendi

Senin, 06 Desember 2010 | Desember 06, 2010 WIB Last Updated 2012-01-08T00:35:17Z
Roestam Effendi adalah aktivis gerakan komunis Indonesia dan Belanda, lahir di Padang (Sumatera Barat) pada tanggal 13 Mei l903 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 24 Mei l979. Ia adalah putra dari Sulaiman Effendi seorang fotografer, dan Siti Sawiah. Pada tanggal l7 Juni l937, ia menikahi seorang  wanita berkebangsaan Polandia yang bernama Johanna Berta Roodveldt, dan dikaruniai seorang putra dan putri.

Roestam Effendi tumbuh dan besar di Padang sebagai anak tertua  dari sembilan bersaudara. Setelah menyelesaikan sekolah Holland-Hindia (primer), ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi karena minatnya yang besar uantuk menjadi guru maka kedua orang tuanya mengirimkan Roestam remaja untuk melanjutkan sekolahnya di Hogere Kweekschool voor Indlanse Onderwijzers (Sekolah Guru Tinggi untuk Guru Bumiputra) di Bandung.

Di Bandung setelah dia datang maka tidak lama kemudian karena aktifitasnya dalam belajar Roestam remaja bertemu dengan Sukarno. Ayah Roestam adalah seorang propagandis untuk NIP (Nasional Indies Party) pimpinan saudara Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Pada tahun-tahun 1924-1927 Roestam aktif di organisasi Muda Sumatranenbond, aktiftas politiknya berada di wilayah Minangkabau (Sumatera Barat). Sejak masih duduk di bangku sekolah, Roestam sudah banyak menaruh minat pada soal-soal kebudayaan dan pernah bercita-cita hendak memperbaharui dunia sandiwara yang saat itu lebih bersifat komedi stambul. Beberapa karyanya yang terkenal pada masa itu adalah “Pertjikan Permenungan” (Padang - 1925) dan “Bebasari” (1926). Di dunia sastra, keseriusannya untuk mengembangkan sastra Melayu diperlihatkan dengan kegigihannya mempelajari hasil-hasil kesusastraan Melayu seperti hikayat, syair, dan pantun. Pada masa awal kepengarangannya, Roestam sering menggunakan nama-nama samaran seperti Rantai Emas, Rahasia Emas, dan Rangkayo Elok.

Karyanya yang cukup terkenal pada masa itu ialah Bebasari, yaitu sebuah naskah drama. Naskah ini sempat dilarang oleh pemerintah Belanda ketika ingin dipentaskan oleh siswa MULO Padang dan para mahasiswa kedokteran di Batavia (Jakarta). Pelarangan itu disebabkan karena karya ini dianggap sindiran terhadap pemerintah Hindia-Belanda.

Cuplikan teks Bebasari :

    Harapan beta perawan pada Bujangga hati pahlawan
    Lepaskan beta oh kakanda, lepaskan
    Dengarlah peluk asmara hamba
    Kilatkan jaya kekasih hati

Isi cerita Bebasari ialah, putri seorang bangsawan yang terkurung di antara kawat berduri, setelah ayahnya dibunuh. Bebasari diculik. Barangkali dia yakin kekasihnya, Bujangga, terus membawa dendam kesumat pada penjahat Rahwana. Bagaimana tak sakit hati Bujangga, kekasih diculik, kerajaan porak-poranda, bapak mati berkubang kesedihan. Hatinya geram dan bersiap menuntut balas. Jiwa kebangsaan, dendam patriotik hingga cinta asmara menjadi senjata pamungkas menghadapi penjajah durjana.

Sebelum pergi ke Belanda, Roestam sempat beberapa lama menjadi kepala sekolah di Adabiah, Padang. Sebelum di Adabiah, ia pernah diangkat menjadi Waarnemend hoofd pada sekolah tingkatan HIS di Siak Sri Indrapura. Namun pengangkatan tersebut ditolaknya. Ia kemudian mendirikan sekolah partikelir yang diberi nama "Adabiah". Sebagai kepala sekolah, ia merasa memiliki kemerdekaan untuk berbuat. Sehingga ketika ia mengepalai sekolah, ia juga terjun ke dunia politik dan aktif menulis. Sebelumnya seperti yang sudah dipaparkan diatas bahwa Roestam mulai aktif dalam pergerakan politik yaitu Jong Sumateranbond wilayah Sumatera Barat, karena aktifitasnya dalam dunia politik itu maka akhirnya dia banyak berkenalan dengan orang-orang kaum pergerakan baik yang berada di Sumatera Barat ataupun yang berada di Bandung. Dalam aktifitasnya pada dunia politik itu Roestam banyak berkecimpung dengan kelompok Nasionalis. Tetapi pada periode 1925-1926 pemerintahan penjajah Hindia-Belanda mulai melakukan tindakan represif kepada kaum pergerakan terutama kepada kelompok radikal yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), para aktifisnya yang berada di basis Buruh dan Petani sejak tahun 1924 sering melakukan pemogokan karena menentang kesewenang-wenangan Pemerintahan Hindia Belanda. Pemogokan adalah senjata yang populer pada saat itu yang dilakukan oleh kaum pergerakan atau kaum Yang Berlawan. Pemerintahan Penjajahan yang mulai melakukan tindakan represif untuk mengantisipasi perlawan itu dan mulai menangkapi para pimpinan-pimpinan gerakan Rakyat. Siapa yang pada saat itu tidak mengenal Semaun, Darsono, Tan Malaka, Sugono, Subakat, Ali Archam, Hj. Misbach, Mas Marco Kartodikromo, dll. Para pemimpin gerakan Rakyat itu berada pada garis terdepan untuk menentang pemerintahan colonial Belanda. Karena banyak pimpinan-pimpinannya yang tertangkap dan lalu dibuang maka PKI sebagai organisasi pelopor perlawanan Rakyat pada saat itu berada pada dua pilihan yang sulit, apakah terus melakukan perlawanan secara terbuka untuk segera melakukan pemberontakan atau mengalihkan metode perlawanan menjadi perjuangan bawah tanah agar dapat terus memimpin gerakan Rakyat untuk menentang kolonialisme Belanda.

Karena banyak para pemimpin utamanya sudah ditangkap atau dibuang maka kepemimpinan diserahkan kepada orang-orang yang pada saat itu masih berusia muda seperti Sardjono, Dahlan, Soekrawinata, Baharoedin Saleh, dll. Tindakan represif terus dilakukan oleh Pemerintahan colonial Hindia-Belanda maka para pemimpin-pemimpin PKI yang masih berusia sangat muda itu memutuskan pada “pertemuan Prambanan” pada tanggal 25 December 1925 untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan colonial Hindia-Belanda. Keputusan yang “dihasilkan” dari “pikiran panas” ini menghasilkan perlawanan yang sangat “premature”, ditengah persiapan yang masih sangat kurang dan banyak organisasi-organisasi atau cabang-cabang Partai sudah mulai bergerak dibawah tanah serta banyak juga para pemimpin-pemimpin utamanya baik di tingkat pusat maupun daerah sudah tertangkap Partai memutuskan untuk tetap melakukan pemberontakan pada tanggal 12 November 1926 malam di Jakarta, Banten, Priangan, Surakarta, Banyumas, Pekalongan, dll di Jawa. Selanjutnya pada tanggal 1 Januari 1927 meletus pemberontakan di Sumarta Barat.  Akibat ketergesa-gesaan untuk melakukan pemberontakan itu karena “kepala panas” menyebabkan PKI menempuh jalan Opportunisme Kiri atau advonturir karena memang syarat-syarat utama baik factor internal organisasi maupun factor eksternal untuk melakukan pemberontakan belum terpenuhi. Karena ketidaksiapan organisasi-organisasi yang berada dibawah pimpinan Partai maka pemberontakan itu tidak berlangsung lama hanya hitungan mingguan saja dan berhasil ditumpas sehingga menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi gerakan Rakyat pada saat itu karena ribuan massa Rakyat baik itu Buruh, Petani, Miskin Kota, para ulama ditangkap, di represi dan di dibuang oleh pemerintahan Hindia-Belanda karena kegagalan pemberontakan itu menyebabkan PKI hancur berkeping-keping sehingga ada kekosongan “kepemimpinan” pada gerakan Rakyat selama periode 1927-1945.

Karena situasi politik pada saat itu sangat represif dan tidak menguntungkan kaum pergerakan dan pemerintahan Hindia-Belanda di wilayah Sumatera Barat juga sudah menyium bahwa Roestam selain beraktifitas dalam kelompok pergerakan Nasionalis juga pernah berhubungan dengan beberapa pimpinan PKI wilayah Sumatera Barat maka tidak ada pilihan selain menyingkir dari wilayah Indonesia untuk menghindari penangkapan. Atas rekomendasi dari Hj. Salim Effendi maka pada bulan-bulan awal tahun 1927 Roestam Effendi pergi ke negeri Belanda dengan alasan untuk melanjutkan pendidikan.

Setelah tiba di Den Haag negeri Belanda Roestam melanjutkan terlebih dahulu pendidikannya pada sekolah dasar (Collage preparation) sebelum melanjutkannya pada sekolah Hukum Ekonomi. Selain melanjutkan sekolahnya Roestam juga mulai melakukan aktifitas politik terutama dikalangan para mahasiswa Indonesia dan dia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI), yang tujuan dari organisasi itu adalah berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1929 dia duduk sebagai anggota dewan organisasi itu dan karena aktifitas politiknya itu Roestam mulai mendapat pengawasan dari polisi dan intelegen.

Pada tahun-tahun itu PI juga aktif di Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme yang berpusat di Belgia dan Liga itu juga mempunyai kontak internasional dari beberapa negara. Di Belanda, Roestam memberikan kontribusi untuk lembaran anti-militeristik dan kiri, di mana ia menganjurkan kemerdekaan bagi Indonesia.

Di bawah arahan M. Hatta, Sutan Sjahrir, dkk maka PI mengundurkan diri pada tahun 1932 dari Liga Anti Imperialisme dan Kolonialisme, tetapi setelah terjadi perdebatan internal yang tajam, yang melibatkan Hatta dkk dengan Roestam Effendi dkk maka dilakukan voting untuk memilih apakah PI tetap bergabung dengan Liga Anti-Imperialisme dan Kolonialisme atau keluar dari organisasi itu, tetapi setelah dilakukan voting tersebut posisi Hatta dkk tetap tinggal minoritas. Hatta dkk menolak bergabung dengan Liga tersebut karena dianggap pengaruh Komunis Internasional (Komintern) terlalu besar. Karena keputusan organisasi tetap bergabung dengan Liga Anti-Imperialisme dan Kolonialisme maka Hatta dkk terus melakukan “perlawanan”, karena dianggap tidak patuh dan tunduk pada keputusan majoritas anggota organisasi maka Hatta, Sutan Sjahrir, dkk dipecat dari keanggotaan Perhimpunan Indonesia (PI). Pada masa itu banyak juga simpati anggota PI untuk Partai Komunis Belanda (CPN – Communist Party Netherland) dan Liga Anti-Imperialisme dan Kolonialisme sehingga posisi mereka mayoritas pada saat dilakukan voting.

Roestam Effendi pada akhir tahun Sembilan Belas dua puluhan tinggal di Rotterdam dan Den Haag serta kemudian pindah ke Amsterdam. Dia juga menghabiskan beberapa waktu di Berlin dan belajar pada tahun akademik 1932 -1933 dengan nama samara AlfaRoes ke Sekolah Lenin di Moskow.

Setelah kembali ke negeri Belanda pada tahun 1933 maka oleh CPN Roestam Effendi dicalonkan sebagai kandidat untuk pemilihan parlemen. Warga negara Indonesia yang juga dianggap oleh hukum sebagai warga negara Belanda dapat juga bisa menjadi anggota parlemen. Tan Malaka pada tahun 1922 juga pernah dicalonkan oleh CPN menjadi anggota parlemen sebagai wakil dari tetapi gagal karena pada saat itu usianya masih sangat muda yaitu 24 tahun.

Pada saat pemilihan parlemen itu para pemimpin yang dicalonkan oleh CPN pada tempat pertama adalah L de Visser dan ketiga adalah D.J. Wijnkoop. Rostam Effendi yang pada awalnya berada pada posisi ketiga di geser ke posisi keenam. CPN memenangkan empat kursi. Sardjono yang juga berasal dari Indonesia berada pada calon kedua, dan Alimin berada pada posisi ke-empat peserta pemilihan parlemen. Tetapi karena ketua PKI yaitu Sardjono ditangkap oleh pemerintahan colonial Hindia-Belanda dan dibuang ke Digoel yang berada di hutan New Guinea dan tidak bisa meninggalkan penjara dan Alimin yang pada pada saat itu tinggal di Moskow yang juga tidak diperkenankan masuk ke negeri Belanda, maka pemerintahan borjuis-kolonial Belanda tidak memperkenankan kedua calon yang berasal dari Indonesia tadi untuk dapat duduk di Parlemen Belanda.

Untuk mengantisipasi kecurangan pemerintahan Borjuis-kolonial Belanda maka CPN mengajukan 4 nama untuk dapat bergabung di parlemen yang baru yaitu: C. Schalker, Roestam Effendi, De Visser dan D.J. Wijnkoop dan oleh komite pemilu pusat dinyatakan terpilih.

Roestam Effendi adalah wakil pertama dan termuda dari Indonesia yang duduk di Parlemen Belanda sebagai wakil dari CPN. Seorang jaksa agung bahkan setelah terpilihnya Roestam sebagai anggota parlemen mencoba menunda untuk “menarik” melakukan sumpah karena Roestam Effendi dituduh melakukan penghasutan pada kampanye-kampanye pemilihan. Rostam Effendi membantah dan menolak tuduhan itu.

Roestam Effendi adalah seorang pendebat cerdas di DPR, yang sering mengungkapkan bahasa yang kuat. Dia mendapatkan banyak peringatan dari Ketua Sidang dan kata-katanya dia sering ditolak. Ketika wakil Partai Anti-Revolusioner yaitu J. Schouten yang dalam menghadapi pemberontakan di Tujuh Provinsi (Indonesia - 1933) mengakhiri pidatonya dengan kata-kata “Dan pemerintah harus memerintah!”, maka Roestam Effendi segera bereaksi mengatakan “Dan orang-orang saya pasti binasa”.

Didalam Parlemen Belanda Roestam Effendi berada pada posisi anggaran urusan colonial seperti Indonesia dan beberapa tanah jajahan lain seperti Suriname.

Pada tahun-tahun tersebut Rostam Effendi sering menjadi pembicara pada pertemuan-pertemuan publik dan konferensi. Pada tahun tahun 1935 Roestam Effendi datang ke Moscow sebagai anggota delegasi Partai Komunis Belanda untuk berpartisipasi dalam Kongres VII Komintern. Dalam konggres tersebut Roestam Effendi yang merupakan anggota dewan dan Polit-Biro (Biro-Politik) CPN terpilih menjadi calon anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional. Salah satu keputusan dari kongres Komintern ke VII itu adalah “menghimbau kepada gerakan Buruh sedunia untuk menghadapi bahaya kebangkitan Fasisme dan melakukan perlawanan terhadap kebangkitan organisasi-organisasi Fasis di masing-masing negeri serta ikut menentang imperialisme negeri-negeri fasis”. Hasil kongres Komintern ini dikenal dengan sebutan “Doktrin Dimitrov”.

Dalam pemilihan umum tahun 1937 di Belanda Partai Komunis kehilangan satu kursi dari empat kursi mereka. Tetapi Roestam Effendi tetap masih terpilih menjadi anggota parlemen.. Tapi belum satu tahun berselang posisinya menjadi agak muram. Kritik dari Komintern terhadap haluan dan aksi CPN menguntungkan bagi tampilnya Paul de Groot sebagai ketua CPN. Dengan restu Moscow de Groot menetapan haluan baru dan kawan-kawan separtai yang “berani memperdengarkan suara kritis” tentang ini ditindak. Roestam Effendi yang juga anggota Biro Politik (Polit-Biro) – yaitu badan partai tertinggi yang dipilih diantara pimpinan Partai – mendukung dua orang oposan terhadap De Groot. De Groot menjadikan mereka itu sebagai sasaran serangannya dan ia mendapat dukungan dari mayoritas pimpinan partai. Roestam Effendi juga harus akibat-akibat dari pendiriannya itu. Ia tetap menduduki tempatnya dalam pimpinan Partai, tetapi oleh pimpinan ini ia tidak dipilih lagi untuk duduk dalam Biro-Politik.

Setelah kongres ketujuh Komintern Roestam Effendi di Gedung parlemen Belanda dan dalam rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan selalu mengkampanyekan untuk bersama-sama bahu-membahu antara pemerintahan Belanda bersama Rakyat Indonesia kebanyakan untuk bersama-sama melakukan persiapan terhadap ancaman kebangkitan bahaya fasisme Jepang. Slogan untuk kemerdekaan bagi Indonesia segera tidak lagi mengambil posisi di latar depan. Sebagai anggota parlemen Roestam membatasi diri pada masalah-masalah Indonesia saja dan dalam hal ini dia memperlihatkan kesetiannya pada garis Moscow yang menunjukkan fluktuasi yang mencolok - dari pendiriannya terhadap Negara-negara imperialis yang tidak terdamaikan menjadi politik Front Rakyat.

Pada tahun 1938 Effendi dan keluarganya pindah ke Blaricum selama pendudukan Jerman. Roestam menunjukkan pendapatnya pada public yang lebih luas, namun mungkin sekali tidak berhasil dicapai; brosurnya yang diterbitkan di Blaricum tidak mendapat perhatian. Dengan program yang lunak ia berusaha menembus “isolasi Komunis Paul De Groot dkk” demi kepentingan kerjasama politik yang luas. Indonesia tidak mendapatkan lebih dari sekedar beberapa baris. Bangsa Belanda punya “kewajiban yang tidak terelakkan dan juga siap untuk membebaskan atau membantu membebaskan bahwa Indonesia dari cengkraman imperialis fasis Jepang.

Sesudah pembebasan Belanda Roestam menduduki tempatnya lagi dalam barisan Partai. Suatu partai yang telah kehilangan banyak kadernya dari masa sebelum perang, namun dengan surat kabar “De Waarheid” yang illegal telah menerobos isolasi dari sebelum perang, dan tampakknya juga berhasil mendapat pengaruh yang lebih besar. Ini adalah perspektif kerjasama engan Sosial-Demokrasi dalam konteks yang baru. Pendukung kuat tentang ini adalah Paul De Groot yang dalam tahun 1943 mengemban pimpinan CPN illegal, sesudah berkali-kali hampir tidak bisa meloloskan diri dari penangkapan. Kemudia ia menyembunyikan diri di Belanda timur dan tidak ikut serta dalam aksi-aksi CPN.

Segera setelah belanda barat juga dibebaskan, De Groot pergi ke Amsterdam untuk menawarkan ide-idenya disana. Ternyata dia berhasil kendati adanya perlawanan dari tokoh-tokoh CPN di selatan, dimana CPN telah didirikan kembali pada bulan December 1944. “De Waarheid” edisi Amsterdam tanggal 14 Mei telah memuat pernyataan dari delapan pimpinan CPN tentang pembubaran Partai mereka dan menyerukan untuk mewujudkan Vereniging van de Vrienden van De Waarheid (Perhimpunan Sahabat De Waarheid) sebagai partai baru dari “kekuatan-kekuatan progresif dan demokratis”.

Aksi De Groot ini mirip yang terjadi di Amerika Serikat. Disana Partai Komunis pada bulan Mei 1944 juga dibubarkan oleh ketuanya, Earl Browder dan digantikan semua “Perhimpunan  Politik untuk Amerika yang lebih demokratis dan progresif”. Sikap demikian ini ditentang oleh tokoh terkemuka Komunis Perancis, Jacques Decloc yang pada bulan April 1945 menulis sebuah artikel panjang dalam organ teori “Cahiers du Communisme” tentang pembubaran Browder tersebut. Dengan didirikannya kembali Partai Komunis Amerika pada bulan Juli 1945 praktis Browder disingkirkan dan “Browderisme” di cela sebagai penyimpangan baru dari garis Komunis. Terhadap semua ini De Groot dan kawan-kawannya sesame pimpinan tidak mengetahui.

Pimpinan CPN di selatan sesudah pembubaran itu mencari kontak dengan Partai-Partai sekawan di Belgia dan Perancis di Brussel, yang justru memperkuat perlawanannya terhadap keputusan tersebut. Dalam bulan Juni diputuskan mengundang De Groot dan tokoh-tokoh pimpinan yang lain ke Paris untuk bisa membeberkan haluan yang benar pada kesempatan Kongres Partai Komunis Perancis. De Groot berhalangan tetapi  ada dua orang utusan yang lain datang yaitu Duclos dan orang pertama Maurice Thorez. Dalam perjalanan pulang di Brussel mereka bertemu dengan De Groot yang pergi menyusul. Rombongan Belanda ini diterima oleh Partai Komunis Belgia, Edgar Lalman dan seorang mantan agen Komintern. Mulai Juli akhirnya De Groot harus menyesuaikan diri dengan apa yang dikehendaki Moscow: mendirikan kembali CPN – kebijakaan ini berarti pukulan hebat bagi garis kebijakan De Groot.

Termasuk dalam kalangan oposisi yang semakin besar, yang dalam berbagai kesempatan berkumpul adalah juga Roestam Effendi. Namun oleh Daan (Goulooze) tokoh terkemuka dalam pemulihan kembali CPN, Roestam agak sedikit dijauhi. Tentang ini tiada alasan yang kemukakan. Pada tanggal 20 Juli, satu hari sebelum konferensi Partai Roestam masih berbicara di depan pertemuan kaum oposisi. Dalam sebuah surat untuk kawan se-Partai tertanggal 26 Juni 1945 Roestam menyinggung tentang “sedikit kekacauan dalam barisan sendiri”, dan:

“Kita menghadapi saat yang penuh gejolak dan menarik serta berdiri pada ambang peristiwa besar. Disaat-saat seperti ini dari kita semua diminta keberanian, kegigihan, semangat dan keluwesan dalam mengemban cita-cita Komunis, mengatasi empasan dan rintangan sampai mencapai kemenangan akhir. Ini menuntut kita agar membuang schema dan dogma Partai yang tua dan using serta taktik kita harus disesuaikan dengan hubungan-hubungan dan pergeseran-pergeseran kekuatan didalam dan yang terjadi oleh perang ini. Kita harus melindungi diri dari politik advontur dan konjungtur yang demikian banyak dilakukan disekitar kita, karena jaman ini-pun telah ikut menggalakkannya”.

Dalam konferensi tanggal 21-23 Juli 1945 masalah pendirian kembali CPN tidak lagi didiskusikan. Perdebatann yang agak sengit berkisar pada masalah pertanggung-jawaban, mencari siapa yang salah dan masalah-masalah pribadi. Akhirnya dilakukan pemilihan pimpinan Partai dengan hasil pengikut De Groot mendapat mayoritas. De Groot berhasil bertahan berkat oposisi yang tampil compang-camping dan tidak taktis serta manuvernya yang cekatan dan menyakinkan.

Dalam hubungan di Belanda pendapat Roestam tidak sesuai dengan suasana “De Waarheid” dan juga PI yang diwakili oleh Setiadjit yang pada tahun 1944 duduk dalam Indische Commissie untuk perjuangan bersama yang dalam bulan Maret 1945 mengeluarkan pernyataan “Voor de bevrijding van Indonesie” (untuk Kemerdekaan Indonesia). Ini merupakan pernyataan persetujuannya untuk bergabung dengan sukarela dalam suatu “vernieuwd gemenebest (persemakmuran bersama yang diperbaharui) dan akhirnya menyerukan agar “bekerja dengan sukarela” untuk memerdekaakan Indonesia dan bahkan menolak pengiriman “tentara milisi”. Bagi de Groot dan kawan-kawan yang ingin menyebarluaskan gambaran tentang Gerakan De Waarheid/CPN yang moderat secara nasional, visi Roestam Effendi tidak bisa diterima sama sekali.

Sesudah proklamasi Paul De Groot berbicara dalam suatu rapat tertutup kader Partai tentang politik Indonesia pada tanggal 11 oktober 1945:

“Pertama-tama kita harus menyatakan dengan tegas bahwa kita setuju ikatan bersama antara Indonesia dengan Belanda dipertahankan. Indonesia terlepas dari Belanda berarti dalam sekejap jatuh ke tangan Inggris”

De Groot sungguh-sungguh mempunyai keberatan terhadap pemimpin-pemimpin Revolusi Indonesia yang terpenting terutama Sukarno yang pada masa pendudukan “telah bekerja-sama dengan fasisme dunia” dan juga dengan Hatta yang seorang “Trotskyst, musuh Uni Sovyet yang sejak sebelum perang dunia ke II sudah menjadi agen Jepang”.

De Groot berpendapat:

“Seluruh gerakan nasional di Indonesia telah bekerjasama dengan Jepang. Ini sama sekali merusak nama baik. Apabila kita boleh berbicara secara blak-blakan maka kita akan mengatakan: Sukarno dan Hatta adalah kolaborator, tapi dari berita-berita ternyatalah bahwa pemerintahan baru yang dibentuk disana mendapat dukungan massa Rakyat yang luas. Maka akan lebih taktis jika pengadilan terhadap para kolaborator itu diserahkan kepada Rakyat Indonesia sendiri. Sudah mendesak waktunya bagi Partai Komunis Indonesia/PKI kembali tampil. Di sini kita tidak bisa mendirikan PKI. Kekuatan-kekuatan Indonesia belum diketahui. Tapi dari sini kita sejauh mungkin akan mengingatkan tentang keharusan adanya organisasi legal PKI. Terbuka kemungkinan-kemungkinan besar apabila kita melakukan politik yang tepat. Didalam hubungan kenegaraan dengan Belanda kita akan bisa mengambil langkah jauh lebih banyak untuk kemerdekaan Rakyat Indonesia, ketimbang dibawah semboyan Indonesia lepas dari Belanda.

Sekarang Belanda berdiri di simpang sejarah. Akan-kah menempuh jalan menuju pembaruan dan kemajuan demokratis ataukah akan melangkah terus diatas jalan “dolorosa” kekolotan dan reaksi dengan segala akibat-akibatnya. Pemilihan umum yang dipercepat yang juga dirindukan dengan tidak sabar dan dicari oleh berjuta-juta kaum democrat yang beritikad baik di Indonesia, Suriname dan Curaqao, itulah yang akan menentukan hasilnya.

Pada tanggal 17 oktober 1945 Roestam Effendi memberikan reaksinya didalam sidang parlemen Belanda. Visi politik Roestam berjarak jauh dari kelompok disekitar Paul De Groot tapi pimpinan CPN yang baru tidak tidak bisa menyiapkan jalan untuk Roestam guna pengunduran dirinya di Parlemen Belanda sebab Roestam adalah satu-satunya anggota parlemen CPN yang selamat dari perang dunia ke II dan untuk pengunduran dirinya harus dilakukan lewat mekanisme pemilu yang sepertinya baru bisa dilakukan pertengahan 1946.

Roestam pada sidang parlemen tanggal 17 oktober itu menyulut kembang-api retorika menurut tradisi sebelum perang. Ketua Tweede Kamer membiarkan Roestam dua kali menarik kembali “bagian yang tidak bisa diterima”. Roestam Effendi sekarang berbicara sebagai “orang Indonesia dan Komunis” kepada “massa luas kaum Pekerja di Belanda” dan kawan-kawanya setanah air di Indonesia, atas nama “massa demokratis yang luas” dan “kaum Pekerja yang Revolusioner di Belanda”.

Ia menyerukan kerja sama antara Indonesia dan Belanda; “suatu syarat mutlak dan kepentingan vital yang esensil bagi dua Negara” untuk tidak menjadi “bulan-bulanan permainan buruk” dari “kekuatan-kekuatan imperialis yang bergulat, intrik dan pat-pat gulipat”. Tapi kerja sama itu hanya bisa dilakukan atas dasar HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI, SEDERAJAT DAN HAK SAMA!

Bisakah dari “kejadian-kejadian itu sesuatu yang baik dan besar masih akan lahir? Atau, apakah didalam konflik yang pecah terkandung benih untuk permusuhan yang kekal dan jurang yang tidak terjembatani, sehingga kedua-dua bangsa itu akan berpisah untuk selamanya?”. Untu menjawab pertanyaan ini Roestam sebegitu jauh menegaskan apa yang didengar dari rekan-rekannya yang mengandung sifat:

“Picik, menyimpang dan kaku. Mereka tidak mempunyai orisinalitas dan pemikiran. Mereka terlalu berbau udara museum yang apek, dimana matahari pikiran waras rupanya tidak pernah tercerahkan! Apa yang ku dengar hanyalah suatu reaksi dan kekolotan. Roh reaksi dan mentalitas colonial tua, yang selama bertahun-tahun peperangan dan pendudukan didalam ketakutan dan gentar bersembunyi duduk di tempat persembunyian mereka yang gelap, pada saat ini seakan-akan muncul dari gua-gua persembunyian tua mereka dab bermaksud bisa bermain lagi dengan permainan tua devide et impera”.

“Dan jika bicara  tentang kerjasama adalah “kebijakan colonial yang fatal” bahwa bangsa Indonesia harus di giring dan di giring dibawah kekuasaan Imperialisme Jepang. Adalah “politik Digul dan politik bayonet yang busuk, politik amuk rezim colonial yang mengancam, yang membikin bangsa Indonesia menjauh dari Belanda.

“Kami bekerjasama dengan Jepang hanya karena mengkonsolidasikan kekuatan kami dan tidak karena kami pro-Jepang”.

“Kaum Komunis berbicara blak-blakan bahwa mereka mendukung sepenuhnya perjuangan demokratis bangsa Indonesia untuk mengakhiri hubungan-hubungan colonial dan penindasan imperialism. Kita yang telah mempertaruhkan semuanya dalam perjuangan menentang Nazi di negeri ini, atas dasar yang sama membela kemerdekaan bangsa Indonesia terhadap penindasan bangsa yang lain!”

Jalan pikiran Roestam tidak bisa mendapat pengertian sedikitpun dan sama sekali diluar pola pikiran parlemen dan kabiner. Hal serupa juga berlaku bagi Partainya sendiri: Paul De Groot didepan sidang pimpinan Partai, memberikan pernyataan yang sangat bertentangan.

Sementara itu posisi Roestam Effendi didalam CPN ternyata tidak bisa dipertahankan lagi. Pada tanggal 27 November 1945, “De Waarheid” memberitakan bahwa pimpinan Partai telah memberhentikan Roestam Effendi untuk sementara waktu sebagai anggota Partai dan juga dianggap bukan lagi sebagai anggota fraksi CPN di parlemen Pada bulan Januari 1946 didalam kongres CPN Roestam Effendi dinyatakan dipecat dari keanggotaan CPN karena dianggap tidak tunduk pada garis kebijakan Partai baik di tingkatan Nasional Belanda maupun dalam urusan Indonesia. Dan sejak itulah maka Roestam Effendi sudah berpisah jalan dengan sesama teman Komunisnya di CPN seperti Paul De Groot dkk serta teman Komunisnya sesama orang Indonesia seperti Setiadjit, Abdul Madjid, Maruto Darusman dkk yang dulu pernah bersama-sama di dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI).

Untuk meng-counter usaha pemecatan dirinya dari keanggotaan CPN Roestam Effendi melayangkan sebuah surat kepada ketua sidang kongres CPN:

Berdasarkan skorsing saya dan akibat-akibat yang timbul daripadanya, saya menyatakan:
  1. Bukan saya, melainkan kalian sendiri yang telah membawa keluar krisis intern di dalam CPN melalui publikasi secara sadar didalam “De Waarheid” dan suratkabar-suratkabar lainnya. Suatu krisis politik yang karena kedisiplinan dan terutama pengendalian diri saya sampai sekarang tidak tersebar keluar.
  2. Bahwa salah langkah politik ini yang dilakukan pada saat Rakyat Indonesia berjuang mati-matian untuk kemerdekaan, tidak lain berarti suatu penghianatan terhadap persekutuan antara Rakyat Indonesia dan kelas Buruh belanda ditengah-tengah pergulatan anti imperialis melawan musuh bersama.
  3. Bahwa skorsing itu pada hakikatnya tidak lain berarti suatu daya upaya untuk membelokkan upaya perhatian Partai seluruhnya dari persoalan politik yang penting dan itulah yang dihadapi oleh kelas Buruh belanda dan khususnya Partai.
  4. Bahwa tindakan politik baru yang keliru dari pimpinan Partai sementara ini timbul dari pandangan opportunisme yang sama, yang pada waktu itu telah berakibat pada dilikuidasi CPN secara otoriter, tidak demokratis.
  5. Bahwa dengan motivasi skorsing melalui perusakan dan pemutar baikkan fakta-fakta dengan cara yang paling halus, dicobanya saya diserahkan kepada reaksi yang merasa marah dan tersinggung dan bersamaan dengan itu membikin pimpinan yang sekarang lebih menarik bagi kaum borjuasi, suatu cara yang harus diprotes keras oleh setiap orang Komunis.
  6. Bahwa didalam alasan yang disiarkan tentang skorsing saya dilansir insinuasi secara sadar, yang tentang ini pimpinan Partai tahu dan harus tahu bahwa banyak kawan separtai dan buka separtai dengan bukti-bukti yang kongkrit bisa membantah insinuasi itu.
  7. Bahwa pimpinan Partai yang sekarang mengibarkan formalisme setinggi-tingginya dan melecehkan Sentralisme Demokrasi kita!
Setelah Roestam di pecat dari keanggotaan CPN maka pada akhir tahun 1946 Roestam Effendi bersama keluarganya pulang ke Indonesia menggunakan kapal laut bersama 250 orang buangan Indonesia yang ada di luar negeri yang termasuk didalamnya terdapat Douwes Dekker atau Setiabudi seorang politikus senior pendiri Nasional Indische Party (NIP). Setelah tiba di Jakarta maka Roestam dan keluarga bersama Douwes Dekker melanjutkan perjalanan menggunakan kereta api menuju Jogjakarta. Setibanya di Jogjakarta mereka disambut dengan meriah dan diterima oleh Sukarno yang pada saat itu merupakan presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 Januari 1947.

Pada tanggal 27 Januari 1947 Comite Central (CC) PKI mengumumkan bahwa “berhubung dengan berita-berita dan pertanyaan-pertanyaan” Roestam Effendi tidak bisa diterima menjadi anggota PKI, sebab menurut berita resmi dari CPN dia sudah di royer (dipecat) karena telah melanggar disiplin Partai dan bahwa PKI sudah sepatutnya mengambil keputusan tersebut”. Pada saat kongres PKI yang dilangsungkan di Solo pada tanggal 11-13 Januari 1947 Roestam Effendi yang datang beserta banyak anggota-anggota PKI lama dari periode 1926 yang juga baru datang dari pembuangan di Australia seperti Djamaludin Tamin, Nurut, Ongko D, Wiro S, dll juga ditolak masuk oleh Sardjono dengan alasan bahwa Roestam sudah di royer dari CPN dan para anggota PKI lama tahun 1926 semacam Djamaludin Tamin dkk juga dikatakan sudah di royer sebab pada tahun 1926 menghalang-halangi pemberontakan yang dipimpin oleh PKI terhadap pemerintahan colonial Hindia-Belanda.

Sejak peristiwa Solo itulah maka kekuatan Komunis di Indonesia terpecah menjadi dua, PKI menuduh Roestam Effendi, Djamaludin Tamin dkk adalah pengikut Tan Malaka yang berarti kaum Trotskyst dan sejak itulah di mulai satu periode oposisi bersenjata dari kekuatan Komunis di luar lingkaran PKI terhadap jalannya Revolusi Pembebasan Nasional di Indonesia yang dianggap sudah menyeleweng sejak ditandatanganinya perjanjian Linggardjati oleh PM Sutan Sjahrir dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin (PKI Illegal).

Sejak di Indonesia untuk menyalurkan ide-ide politknya Roestam Effendi sering menulis artikel-artikel yang dimuat harian “Pasific” di Solo, yang sejak tanggal 1 Febuary 1947 di terbitkan oleh Barisan Banteng pimpinan dr Muwardi. Selain itu juga kakak kandung Roestam Effendi yaitu Boes Effendi juga secara teratur menulis di “Pasific” dari kakaknya itu maka Roestam bisa menyumbangkan karangan-karangannya disana.

Setelah Perjanjian Linggardjati di tandatangani di Jakarta dan tidak lama kemudian belanda melanggar perjanjian gencatan bersenjata di Mojokerto maka Roestam Effendi kembali menuliskan: “menghadapi politik kapitalulasi dan reformisme ini kekuatan Revolusioner harus mengatur organisasinya mereka sendiri”. Reformisme Amir Sjarifuddin dan Sutan Sjahrir telah kandas. Percaya kepada itikad baik belanda merupakan “struisvogel en zelfmoordpolitiek” (politik burung unta dan politik bunuh diri”, sekarang saatnya Amir dan Sjahrir harus menjawab!!

Sesudah dilancarkannya aksi polisionil bulan Juli 1947, Roestam menyatakan tentang harus diakhirinya politik diplomasi dan politik slogan. Harus ada perjuangan dan tindakan. Perjuangan melawan imperialism belanda tidak bisa dielakkan lagi; untuk ini diperlukan suatu pemerintahan yang Revolusioner, yaitu pemerintahan yang Anti-Imperialis yang memimpin kabinet perang. Masukkanya semua politisi yang bertanggung jawab atas Linggardjati harus di tolak. Semua tapol (dari Persatuan Perjuangan dan semua elemen-elemen lain) yang menolak politik diplomasi dari pemerintahan RI harus mendapat amnesty, sebagai pengakuan terhadap kekeliruan tindakan penahanan mereka dan sebagai jaminan politik Anti-Imperialis yang sejati.

Roestam Effendi sering tampil sebagai pembicara pada banyak organisasi politik seperti Barisan Banteng, Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai Buruh Merdeka, Laskar Rakyat Djelata, Partai Wanita Rakyat, Laskar Rakyat Djawa Barat, AKOMA dll.

Karena lama pernah berdiam di Eropa dan juga pernah mengikuti khursus Marxis-Leninis di Moscow, Roestam Effendi cukup mampu menyampaikan pengetahuannya tentang Marxisme dengan lebih mendalam kepada para peserta khursus politik baik dari kalangan politikus maupun di kalangan Laskar. Tulisan-tulisan dari teks-teks klasik karya-karya Marx, Lenin dan Stalin sering dibawakannya pada khursus-khursus politik tersebut. Roestam Effendi membedah politik kapitalulasi Linggardjati sebagai politik reformis atau paham opportunis kanan, Linggardjati berarti memantapkan posisi capital asing di Indonesia. Pemimpin-pemimpin Revolusioner “gadungan” yang menamakan dirinya sebagai “komunis” dan Leninis-Stalinis seperti Amir Sjarifuddin, Sardjono, Abdul Madjid, Maroeto Darusman, Alimin dan Setidjit mendukung penuh politik kapitulasi dan opportunis kanan ini.

Menurut Roestam Effendi:

“kaum “Pseudo-Leninisten” (Leninis gadungan) didalam republic ini hanya menunggu dan sibuk dengan kata-kata mereka. Mereka mendukung pengembalian hak milik asing dan dengan begitu kapitalisme bisa datang kembali serta menunda jalannya Revolusi Borjuis Demokratis yang harus diselesaikan sampai akhir. Politik Persatuan Perjuangan (PP) mendukung program untuk mendapat dukungan luas dalam fase Borjuis-Demokratis. Dibawah pimpinan yang Revolusioner fase ini bisa beralih menjadi Revolusi-Sosialis. Memang barangkali aka nada suatu “adempauze” - jika keadaan “objektif” memerlukan - tapi “adempauze” yang sekarang ini, pada saat borjuasi berkkuasa hanya berakibat regresif.

Posisi Roestam Effendi dalam pendidikan politik dan ideology menggantikan sementara posisi Tan Malaka yang masih berada di dalam penjara. Dalam setiap khursus-khursus yang dilakukan olehnya selalu dibanjiri oleh banyak peserta terutama dari golongan pemuda anggota-anggota AKOMA yang berpendidikan baik, yang Komunis tapi menentang PKI, karena PKI dianggap sudah menjalankan politik kapitalulasi/menyerah-isme kepada kaum Imperialis dengan mendukung perjanjian Linggardjati dan perjanjian Renville sebab itu merupakan penyelewengan terhadap Perjuangan Kelas Buruh dan Tani demi kemerdekaan Nasional dan Sosialnya di Indonesia.

Pada saat pembentukan Partai Murba pada tanggal 7 November 1948 di Solo posisi Roestam Effendi, Tan Malaka dan Djamaludin Tamin duduk diluar struktur Partai yang pada saat itu banyak diisi oleh para Pemuda. Selama perang Kolonial ke II Roestam Effendi aktif melakukan perang gerilya di Djawa Timoer dan duduk sebagai Komisaris Politik pada Centraal - Commando pada organisasi “Guerilla Pembela Proklamasi” (GPP) bersama Abidin Effendi (adik kandung), J.F. Warraow, Sjamsu Harja Udaya dan Gondo Wardojo. Setelah perang kemerdekaan selesai pada periode 1950-1965 Roestam Effendi duduk sebagai dewan penasehat Partai Murba.

Ketika terjadi huru-hara politik tahun 1965-1967 yang berbuntut pada tumpasnya Partai Komunis Indonesia dan digulingkannya presiden Sukarno oleh oleh Jendral Suharto-Nasution untuk menghindari penangkapan maka Roestam Effendi membakar seluruh dokumentasi yang dimiliki olehnya baik itu berupa artikel, surat-menyurat, dan buku-buku. Pada saat itu Roestam juga terus diawasi oleh militer sebab aktifitasnya dimasa lalu yang dianggap juga orang kiri. Selama periode akhir 1960an sampai dengan pertengahan tahun 1970an Roestam Effendi mengajar di Fakultas Ekonomi universitas Pajajaran bersama Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan Semaun. Selain mengajar dia juga aktif menulis tentang karya-karya sastra.

Roestam Effendi meninggal dunia akibat serangan jantung karena usia tua pada tahun 1978.

×